M.Nizar Abdurrani / TheGlobeJournal.com
Banda Aceh – Sejumlah akademisi dan elemen masyarakat sipil melakukan diskusi optimalisasi penelitian untuk membantu Pemerintah Aceh melakukan pembangunan yang berkelanjutan. Diskusi ini diadakan Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah dengan tema “Peranan Perguruan Tinggi dan masyarakat Sipil dalam Masa Depan Aceh Pascakonflik”, yang berlangsung di AAC Dayan Dawood, Kamis (6/5). Kegiatan ini dilatari oleh kenyataan bahwa bila dibandingkan provinsi lain di Indonesia, pembangunan di Aceh cukup berbeda karena sebelumnya mengalami konflik berkepanjangan dan bencana tsunami yang hebat.
Pembantu Rektor Unsyiah Bidang Akademik Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M. Eng saat membuka acara tersebut mengatakan, “Unsyiah sebagai Center of Excellence di Indonesia wilayah barat akan terus melibatkan diri dalam memecahkan aneka persoalan pembangunan daerah dan nasional, melalui penelitian guna memperoleh format baru pembangunan.”
Menurut Samsul Rizal, keterlibatan perguruan tinggi dalam pembangunan merupakan keniscayaan. Perguruan tinggi kaya akan gagasan dan teori baru dalam berbagai bidang. Sedangkan para birokrat pemerintahan kenyang pengalaman lapangan. “Jika keduanya dapat dipadukan, akan menghasilkan program pembangunan yang memiliki kekuatan yang luar biasa bagi kepentingan masyarakat,” katanya.
“Oleh karena itu kami menyambut baik diskusi hari ini yang di dalamnya melibatkan para spesialis baik sebagai praktisi maupun ilmuwan untuk membahas perdamaian Aceh ke depan. Sudah saatnya, akademisi dan masyarakat sipil kembali diikutsertakan secara aktif dalam pembuatan kebijakan daerah ini,” kata Samsul Rizal berharap.
Pada saat yang sama, Prof. Dr. Ir. Darusman, M. Sc, Pembantu Rektor IV Bidang Kerjasama yang juga sebagai Pelaksana Tugas Ketua Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah mengatakan, mengatakan, “Pusat studi ini merupakan kerja sama World Bank, The Asia Foundation, dan Unsyiah atas pendanaan dari UK Department for International Development (DFID).” Beliau menjelaskan bahwa pusat studi ini dibentuk tiga tahun, namun karena berbagai hal, baru sekarang telah berhasil menjalin kerjasama dengan mitra dalam upaya pemberdayaannya.
“Upaya ini akan terus kita upayakan, karena kami yakin hasil kajian pusat studi ini cukup bermanfaat bagi Aceh, terutama bagi Pemerintah Aceh dalam pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan,” ujarnya. Pada kesempatan ini Universitas Syiah Kuala juga mengharapkan Bank Dunia dan The Asia Foundation dapat terus mendukung program ini.
James W. Adams, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, yang juga hadir dalam diskusi ini mengatakan pihaknya menyambut baik keterlibatan kelompok-kelompok lokal yang memahami sejarah, konteks dan kebutuhan suatu daerah dalam menentukan arah pembangunan daerah tersebut. “Kebijakan ini merupakan langkah jitu dalam mengedepankan pembangunan yang bersifat inklusif dan berkelanjutan,” ujar James. Karena itu, tambahnya, Bank Dunia mendukung kegiatan Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik sebagai upaya untuk mengembangkan penelitian independen yang tentunya dapat membantu proses penyusunan kebijakan pembangunan di Aceh.”
Universitas Syiah Kuala telah dan sedang menjadi mitra banyak organisasi baik di tingkat nasional maupun internasional dalam peningkatan kualitas pengajaran dan pengembangan riset. Sejak tahun 2005, Unsyiah telah menjadi mitra Bank Dunia dalam beberapa riset dan asistensi program. Sedangkan keberadaan Bank Dunia dan Multi Donor Fund di Aceh akan berakhir tahun 2012.
Important information, very glad you posted this. I enjoy learning new things everyday so I like subscribing to blogs like yours. Derrick