BARU-baru ini Edward Aspinnal, salah seorang peneliti dari Australian National University (ANU), menerbitkan hasil penelitiannya selama sepuluh tahun tentang Aceh. Di mata peneliti di Aceh dan luar negeri, nama Edward memang cukup terkenal. Bahkan beberapa muridnya sekarang masih “menyisir” Aceh dengan berbagai topik penelitian.
Judul artikel yang terbit pada jurnal terkemuka di Amerika Serikat yaitu Indonesia edisi April 2009 adalah Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh (Kombatan ke Kontraktor: Politik Ekonomi dalam Perdamaian di Aceh). Dibandingkan beberapa peneliti asing yang lebih senior, seperti Anthony Reid, Damien Kingsbury, J. Siapno, John R. Bowen, dan Mark Durie, nama Edward Aspinnal memang tergolong masih baru.
Artikelnya saya angkat untuk didiskusikan, karena perhatian Edward terhadap Aceh memang sangat luar biasa. Khususnya jika kita bahwa beberapa tulisannya mengenai Aceh sejak tahun 2000-an. Tulisan ini singkat ini sengaja saya paparkan, mengingat pada tahun 2007, ada tulisan termasuk dari saya yang dimuat di dalam harian ini tentang potret kehidupan para mantan kombatan dengan metafor hasil perjuangan mereka seperti berhenti di “Kijang Innova.”
Agaknya Edward malah berani memaparkan perubahan nasib mantan kombatan GAM ini dengan amat meyakinkan melebihi dari “Kijang Innova”. Menjadi menarik di sini, karena Edward dan juga Damien Kingsbury dikenal dekat dengan sejumlah petinggi GAM. Di dalam hal ini, Edward telah berhasil “membuka” bagaimana dinamika mantan kombatan yang beberapa dari mereka menjadi kontraktor yang sukses. Edward sendiri membuka tulisannya dengan memaparkan bagaimana kemegahan rumah Tgk. Darwis. Dalam artikel tersebut, Edward secara gamblang menulis bahwa sosok kombatan itu telah menjadi seorang enterprener dan kontraktor yang sangat sukses. Edward menulis: “In the past, Darwis had expounded a vision of remorseless struggle against the Indonesian state. Now he said he was more concerned with ensuring this his formers followers had jobs and did not slide toward lives of violent crime.”
Saya memang agak terkejut membaca laporan awal Edward ini. Sebab apa yang bisa dibayangkan jika artikel Edward ini dibaca sepuluh tahun mendatang oleh generasi muda Aceh. Boleh jadi, artikel ini menjadi “bom waktu” di kemudian hari, sebab jika tidak disikapi dengan bijak. Boleh jadi generasi muda Aceh mendatang, akan melakukan `penilaian’ tersendiri terhadap pola tingkah laku beberapa mantan kombatan GAM. Bahasa yang cukup sederhana untuk membahasakan “bom waktu” adalah walanca walance awai ta pubut du doe tapike. “Seunut” yang dipaparkan oleh Edward kali ini cukup menyentak, walaupun hasil penelitian ini tidak akan didistribusikan kepada para mantan petinggi GAM di Aceh. Dan dalam artikel ini, Edward juga menyajikan bagaimana `cara-cara’ mantan kombatan menguasai proyek di Aceh.
Edward menyebutkan bahwa ada enam cara dimana mantan kombatan GAM mendapatkan penghasilan selama paska MOU Helnsinki. Pertama, banyak mantan kombatan yang kembali pada aktivitas ekonomi murni. Seperti menjadi pekerja atau penjual di beberapa sektor aktivitas ekonomi. Kedua, bantuan langsung. Harus diakui, selama paska MOU, beberapa mantan kombatan GAM banyak mendapatkan bantuan dengan berbagai program untuk mengembalikan mereka pada masyarakat.
Ketiga, penglibatan anggotan GAM di dalam upaya rehab rekon, seperti di dalam BRR. Keempat, pajak nanggroe atau uang keamanan. Disini memang Edward berhasil memaparkan bagaimana tingkah laku mantan kombatan GAM di dalam mendapatkan berbagai pendapatan di lapangan, melalui pajak nanggroe atau uang keamanan, untuk memuluskan proyek-proyek yang tengah berlangsung di daerah.
Kelima, bisnis wiraswasta. Di dalam bagian ini, Edward menyebutkan bagaimana kesuksesan perusahaan Pulo Gadeng milik Muzakir Manaf dalam berbagai proyek. Keenam, melalui jaringan GAM dimana mereka mendapatkan uang atau pemasukan dari beberapa tokoh GAM yang masuk ke dalam wilayah pemerintahan. Dari keenam hal tersebut, Edward lebih menitik beratkan pada aspek perilaku “kontraktor” dari GAM. Edward juga melalui beberapa `wawancara rahasia’ berhasil memaparkan bagaimana pihak kombatan GAM melakukan upaya-upaya untuk mendapatkan proyek di Aceh selama paska MOU Helsinki.
