Terlalu banyak dan membingungkan. Demikian alasan publik menyikapi keberadaan dan jumlah partai politik saat ini. Upaya membatasi jumlah partai politik peserta pemilu mendapat sambutan positif dari publik.
Munculnya puluhan partai politik (parpol) baru pascatumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 merupakan konsekuensi dari dibukanya keran kebebasan.
Hanya saja, inilah sekarang hasilnya. Mendirikan parpol di Indonesia nyaris tanpa hambatan. Dari sudut asas partai, persyaratan administrasi, jumlah keanggotaan, hingga saringan politik di tingkat pemerintah dilempengkan jalannya. Tak heran bisa muncul calon parpol bertema unik atau bahkan terkesan membanyol, seperti partai pelawak, menjelang pemilihan umum (pemilu) lalu.
Citra buruk
Berbeda dengan gagasan awal bahwa sistem multipartai akan mengakomodasi dan memperjuangkan kepentingan politik masyarakat yang bermacam-macam, yang terjadi justru ketidakpuasan yang tinggi. Tampaknya bukan publik anti terhadap parpol, melainkan terdapat jurang dalam yang memisahkan sepak terjang partai dengan harapan masyarakat konstituennya. Parpol (dan anggota parlemen) masih terjebak dalam permainan kepentingan tingkat elite yang mereka ciptakan sendiri sehingga lupa terhadap tugas utamanya sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Opini responden jajak pendapat Kompas terhadap kinerja parpol sepanjang era reformasi belum pernah sekalipun menunjukkan gelagat fluktuasi penilaian yang membaik. Yang terlihat justru cenderung mendatarnya derajat ketidakpuasan publik terhadap kiprah parpol. Dari berbagai fungsi parpol, mulai penyalur aspirasi, pendidikan politik, kaderisasi, penggalang partisipasi, hingga kontrol pemerintah, nyaris tidak ada kiprah yang kuat diapresiasi publik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila bagian terbesar responden (62,0 persen) masih menilai citra parpol buruk (lihat tabel).
Memburuknya sosok parpol di mata publik ini tampaknya berperan membuat wacana untuk mengurangi jumlah parpol mendapat dukungan kuat publik. Hampir seluruh responden (92,5 persen) dalam jajak pendapat Kompas kali ini menyetujui bahwa jumlah parpol peserta pemilu harus dikurangi. Responden dalam jumlah yang hampir sama juga setuju jika penyederhanaan parpol itu berlanjut ke tingkat parlemen.
Apakah alasan responden menyetujui pengurangan jumlah parpol? Hampir separuh responden (46,9 persen) menyatakan ”terlalu banyak”. Sementara proporsi terbesar kedua beralasan jumlah parpol yang banyak itu ”membingungkan”. Boleh jadi hal ini mengacu juga ke alasan teknis banyaknya kertas suara yang mesti ditandai pada saat pemungutan suara hari-H pemilu. Alasan-alasan lain dalam jumlah kecil secara umum bermakna supaya tidak boros/efisien dalam sistem pemilu mendatang. Becermin pada jajak pendapat ini, jumlah ideal parpol sebaiknya antara tiga hingga 10 parpol. Proporsi terbesar responden (27, 3 persen) menyatakan, jumlah ideal parpol adalah lima. Seperempat bagian responden menyatakan, jumlah ideal parpol adalah tiga seperti masa lalu. Sementara 17,7 persen responden menyatakan, jumlah ideal yang masih bisa ditoleransi adalah 10.
Meskipun gagasan penyederhanaan jumlah parpol ini terdengar pahit bagi simpatisan partai kecil, publik tampaknya cenderung memilah ”risiko politik” tersebut. Risiko prosedural bahwa penyederhanaan parpol akan lebih menguntungkan parpol besar memang diamini oleh 60,3 persen responden meski bagi sepertiga responden lainnya bisa juga sebaliknya. Namun, risiko substansial bahwa aspek keterwakilan politik akan berkurang dengan adanya penyederhanaan parpol tampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan publik. Proporsi responden yang mengkhawatirkan hal itu (43,1 persen) lebih sedikit ketimbang yang optimistis (51,3 persen).
Batas minimum parlemen
Penerapan seleksi administrasi maupun oganisasi yang ketat cukup berhasil menyaring jumlah partai yang mengikuti pemilu. Upaya untuk membatasi jumlah parpol peserta pemilu sudah dilakukan sejak tahun 1999 melalui sistem electoral threshold atau batas minimum perolehan suara. Electoral threshold waktu itu, yakni 2 persen dari seluruh perolehan suara di parlemen, bertujuan menyaring parpol peserta Pemilu 2004. Melalui saringan tersebut, hanya enam partai yang lolos: PDI-P, Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PBB.
