Berubah profesi mungkin merupakan hal biasa bagi sebagian orang dan juga merupakan hal yang sangat sulit bagi sebagian yang lain. Bagi yang mudah berganti profesi, umumnya mereka yang menyukai tantangan dan cepat merasa bosan dengan pekerjaan yang telah ada. Rutinitas yang tidak pernah berubah dari hari ke hari hingga dari tahun ke tahun, penghasilan yang segitu gitu saja alias bekerja untuk membayar tagihan. Kelompok ini akan segera berganti profesi begitu mendapat kesempatan pertama.
Bagi yang sulit berganti profesi umumnya mereka yang sudah mapan di bidangnya ataupun orang-orang yang sudah tidak berani lagi mengambil tantangan. Yang mapan sudah merasa nyaman dengan yang dimilikinya, gaji besar, fasilitas meluber, karir jelas di depan mata, apalagi yang mau dicari! Yang tidak berani mengambil tantangan mungkin merasa tidak yakin dengan profesi baru, usia sudah terlalu tua untuk beraktivitas tinggi dan sebagainya.
Nah yang kita omongkan sekarang mungkin agak-agak mirip dengan kedua diatas. Seorang anak muda yang sekian tahun tidak pernah berani mengambil tantangan akhirnya berani mengambil kesempatan berwiraswasta pada salah satu bidang yang tidak pernah masuk dalam daftar cita-citanya. Seorang ustad bersuku Aceh menjadi pedagang sate Madura, sebuah ide konyol kedengarannya. Tapi ia sudah menjalani hampir sebulan ini dan sukses menghabiskan malam bersama dengan gerobaknya dalam keadaan hujan, panas, sepi dan agak ramai (belum pernah ramai benar karena belum ngetop).
Sebut saja namanya Amir, 38 tahun, tamatan SMA, jago mengaji, pengurus mesjid di kampung Mulia, maklum saja almarhum bapaknya juga seorang Imam mesjid yang sama. Keahlian orang tuanya ini menurun kepadanya dan menjadi profesi tidak resmi yang ditekuni bertahun-tahun sejak tamat SMA. Mengapa disebut profesi tidak resmi? Karena profesi ustad dan pengurus mesjid bukan lah pekerjaan yang mendapat gaji tetap namun untuk kemaslahatan umat dan sekali-kali mendapat amplop dari kenduri.
Amir sebenarnya mendapat keahlian membuat sate madura karena sebelumnya sering membantu tukang sate Madura yang beneran asal Madura. Amir membantu mulai dari memotong irisan daging ayam untuk menjadi tusuk sate, membuat kuah sate hingga cara membakar sate yang baik dan benar dalam artian bisa menghemat arang batok (ini penting bagi efisiensi pedagang sate).
Amir tetap menjadi ustad sekaligus bantu-bantu di kelurahan walau ia sudah mulai mahir membuat sate. Banyak yang membujuk dia untuk alih profesi menjadi penjual sate saja, mengingat tukang sate yang sering dibantunya telah menjadi salah satu orang terkaya di kampungnya di Cirebon sana. Perlahan namun pasti Amir pun tergerak untuk memulai usaha sate Madura. Relative butuh waktu lama untuk muncul kesadaran berusaha, dari tahun 2000 hingga 2008 kemarin Amir memberanikan diri menghabiskan celengannya untuk meng-take over- gerobak sate milik pedagang sate yunior lain yang kurang berhasil.
Apa setelah gerobak dan pernak-pernik peralatan sate selesai dimiliki Amir segera memulai usaha sate? Sejak merehabilitasi gerobak sate layaknya BRR merehab Aceh, secara bersamaan Amir juga membeli, kalau dalam istilah computer peripheral, yaitu peralatan pendukung seperti tenda, alat pemanggang sate, pisau dua jenis, bahkan hingga pembungkus pun sudah disiapkan secara dini. Barang-barang ini ditumpuknya di dalam kamarnya yang kecil 2×3 tetapi bersih dan nyaman bebas asap rokok, dia tidak merokok dan tidak suka iklan rokok.
