Home > News > Feature > Bergulat Meraih Kesetaraan

Bergulat Meraih Kesetaraan

Sejarah perempuan Aceh merupakan sejarah kesetaraan. Sederet tokoh perempuan yang hidup pada rentang abad ke-15 hingga ke-20 pernah memimpin di ranah politik, medan perang, hingga ranah agama.

Sebut saja beberapa di antaranya, yaitu Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin, Laksamana Keumalahayati, Laksamana Meurah Ganti, Tjut Nyak Dhien, Tjut Meutia, dan Teungku Fakinah. Kepemimpinan mereka menunjukkan perempuan Aceh mampu berkiprah di bidang yang sering dianggap sebagai ranah para lelaki. Ingatan terhadap para leluhur itulah barangkali yang menggerakkan sejumlah perempuan di Kabupaten Bener Meriah untuk terlibat dalam proses perdamaian.

Sore itu, sekitar 20 perempuan berkumpul dan berlatih memadukan suara di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Aceh wilayah Bener Meriah. Suara mereka membahana memenuhi ruangan yang tak seberapa luas. Mereka berlatih mendendangkan lagu Tawar Sedenge (Penyejuk Masa Lalu), Bungong Jeumpa (Bunga Cempaka), dan Suwe Ora Jamu (Sudah Lama Tidak Minum Jamu). Ketiga lagu itu dinyanyikan saat Deklarasi Kampung Damai pada 22 Desember 2010 di lapangan Simpang Tiga, Redelong, Kabupaten Bener Meriah.

”Kami memilih tiga lagu ini karena bisa mewakili keberadaan tiga etnis berbeda, yaitu Gayo, Aceh, dan Jawa, yang menghuni wilayah ini,” papar Sukensi, salah seorang perempuan dari gampong Sedie Jadi.

Pascapenandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) Damai di Helsinki tahun 2005, prasangka antar-etnis dan dendam belum juga sirna dari kehidupan masyarakat di Kabupaten Bener Meriah. Tak nyaman dengan kondisi ini, para perempuan dari sejumlah desa berinisiatif memulai proses perdamaian sejati dengan berkumpul bersama dan merancang berbagai kegiatan. Para perempuan ini tergabung dalam Kelompok Perempuan Cinta Damai (KPCD), sebuah organisasi yang dinaungi beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk melaksanakan program perdamaian berbasis komunitas.

Pilihan kepada perempuan tidak lain karena ”para perempuan lebih terbuka dan mudah menerima pertentangan dengan orang lain. Hal ini pula yang mempercepat proses perdamaian”, papar Dwi Handayani, Ketua KPCD.

Kini KPCD beranggotakan 80 perempuan dari berbagai etnis yang berasal dari 16 gampong di Kabupaten Bener Meriah. Bahkan, di antaranya ada yang menjalin persaudaraan melalui perkawinan antar-etnis anak-anak mereka. Apa yang dilakukan anggota KPCD itu adalah representasi perjuangan perempuan Aceh sekaligus bukti peran penting mereka dalam perubahan sosial masyarakat di bumi ”Serambi Mekah” ini.

Diabaikan

Saat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI masih berlangsung, para perempuan ikut terlibat di dalamnya. Banyak di antara mereka ikut angkat senjata. Lebih banyak lagi yang tetap di rumah dan menggantikan peran laki-laki yang pergi berperang. Perempuan ini bekerja, baik di ladang atau pasar, untuk menafkahi keluarga. Tak sedikit yang harus berhadapan dengan tentara dan mengalami kekerasan ataupun memberikan nyawanya.

Selepas konflik dan perdamaian, kontribusi penting itu ibarat angin lalu saja. ”Saat ini di Bireuen saja ada sekitar 350 perempuan yang pernah terlibat konflik bersenjata. Tidak ada di antara mereka yang menduduki jabatan penting di pemerintahan lokal saat ini. Sangat berbeda dengan kebanyakan lelaki mantan GAM,” papar Tengku Fariz, Ketua Liga Inong Aceh Kabupaten Bireuen.

Tidak hanya itu, beberapa kali Tengku Fariz mengalami kesulitan saat akan menyertakan para perempuan itu ke dalam program bantuan. ”Saya justru dicurigai oleh kaum laki-lakinya akan berbuat hal yang tidak baik sehingga tidak bisa meneruskan program bantuan,” urainya.

Di samping kenyataan bahwa perempuan telah memberi kontribusi penting bagi perubahan di Aceh, para perempuan Aceh masa kini terus bergulat dengan sejumlah pembatasan dan bahkan diskriminasi. Seperti diberitakan berbagai media massa, belum lama ini Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen Ridwan Muhammad meminta pada Bupati Bireuen untuk mencopot Anisah, Camat Plimbang, karena dianggap melanggar syariat Islam.

