Home > Education > Political Marketing > “Cuco Beulahee, Aneuk Bek Meunikah”

“Cuco Beulahee, Aneuk Bek Meunikah”

Persoalan utama yang menjadi perdebatan menjelang pemilihan kepala daerah di Aceh tak lain adalah calon independen. Hingga kini, payung hukum boleh atau tidaknya calon independen ikut pilkada masih saja diperdebatkan. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah mengharuskannya ada dalam pilkada Aceh.

Siapa sebenarnya sosok penggagas calon independen di Aceh itu. Tak lain adalah Mukhlis Muktar. Dia seorang advokat, pernah menjadi politisi di DPR Aceh, dan kini kembali berkiprah di dunia politik. Ini lantaran kegelisahannya melihat elit politik yang selalu bikin bingung masyarakat.

Dia bicara banyak hal dengan wartawan The Atjeh Post di Beurawee, Banda Aceh, Selasa 3 Mei 2011. Termasuk di antaranya mengkritik Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dan juga wakilnya Muhammad Nazar. Tentu Partai Aceh juga tak luput dari sayatannya yang tajam. Berikut petikannya:

Bagaimana cerita proses lahirnya calon independen di Aceh?
Independen itu lahir di Qanun Pilsung (pemilihan langsung) Qanun Nomor 2 tahun 2004, tapi prosesnya sangat lama, kerena pada saat itu Gubernur dan DPRD tidak sependapat dengan Pilsung, itu sempat berputar-putar sekitar dua tahun, berarti dari 2002 sudah ada pembahasan tentang qanun pilsung.

Pada tahap awal memang tidak diakomudasi adanya calon independen, berkat dorongan masyarakat sipil lahir institusi calon independen. Berawal dari simulasi di Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Pada saat itu ada simulasi pemilihan langsung, ternyata yang menang kotak kosong bukan partai-partai yang disimulasi seperti partai manggis, jagung. Nama-nama partai nasional yang disamarkan dengan buah-buahan waktu itu. Jadi calon independen di Pilkada itu bukan hasil MoU Helsihky.

Sejak 2002 sudah ada isu soal calon independen, kemudian menjadi kongkrit di saat masuk menjadi regulasi yaitu Qanun Nomor 2 tahun 2004.  Sebab masih menjadi perdebatan, Qanun ini tidak sempat diterapkan. Akhirnya disesuaikan dengan UUPA dan kondisi Aceh pada saat itu menjadi Qanun nomor 7 tahun 2006. Di Qanun ini tidak mengotak-atik soal calon independen.

Bagaimana pendapat Anda tentang calon independen sekarang ini?
Secara historis Aceh adalah daerah yang memulai tentang calon independen, dan itu tidaklah sepantasnya kalau kita yang mengakhirinya. Apalagi kalau menurut saya secara politik, konflik politik terjadi karena tidak adanya kanal politik.

Independen itu salah satu kanal politik, artinya ini tempat kita mengekpresikan pemikiran politik. Selama ini kanal-kanal itu tersumbat atau dimanfaatkan partai politik. Calon independen itu salah satu jalur bagi siapa pun masyarakat Aceh menyalurkan aspirasi politiknya. Itu alternative.

Konsekuensinya?
Kalau secara hukum tentu semua aturan itu akan tidak sah, ini secara hukum. Secara politik ini masih dalam proses, saya tidak berani menjamin ini berhasil atau tidak. Perilaku politik yang bijak adalah menunggu proses ini, tidak mengintimidasi seperti yang sedang terjadi di Aceh. Saya berpendapat biarkan berjalan sebagaimana apa adanya bukan karena penekanan. Sekarang banyak sekali yang bicara atas dasar “menekan”.

Misalnya, Gubernur Irwandi Yusuf yang bicara di koran, Muhammad Nazar bicara di koran dan elit-elit bicara di koran, padahal mereka itu tak perlu menekan karena mereka penguasa. Lebih baik mengarahkan semua pemikiran ke dalam trek yang benar, misalnya pilkada di Aceh berdasarkan Qanun ya kita tunggu Qanun.

Kenapa menunggu?
Karena memang perintah UUPA. UUPA menyatakan pilkada di Aceh berdasarkan Qanun, kalau sudah ada Qanun harus ada juklak jurnis ini tinggal kita tunggu saja.

Misalkan Qanun ini tidak diselesaikan, konsekwensinya terhadap independen apa?
Pemahaman hukum saya, Qanun itu tidak bisa dimanfaatkan tidak bisa digunakan secara sempurna. Kalau kita siasati bisa, tapi saya khawatir akan menjadi potensi konflik di kemudian hari. Misalnya, hari ini tanpa menunggu DPRA kawan-kawan pemerintah karena ada kekuasaan langsung melaksanakan pildaka. Ini akan berbenturan banyak hal.