Perangai kontraktor mantan kombatan ini, digambarkan oleh Edward sebagai berikut. Pertama, mereka hanya mendapatkan fee dari beberapa kontraktor yang sudah mapan, dan mereka lebih menjalankan aktivitas konstruksi yang menurut Edward lebih banyak “low-level and low-skilled construction work, usually in conjunction with better established players.” Menurut saya, ini merupakan `rapor merah’ bagi sebagian mantan kombatan/pejuang. Karena tidak semua anggota GAM yang mendapatkan proyek selama ini.
Di dalam konteks ini, publikasi Edward ini sangat menarik, sebab dia memang memiliki akses dengan para petinggi GAM. Dalam sejarah kepenelitian di Aceh, peneliti asing, termasuk jurnalis memang memang lebih banyak dekat dengan kombatan seperti Michelle Ann Miller dan William Nessen. Namun, terkadang “curhat” pihak GAM ini bisa mencoreng wajah dan sejarah GAM di kemudian hari.
Saat ini, upaya untuk menulis tentang Aceh memang sedang digalakkan di luar negeri. Di dalam ilmu sosial “curhat” bisa menjadi `senjata makan tuan’. Dibandingkan beberapa tulisan Edward lainnya mengenai Aceh, seperti The Aceh Peace Process bersama Harold Crouch (2003) dan The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh? (2005), tulisan mengenai perilaku mantan kombatan GAM kali ini perlu mendapat perhatian bersama oleh kita, minimal oleh para peneliti muda Aceh harus bisa melihat bagaimana isi dan dampak dari tulisan tersebut, tidak hanya untuk hari ini, namun juga bagi wajah Aceh, di tingkat nasional maupun internasional.
Tulisan Edward ini memang tidak boleh disambut melalui sikap yang emosional. Sebab, di dalam ilmu sosial, setiap hasil riset yang ditanggapi secara emosional akan menghasilkan sikap kontra produktif, yang kadang malah melambungkan nama peneliti tersebut. Karena itu, peringatan orangtua Aceh mengenai walanca walance memang sangat tepat untuk menyampaikan “curhat.” Sebab siapapun bisa menulis tentang Aceh melalui berbagai sudut pandang.
Dunia kepenelitian adalah dunia yang paling berkembang di bawah langit ini. Hanya saja, terkadang penelitian-penelitian yang bersifat “curhat” dan “apa adanya” bisa menjadi “bom waktu” bagi mereka yang tidak memahami posisi ilmu sosial di dalam kehidupan manusia. Tentu bukan tempatnya untuk menyatakan siapa yang bertanggungjawab di kemudian hari, akibat dari tulisan Edward ini.
Nah, apa yang bisa kita lakukan adalah intropeksi diri, bahwa apapun yang kita lakukan di Aceh ada yang memonitornya. Mereka akan menulis dan menyajikan kepada generasi mereka dan generasi muda Aceh berikutnya. Intropeksi diri ini memang susah, sebab wilayah kesadaran kita tidak bisa bersamaan dengan wilayah kebutuhan dan kepentingan kita sehari-hari. Honor peneliti di luar negeri, untuk beberapa penelitian mereka bisa membeli satu desa di Aceh.
Sejatinya, bagi kita rakyat Aceh kebutuhan dan kepentingan di dalam hidup ini harus diseimbangkan. Jangan uang untuk membangun desa dan daerah menjadi “bahan tertawaan” di dalam seminar-seminar di luar negeri. Karena itu saya selalu mengatakan Aceh adalah sebuah laboraturium sosial bagi dunia internasional. Kita hanya seperti “ikan yang diberi makan di dalam aquarium besar.”
Akhirnya, tulisan singkat ini bisa menjadi diskusi dan masukan bagi sebagian kelompok masyarakat Aceh saat ini. Setiap detak kehidupan kita selalu ada yang memantau. Kita terkadang tidak takut pada “pantauan langit”, karena itu kadang terjebak pada “pantauan bumi” yang malah menyebabkan kita sendiri dipermalukan di depan generasi sendiri. Mudah-mudahan, filsafat walanca walance menjadi perhatian kita semua, tidak terkecuali oleh mantan kombatan GAM yang menjadi objek tulisan Edward. Karena itu, sering-seringlah menatap ke langit supaya kita berhati-hati akibat dari abai terhadap “pantauan langit.”
Oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
* Penulis adalah mantan peneliti terorisme di Asia Tenggara tinggal di Banda Aceh.
Source : Serambi Indonesia, 5 Oktober 2009