Namun dalam praktiknya, sistem di atas ternyata ”disimpangi”. Partai-partai yang tidak lolos masih diperkenankan ikut pemilu dengan jalan membentuk partai baru. Salah satu caranya adalah membentuk partai baru. Partai Keadilan (PK), misalnya, mengubah dirinya dengan membentuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai-partai lain juga melakukan modus yang mirip, seperti dengan menambahkan kata ”Indonesia”. Sebagai contoh, Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Pada Pemilu 2009, sistem electoral threshold sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan untuk menyeleksi kontestan pemilu. Partai yang tidak lolos tetap diperkenankan ikut pemilu. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila jumlah kontestan pada Pemilu 2009 kembali melonjak menjadi 38 partai (belum termasuk enam partai lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) setelah sempat turun menjadi 24 partai pada Pemilu 2004. Seperti diketahui, pemilu pertama pada era reformasi tahun 1999 diikuti oleh 48 partai.
Konfederasi atau lebur?
Electoral threshold memang gagal membatasi partai peserta pemilu, oleh karena itu muncul parliamentary threshold. Wacana menaikkan batasan minimum parliamentary threshold menjadi 5 hingga 10 persen dipelopori oleh partai-partai besar, seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PDI-P. Tentu saja ini mendapat tentangan dari partai-partai kecil karena mereka akan semakin sulit mendapat kursi di DPR. Jika pada Pemilu 2009 jumlah suara yang hilang dari partai-partai kecil akibat batasan 2,5 persen saja sudah lebih dari 13 juta suara, maka manakala batas minimum dinaikkan menjadi 5 persen, suara yang hilang bisa jadi mencapai lebih dari 25 juta suara.
Untuk mengantisipasi rencana kenaikan angka parliamentary threshold pada Pemilu 2014, belakangan ini partai-partai kecil mulai ancang-ancang untuk menyiasatinya. Cara yang paling memungkinkan saat ini atau yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu adalah melakukan penggabungan atau merger menjadi satu partai dengan partai-partai lain. Cara inilah yang dilakukan oleh Partai Gerindra dengan sembilan partai kecil lainnya.
Sementara itu, Partai Amanat Nasional (PAN) menggulirkan wacana penggabungan partai melalui jalan konfederasi. Melalui konfederasi, partai-partai yang tergabung bisa mempertahankan eksistensi partainya sehingga masih memiliki kepengurusan maupun lambang partai seperti sediakala tanpa harus melebur menjadi satu partai. Penggabungan hanya terbatas pada penggabungan suara hasil pemilu. Masalahnya, penggabungan partai lewat konfederasi belum diatur dalam undang-undang.
Mayoritas responden jajak pendapat Kompas, lebih dari 86 persen, setuju dengan penggabungan partai baik melalui penggabungan maupun konfederasi. Namun, apabila diminta memilih, sebagian besar responden lebih memilih penggabungan partai menjadi satu partai ketimbang dengan cara konfederasi.
Dukungan terhadap penggabungan partai untuk mengurangi jumlah partai di parlemen ini tidak hanya dilakukan oleh responden konstituen partai-partai besar, tetapi juga didukung oleh sebagian besar responden partai kecil atau yang pada Pemilu 2009 lalu partai pilihannya di luar Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P. Jadi, kendati aturan parliamentary threshold terbukti mengecilkan peran partai kecil, hal itu ternyata kurang dipedulikan oleh konstituen partai kecil. Penyebabnya antara lain sebagian besar (61 persen) responden yakin bahwa penggabungan parpol akan meningkatkan kinerja dan fungsi partai ke depan. Mereka juga yakin bahwa prospek parpol yang melakukan penggabungan akan lebih baik pada saat Pemilu 2014 ketimbang saat ini.
Meskipun upaya untuk menyederhanakan jumlah partai di parlemen ini memperoleh dukungan yang luas, sistem tersebut bukan tanpa risiko. Menurut Katz dan Mair, mekanisme penyederhanaan partai melalui parliamentary threshold ini akan memunculkan partai kartel. Muaranya, prinsip keterwakilan dari segenap unsur masyarakat, yang seharusnya tecermin dari wajah keberagaman partai di parlemen, tidak akan tampak. Parlemen nantinya hanya dikuasai partai-partai besar dan mereka bersama-sama dengan eksekutif akan berusaha menghalangi partai-partai kecil untuk masuk ke parlemen. Anung Wendyartaka (Litbang Kompas)
Source: kompas.com