Politik, sejatinya adalah keterbukaan, bahkan “ketelanjangan.”
Tidak ada yang tersembunyi, apalagi sengaja disembunyikan.
Jika saja politik itu manusia, maka politik adalah “makhluk paling seksi,” mengalahkan keseksian manusia.
Begitu seksinya, pikiran dan tindakan politik, senantiasa terdedah, dan siapapun bisa merasakan, kehadirannya.
Bahkan, niat politik pun bisa diendus sebelum kemunculannya. Semua itu karena memang politik tidak memiliki aurat. Jika pun ada maka aurat politik tidak berjenis kelamin.
Jadi, tidak heran manakala ada banyak orgasme politik yang terjadi, justru sebelum “senggama” politik berlangsung. Beberapa ada yang mengalami puncak klimak, sepanjang waktu.
Sebaliknya, ada banyak juga yang tidak merasakan apa-apa, hingga usai senggama politik 5 tahunan.
Begitulah. Di ruang demokrasi, politik, hadir dan hinggap di ruang pikiran dan hati, secara telanjang, tanpa aurat, dan karena itu tidak perlu UU Pornografi dan Pornoaksi Politik.
Rakyat, dengan kemampuan mata ketiganya, bisa langsung menentukan sikap, menghukum, bergabung, atau “mempelacuri” politisi, atau politik itu sendiri. Di awal kekuasaan mesra, di ujung waktu tahta berseteru.
Atau, di awal “karu” di akhir bersatu. Atau, ragam bentuk “senggama” politik lainnya, mesra sejauh menguntungkan.
Itulah mengapa politik kekinian semakin menggerakkan, dan menarik keterlibatan semua orang, meski tidak semua orang mengaku sebagai politisi.
Anehnya, politik di Aceh justru semakin kehilangan keseksiannya.
Dari waktu ke waktu, politik Aceh makin tertutup, dan proses-proses politik di bumi Serambi Mekkah, makin terbatas dan dibatasi.
Tidak ada yang namanya “geudeu-geudeu” apalagi “seudati” pemikiran atau gagasan serta program politik di tingkat keacehan. Lebih dominan intruksi, petunjuk, dengan satu alasan, “cit ka meunan gareh politek” (memang sudah begitu petunjuk). Pergumulan justru terjadi di ranah dukungan versus penolakan.
Jika diumpamakan, persis seperti manusia. Politik kekinian Aceh semakin berjenis kelamin perempuan. Ini hanya sekedar perumpamaan.
Maka, seperti aurat perempuan, politik Aceh hanya boleh “tampak mata dan telapak tangan.” Selebihnya, tertutup, bahkan dihadapan sesama perempuan, yang berbeda keyakinan (baca: antar partai).
Maknanya, hijab politik Aceh kini makin tebal saja. Warna kain hijabnya sangat dominan hitam atau merah. Maka wajar makin tidak terlihat isi dalamnya sehingga publik tidak bisa lagi meresponnya dengan seksama.
Di pasar politik Aceh, kain putih, biru, kuning, atau apapun warna lainnya nyaris hilang. Dibeli hanya oleh orang tertentu saja, dipajang hanya pada masanya. Apalagi warna orange, terkadang dilihat sebagai kain orang berpenyakit.
Padahal Aceh adalah tanah dengan warna-warni kehidupan, termasuk di taman perpolitikan, dari sejak masa azalinya.
Proses-proses politik lebih banyak terjadi pada mereka yang disebut “muhrim” politik, yaitu kelompok, bahkan perseorangan.
Sekali lagi, publik hanya menikmati “mata” dan “telapak” dari kebijakan dan program belaka. Publik bagai “istri” yang baru dianggap “salihah” manakala “tunduk” dan “patuh” pada “suaminya.”
Ada apa dibalik semua ini?
Sekali lagi, sejatinya politik adalah keterbukaan, bahkan ketelanjangan. Semua terdedah, termasuk niat politik. Suatu ketika, kaca mata tembus atau mata ketiga rakyat akan mendedahnya. [R]
Source : Risman Blog
Posted from WordPress for Android