Warung kopi mudah ditemukan di berbagai tempat di Nanggroe Aceh Darussalam. Berbagai kalangan duduk dan asyik mengobrol berjam-jam di tempat itu. Warung kopi telah menjadi titik untuk bertemu bagi mereka yang suka berbincang, mulai dari soal seni, politik, bisnis, hingga obrolan lainnya. Kehadiran warung kopi di Tanah Rencong itu memiliki sejarah yang panjang.
Di NAD, warung kopi merebak di mana-mana. Semula banyak ditemukan di pantai barat, namun kini di pantai timur mudah pula ditemukan warung kopi. Meski demikian, masih sulit ditelusuri asal-usulnya. Tidak banyak bukti tertulis dan arkeologis yang memberi petunjuk soal kehadiran warung kopi di sana sehingga kita hanya bisa menduga-duga masuknya warung kopi ke provinsi itu.
Kehadiran warung kopi di NAD sangat terkait dengan sejarah perkembangan tempat tersebut. Ketika Kesultanan Aceh berkembang, mereka kerap kali berkomunikasi dengan Kesultanan Ottoman yang sekarang telah menjadi negara Turki.
”Bahkan, saya melihat Aceh sebenarnya menjadi protektorat Ottoman. Kalau Aceh ingin sesuatu, Ottoman selalu membantu. Umumnya bantuan Ottoman berupa alat-alat perang,” kata guru besar IAIN Ar Raniri, Prof M Hasbi Amruddin, yang banyak mengkaji sejarah hubungan Aceh dengan Ottoman. Ia yakin komunikasi itu sangat intensif sehingga banyak hal lain, selain teknik perang dari Turki, yang berpengaruh pada kehidupan warga Kesultanan Aceh.
Budayawan Aceh, LK Ara, menuturkan, dia menemukan beberapa bukti yang cukup kuat mengenai kehadiran Ottoman di Aceh.
Ara menelusuri sejumlah bangunan di beberapa tempat yang mengindikasikan bangunan bergaya Ottoman. Ia bahkan menduga pada masa lalu pelatih-pelatih kemiliteran Ottoman banyak membantu Aceh ketika berperang melawan Portugis.
Kehadiran Ottoman diperkirakan berpengaruh pada gaya hidup warga Aceh. Salah satunya terkait masuknya kopi, gaya hidup minum kopi, dan juga kehadiran warung kopi. Kopi kemungkinan sudah masuk jauh sebelum didatangkan oleh VOC ke Nusantara, seperti yang ada di Minangkabau.
Tempat untuk minum kopi yang paling awal dikenal di Turki dengan nama Kiva Han didirikan pada tahun 1475 di kota Istanbul. Tempat minum ini menjadi salah satu titik dalam sejarah kopi, setelah pada awal abad ke-13 kopi ditemukan dan diperkenalkan mulai dari Etiopia, Yaman, Arab Saudi, hingga Ottoman. Mungkin dari nama Kiva Han itulah kemudian dikenal istilah ”kafe” setelah masuk ke Eropa. Sangat boleh jadi, pada masa yang tidak lama setelah di Ottoman itulah kafe diperkenalkan di Aceh.
”Saya juga sepakat, warung kopi yang di Aceh itu berasal dari Turki. Ketika saya tinggal di Turki, saya sering melihat warung kopi yang berada tidak jauh dari masjid. Seusai shalat mereka mendatangi warung kopi untuk mengobrol, persis seperti di Aceh,” papar Hasbi.
Ara juga mengatakan, di Aceh mudah ditemukan orang-orang yang seusai shalat di masjid mendatangi warung kopi. Mereka duduk berjam-jam sambil mengobrol.
Sejumlah temuan Kompas juga memperlihatkan ada kesamaan antara tempat minum kopi di Turki dan warung kopi di Aceh. Di Aceh masih ditemukan warung kopi dengan meja pendek. Tinggi meja hampir sama dengan dudukan kursi. Sebuah foto warung kopi di Istanbul pada abad ke-19 juga memperlihatkan hal yang sama.