Menurut Ridwan, desakan ini atas usulan sejumlah ulama dan kelompok masyarakat yang menyatakan syariat Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Bahkan, ia menginginkan agar pelarangan ini berlaku untuk semua jabatan di jajaran eksekutif dan legislatif Kabupaten Bireuen.

Dr Nurjanah Ismail, pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Ranniry dan anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, menegaskan, ”kepemimpinan perempuan dalam jabatan publik sah saja sepanjang didukung kemampuan dan moralitas yang baik. Pandangan yang menolak perempuan menjadi pemimpin merujuk pada hadis yang dipahami secara sempit dan tidak melihat konteks saat hadis itu muncul”.

Menariknya, di wilayah lain seperti Kota Banda Aceh, kepemimpinan perempuan bukanlah masalah. Buktinya, jabatan Wakil Wali Kota Banda Aceh dipegang seorang perempuan, Illiza Sa’addudin Jamal. Jabatan ini telah digenggamnya sejak tahun 2007 tanpa penolakan berarti dari kelompok di masyarakat.

Dua peristiwa di dua tempat berbeda itu memperlihatkan bahwa dalam konteks kekinian Aceh, terbuka ruang bagi terjadinya politisasi agama untuk kepentingan sempit segolongan orang. Bila hal itu dikaitkan dengan perempuan, bisa menjadi bumerang bagi proses pemajuan kaum perempuan di Aceh.

Berbasis jender

Hampir satu dekade setelah otonomi khusus, akses perempuan Aceh terhadap pendidikan menjadi satu-satunya sektor yang memberikan gambaran positif. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan menyebutkan, tak ada perbedaan signifikan berbasis jender dalam hal tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah. Sampai tahun 2008, angka melek huruf perempuan dan laki-laki hampir mencapai 100 persen. Sementara itu, tingkat partisipasi sekolah anak perempuan maupun laki-laki sama-sama semakin berkurang seiring meningkatnya jenjang pendidikan.

Namun, kesenjangan berbasis jender muncul di bidang lain, seperti ketenagakerjaan. Tatkala perempuan masuk angkatan kerja, kesenjangan dengan laki-laki tampak jelas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh 2010 menunjukkan, selama satu dekade jumlah angkatan kerja perempuan jauh di bawah angkatan kerja laki-laki. Proporsi perempuan sebagai angkatan kerja rata-rata hanya 36 persen, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 64 persen.

Tak hanya itu. Berkaitan dengan kepemilikan tanah, tampaknya perempuan belum memperoleh hak setara dengan pasangannya. Data dalam Aceh Human Development Report 2010 yang disusun Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan (UNDP) untuk Pemerintah Provinsi Aceh memperlihatkan distribusi kepemilikan tanah di Aceh berdasarkan jenis kelamin. Tahun 2008, proporsi kepemilikan tanah atas nama perempuan jauh lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Proporsi seperti ini berkaitan dengan pola pewarisan hak atas tanah dan kepemilikan tanah atas nama laki-laki sebagai kepala keluarga yang dominan berlaku di Aceh.

”Banyak perempuan desa yang kesulitan mengakses kredit usaha karena jaminan berupa surat kepemilikan tanah yang didapatkan dan dikelola bersama suaminya sering kali atas nama laki-laki,” jelas Irawati dari Forum Bangun Aceh yang mendampingi sejumlah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Aceh Besar. Masalah juga kerap muncul saat janda korban tsunami ingin mengambil tanah warisan suaminya. Tanah itu sering kali diklaim sebagai milik saudara laki-laki suaminya.

Di ranah politik, tingkat keterwakilan perempuan Aceh di lembaga legislatif sangat rendah. Dari 65 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2009-2014, hanya empat perempuan atau hanya 6 persen dibandingkan dengan jumlah anggota laki-lakinya (94 persen). Proporsi sama berlaku pula di tingkat DPRK. Dari seluruh anggota DPRK di Aceh yang berjumlah 623 orang, hanya 35 kursi bagi perempuan, yang berarti 5,6 persen saja dibandingkan dengan anggota laki-laki (94,4 persen).

Apa yang terjadi di Aceh saat ini merupakan penanda pergulatan perempuan Aceh yang cukup berat untuk mengulang kembali sejarah kejayaan mereka. (Litbang Kompas)

Source : Kompas.com

You may also like
Demokrat, PNA dan PAN Dikabarkan Usung Irwandi dan Nova Iriansyah
A Fork in the Road for Aceh
Pentingnya Posisi Aceh dalam Politik Nasional
Scenarios for Aceh’s turning point

Leave a Reply