Saya khawatir akan ada gugatan nanti, berhadapan antara realitas politik dan ketentuan hukum. Ujung -ujungnya itu akan merugikan masyarakat Aceh. Bayangkan Rp 211 miliar uang rakyat untuk pilkada, kalau itu dibatalkan nanti berarti rakyat Aceh akan kehilangan uang dan rugi cukup besar.

Melihat kisruh Pilkada saat ini, apakah harus tetap mengunakan jalur Independen?
Secara hukum putusan Mahkamah Konsitusi (MK) tidak bisa diganggu gugat. Saya lihat persoalanyan di tataran politik, bagaimana semua kekuasaan politik harus berpikiran jernih, harus bisa menyelesaikan persoalan ini.

Saya melihat dalam kondisi konflik pun Aceh bisa keluar dari persoalan-persoalan dengan melibatkan semua potensi yang ada, kok dalam kondisi damai ini kita macet. Komunikanlah semua persoalan secara jentelmen supaya faktor-faktor penghambat ini bisa diselesaikan.

Faktor penghambatnya apa?
Saya lihat ada pro dan kontra terhadap calon independen, tapi pihak-pihak yang berkonflik ini tidak berkomunikasi, “cuco beulahee aneuk bek meunikah, u bek beukah kuah beulemak”.  Aceh hari ini gagal dalam komunikasi politik baik di internal Aceh maupun ke luar. Bagiamana buruknya komunikasi politik Aceh dengan Jakarta, komunikasi penguasa dan yang dikuasa sangat tidak baik.

Apakah ada yang bermain dalam penentuan jadwal Pilkada?
Saya lihat masing-masing kelempok ada kepentingan, intinya Partai Aceh (PA) takut pada Irwandi yusuf, Irwandi takut kehilangan kekuasaan. Saya kira kita harus siap berkomunikasi dan berkompetesi dan harus siap menyelesaikan masalah ini. Karena yang menjadi gubernur nanti harus siap menyelesaikan masalah Aceh. Kalau pada pintu gerbang saja tidak beres bagaimana mau mengelola pertandingannya.

Pandangan Anda tentang pelaksanaan pilkada, sebaiknya bagaimana?
Harus jujur, adil, demokratis dan harus siap dalam segala hal. Dan saya sangat berpendapat dilaksanakan pada posisi semua pihak sudah siap, jangan dipaksakan.

Kalau Oktober dilaksanakan banyak pihak yang merasa terpaksa. Kalau kita lihat kondisi hari ini sudah semata-mata kepentingan kelompok. Jangan berpolemik di media masssa, rakyat Aceh bingung dengan pendapat elit yang berkomentar di media, mungkin termasuk pendapat saya. Tugas pemimpin adalah menyelesaikan persoalan rakyat.

Kenapa Anda tidak suka mendengar nama Irwandi Yusuf?
Bukan tidak suka, saya sebagai mantan anggota dewan punya kewajiban mengawasi pemerintah. Kebutulan Irwandi kepala pemerintah. Saya membela kepentingan rakyat, karena ada perkara korupsi saya harus ngomong, karena pemerintah banyak salah maka saya banyak ngomong. Jangan lupa, UUPA memberi mandat kepada rakyat Aceh untuk mengawasi pemerintah, boleh baca pada pasal 72, rakyat Aceh tidak banyak mengetahui tentang  ini.

Ini bukan persoalan pribadi. Saya menghormati Gubernur Aceh, tetapi saya tidak suka perilakunya. Bahwa dia sebagai orang pemerintah, saya menghormati semua simbul-simbul pemerintah. Gubernur itu bukan hanya memimpin preman, juga memimpin ulama, masyarakat adat, masyarakat politik, dan juga masyarakat seluruhnya.

Menghormati amanah itu, kalau kita sedang berada di sini kita harus bersikap yang sopan jadi disesuaikanlah. Jadi pemimpin yang terhormat bagi masyarakat, harus tampil di depan menyelesaikan masalah, tidak melakukan prilaku-prilaku yang merugikan rakyat. Saya tidak suka kalau ada gubernur sok hebat, seakan-akan penguasa boleh melakukan apa saja sesukanya.

Oh ya, kami mendengar Anda maju sebagai calon gubenur juga?
Pertama itu hak setiap warga, kedua saya sebagai orang yang menggagas independen, saya harus bertanggungjawab calon independen. Kalau memang tidak ada orang yang pantas dan patut mencalonkan Gubernur, saya harus mencalonkan diri, ketimbang independen ini dibajak oleh pahlawan kesiangan, tokoh-tokoh yang mendapat bola mentah. Kalau jalur independen ada saya pasti mencalonkan diri, kalau dari partai nasional saya tidak akan mencalonkan diri.

Source : Atjeh Post

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Survei: Banyak Masyarakat Belum Tahu Pemilu 2019 Serentak
Tak Ada Ideologi Politik di Jabar
PKS di Pilgub Jabar tanpa Konsultan Politik Eep Saefullah Fatah
Polmark Ungkap Faktor Signifikan Kemenangan Anies-Sandi

Leave a Reply