Pembuatan minuman kopi dilakukan dengan cara kopi langsung dimasak dengan air, setelah itu disaring. Ini juga sama dengan penyajian kopi ala Turki.
Ketika warung kopi berkembang di Ottoman, pada saat yang sama sufisme juga berkembang di tempat itu. Kopi diminum oleh kaum sufi sebelum mereka mengadakan ritual. Mereka minum kopi agar kuat menahan kantuk. Pada saat yang sama, paham sufisme juga sangat kuat di Aceh. Beberapa tokoh, seperti Hamzah Fanzuri dan Syamsudin Al Sumatrani, juga merupakan tokoh sufi. Sangat mungkin kebiasaan di Ottoman itu masuk ketika paham sufisme juga masuk ke Aceh.
”Saat saya masih kecil, sekitar tahun 1970-an, saya sering keluar rumah pada malam hari. Saya mendatangi kedai kopi untuk mendengarkan pembacaan hikayat. Mereka mengobrol sambil minum kopi, kemudian mendengarkan pembacaan hikayat,” kata Hasbi, yang menduga ada keterkaitan antara warung kopi dan kebiasaan warga Aceh untuk mendengarkan pembacaan kitab-kitab, yang beberapa di antaranya berisi ajaran-ajaran sufisme.
Pengaruh orang Tionghoa
Pengaruh Ottoman secara umum mudah ditemukan di pantai timur Sumatera. Warung kopi juga banyak ditemukan di wilayah pantai timur Aceh, tapi ditemukan di pantai barat belum lama ini. Setidaknya kita bisa berkesimpulan, di tempat yang pengaruh Ottoman-nya cukup kuat terdapat warung kopi.
Akan tetapi, semua keterkaitan itu masih perlu diuji. Kita masih membutuhkan penelitian yang mendetail soal asal-usul warung kopi di Aceh. Setidaknya kita perlu memerhatikan fakta bahwa tidak sedikit pengaruh kebiasaan orang Tionghoa, yang juga hadir di Aceh sejak beberapa abad lalu, dalam hal kebiasaan minum kopi. Orang Tionghoa juga sudah hadir di tanah Aceh sejak awal Aceh berdiri.
Pengaruh kebiasaan orang Tionghoa dalam hal minum kopi setidaknya tampak dalam makanan yang disediakan di warung kopi. Makanan-makanan kecil itu pasti tidak ditemukan di Ottoman. Pengaruh itu sangat kuat karena orang China yang datang ke Asia Tenggara juga memiliki kebiasaan duduk dan mengobrol berlama-lama di warung. Sangat mungkin orang Tionghoa ikut mengembangkan warung kopi itu.
Kenyataan itu terlihat dari kepemilikan beberapa warung kopi lama yang dikelola orang Tionghoa. Pemilik Warung Kopi Ulee Kareng, H Nawawi, menceritakan, sebelum mendirikan warung kopi, ayahnya bekerja di warung kopi milik seorang warga Tionghoa di Banda Aceh.
Fakta lainnya adalah penggunaan kata ”warung”, yang merupakan kata dalam bahasa Jawa, juga perlu dikaji pengaruh kebiasaan orang Jawa terkait dengan kehadiran warung itu. Meski demikian, sangat mungkin juga ”warung kopi” diambil oleh orang Aceh dari orang Medan yang lebih banyak menamai tempat nongkrong itu sebagai warung kopi dan sering disingkat warkop dibanding menggunakan nama kedai, lapo, kios, dan lain-lain. Orang Medan mengenal kata ”warung” kemungkinan karena kehadiran orang Jawa di pantai timur Sumatera.
Sejarah kecil mengenai warung kopi boleh dibilang adalah sejarah yang tidak penting. Akan tetapi, melalui warung kopi dan sejarah warung kopi itu kita sebenarnya bisa mengintip soal besar, yaitu kebudayaan Indonesia.
(ANDREAS MARYOTO/MAHDI MUHAMMAD)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.