Keluarga pun gembira mendukung upaya Amir berjualan sate. Tapi setelah semuanya siap, gerobak hijau muda itu belum juga mulai didorong-dorong ke tempat mangkalnya jalan Panglima Polem, depan dealer Honda. Apakah Amir takut bersaing dengan dealer Honda? Atau hendak meminta izin pemilik Honda untuk berjualan sate di samping tokonya nan megah? Tidak ada yang tahu pasti apa penyebab Amir belum juga memulai berjualan. Keluarga tidak ada yang bertanya kalau ada yang bertanya pun tidak mendapat jawaban yang memuaskan selain kata ”nanti saja”, titik. Berbulan-bulan lamanya gerobak dan peripheralnya tergeletak begitu saja.
Analisis saya mungkin perasaan berat untuk memulai berwiraswasta masih ada. Apalagi masih ada tugas-tugas ke mesjidan yang harus dijalani Amir. Mental belum siap benar maklum saja keluarganya bukanlah keluarga pedagang yang biasanya mendidik anak-anaknya dengan mental dagang. Sampai-sampai keluarga Amir sudah tidak yakin dia akan benar-benar menjual sate Madura a la Aceh. Apa hendak dikata, berubah profesi bukanlah hal mudah seperti yang sudah ditulis pada pembukaan di atas.
Dari seorang ustad di mesjid kecil mungil yang nyaman, walau tidak ada gaji tetapi tidak pernah kekurangan, menjadi seorang penjual sate yang mengelola sendiri semua hal dan bekerja mandiri. Butuh keajaiban, keajaiban untuk menjadi penjual sate! Saya tidak tahu, karena belum pernah membuat penelitian tentang ini, berapa banyak ustad orang Aceh yang tiba-tiba menjadi pedagang sate Madura. Seorang anak rumahan, tidak punya tradisi berdagang, dengan gerak-gerik monoton harus menjadi seorang pedagang jalanan yang ulet.
Akhirnya pada suatu hari yang panas Amir mulai juga berdagang sate. Dimulai dengan pagi-pagi membeli ayam di pasar, membuat lontong, menyiapkan kuah sate, membuat tusuk sate, membeli arang batok, hari itu Amir menjadi orang pertama dalam keluarga menjadi penjual sate Madura. Sejak hari itu dan hari-hari hingga tulisan ini dibuat Amir terus berusaha menjadi penjual sate yang baik. Paginya menjadi pagi yang sibuk, walaupun anda melihat pedagang memulai berjualan pada sore hari namun sebenarnya kerja telah dimulai sejak pagi. Kalau dalam istilaha dunia kerja “full time job” kerja dari pagi hingga malam hari.
Penjadi pedagang membutuhkan ketabahan yang luar biasa. Menongkrong di belakang gerobak menanti pembeli datang merupakan adalah hal biasa. Pembeli tidak pernah bisa dipastikan datang. Rasa bosan menanti jadi teman akrab tapi itulah namanya ketabahan. Tabah rasa-rasanya tidak pernah diajarkan dalam kelas-kelas ekonomi ataupun dalam textbook. Teori ekonomi hanya bisa mengajarkan hal-hal teknis yang umumnya guma bisa dipraktekkan oleh pedagang bermodal besar. Apakah Amir tahu apa yang dimaksud dengan difrensiasi, branding, segmentasi, after sales service dan sebagainya? Ataukah Amir menjadi pedagang sate karena membaca buku “CHANGE” karangan pakar manajemen Rhenal Khasali? Tidak, Amir hanya mempraktekkan ketabahan dalam berusaha, mungkin nanti setelah punya banyak waktu luang dan punya duit lebih mungkin ia akan membeli buka Rhenald Khasali ataupun buku pakar marketing Kafi Kurnia.
Kualitas dan rasa mantap, itu menjadi motonya sekarang. Menjadi penjual sate Madura bagi Amir benar-benar diluar skenarionya sebagai manusia. Kini ia ingin menjadi pedagang yang jujur, ramah dan berlaku adil pada setiap pembelinya asal bayar..[M.Nizar Abdurrani]
A tribute for my elder brother Syahmirza..
boss, bisa minta no contact personnya Bp. Amir ( penjual sate madura tsb ) ?
Thanks a millions
assalamualaikum wr.wb..semangat yg luar biasa!!!ana juga bru nyadar nih ..mo beralih jadi wiraswasta..mohon do’anya y!