Home > Education > Political Marketing > Aktivis Partai Sulit Bersaing dengan Pemodal di Partai

Aktivis Partai Sulit Bersaing dengan Pemodal di Partai

Surabaya, Kompas – Para pemodal telah mengalahkan aktivis partai dalam perebutan kedudukan internal partai. Situasi itu menunjukkan hubungan tidak sehat antara partai politik dan kadernya.

Demikian terangkum dalam seminar ”Partai Politik, Demokrasi, dan Dominasi Modal” yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, Kamis (11/12) di Surabaya. Ketua Departemen Pemuda DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Budiman Sudjatmiko, pakar politik dari Universitas Gadjah Mada Mochtar Mas’oed, dan pengajar ilmu politik Universitas Brawijaya Ahmad Erani hadir sebagai pembicara.

Budiman mengatakan, sejak tahun 1999 pemodal menghambat naiknya aktivis partai murni di struktur partai. Aktivis kurang kemampuan untuk bisa masuk jajaran pengambil keputusan. ”Hanya sebagian orang yang beruntung bisa masuk,” ujarnya.

Selain pemodal kuat secara ekonomi, aktivis partai juga dikalahkan oleh para pemilik modal sosial yang unik. Dalam jajaran ini termasuk para selebriti yang direkrut partai sebagai calon anggota legislatif. Tak hanya aktivis partai, aktivis gerakan massa juga tidak mudah masuk ke partai. Padahal, mereka benar-benar bekerja di jalur politik.

”Ini, antara lain, karena posisi tawar serikat pekerja atau petani belum terlalu kuat,” ujarnya.

Hubungan tidak sehat

Mochtar mengatakan, relasi partai dan pemodal menunjukkan hubungan tidak sehat antara partai dan anggotanya. Selama ini para kader partai nyaris tidak bertanggung jawab untuk berbagai kegiatan partai. Anggota tidak menyumbang iuran untuk partai. Sebaliknya partai tidak terlalu mengurus kader.

”Saya tidak yakin PDI-P membiayai kegiatannya dari dalam. Sebagian biaya harus dicari dari luar,” tuturnya.

Hal itu, antara lain, disebabkan sistem ekonomi yang tidak demokratis. Aset bisa dihegemoni sekelompok elite tanpa perlu melibatkan massa. Akibatnya, elite tidak merasa perlu membina massa. ”Ini merusak demokrasi,” ujar Mochtar.

Kalaupun dimanfaatkan, massa tidak lebih sebagai pengumpul suara. Massa tak pernah dianggap sebagai kelompok yang harus diperjuangkan kepentingannya.

”Massa menjadi apatis dan siap menyumbang suara kepada siapa pun yang sanggup memberi manfaat ekonomi. Ini jalan lagi bagi pemodal untuk masuk struktur,” ujarnya.

Kondisi itu, antara lain, yang ditakutkan para demokrat untuk menerapkan demokrasi murni.

Penerapan demokrasi murni dengan partisipasi langsung tidak menjamin demokrat bisa naik ke struktur.

”Namun, seburuk apa pun kondisinya, bukan alasan untuk mematahkan demokrasi yang sedang dibangun dengan cara-cara tidak demokratis,” tuturnya.

Sementara Erani menyatakan, struktur politik dan ekonomi Indonesia saat ini masih mencirikan otoritarianisme. Dalam struktur otoriter, elite politik memang sengaja memelihara saudagar untuk mendapatkan biaya bagi kegiatannya. (RAZ)

Source : kompas.com

You may also like
Indonesia Bertabur Partai, Hanya 8 yang Siap Hadapi Pemilu
Sistem Suara Terbanyak Perlemah Kelembagaan Partai
Perdamaian Aceh di ujung tanduk
Partai Keadilan Sejahtera: Mosaik Pluralitas Muslim Perkotaan

Leave a Reply