Kelas menengah yang sudah terpenuhi kebutuhan utamanya kemudian mencari hiburan. Industri konser mengalami ledakan beberapa tahun terakhir ini. Musisi asing—mulai yang baru terkenal hingga yang masuk kategori legenda seperti Carlos Santana, David Foster, Iron Maiden, dan John Mayall—silih berganti menggelar konser, terutama di Jakarta.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta mencatat, sepanjang Januari-November 2011, musisi dan kru asing yang meminta izin konser di Jakarta mencapai 1.546 orang. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 yang mencapai 1.392 orang dan 2009 berjumlah 786 orang. Matroji, Pelaksana Tugas Kepala Seksi Jasa Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta, memperkirakan, jumlah musisi asing yang menggelar konser di Jakarta tahun depan akan tetap tinggi.
Konser musisi Indonesia juga marak, terutama di pengujung tahun 2011. Konser Kahitna, September lalu di Jakarta, yang mampu menyedot ribuan penonton, disusul konser Anggun C Sasmi, Keenan Natution, dan Agnes Monica.
Pasar konser di Indonesia memang besar. Tommy Pratama, promotor dari Original Production, mengatakan, penonton konser di Indonesia, terutama Jakarta, terentang mulai umur balita, remaja, hingga manusia lanjut usia.
”Konser dengan jenis musik apa pun selalu ada penontonnya,” ujar Tommy yang kini membidik pasar konser di luar Jawa seperti Makassar.
Berani mahal
Tawaran untuk menggelar konser di daerah beberapa tahun kian kencang. Band rock Kotak termasuk yang rajin menerima tawaran konser di daerah-daerah pelosok. Para penyelenggara konser di daerah, kata Manager Kotak Aldi Novianto, sangat agresif mendekati Kotak.
Mereka juga berani bayar dua-tiga kali lipat dari tarif manggung Kotak, yakni Rp 60 juta, asalkan Kotak mau main di tempat mereka.
”Kalau mau dilayani, setiap hari selama satu bulan penuh kita konser di luar kota. Tetapi kami hanya sanggup memenuhi 10-15 permintaan manggung di daerah. Sejauh ini, rekor kami 22 kali manggung di daerah dalam sebulan. Kadang sehari bisa main di dua kota yang berbeda,” ujar Aldi. Pertengahan Februari 2012, Kotak akan main di Timor Leste.
Lokasi manggung, kata Aldi, sering kali berada di daerah pedalaman. Belum lama ini, misalnya, Kotak manggung di Poso yang fasilitas kotanya masih minim. Kamar hotel yang berpendingin udara di kota itu hanya ada empat buah. ”Tapi ketika Kotak konser di stadion, penonton yang datang 25.000 orang dengan tiket seharga Rp 25.000.”
Kotak juga pernah main di sebuah tempat di pedalaman Kalimantan. Tempatnya, kata Aldi, sangat sepi dengan penduduk sekitar 5.000 orang.
”Tetapi ketika malamnya main, yang nonton 25.000. Penontonnya datang dari mana saya tidak tahu. Mereka datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba,” ujar Aldi.
Industri konser di Indonesia telah muncul sejak tahun 1970-an. Tahun 1975, misalnya, grup super Deep Purple menggelar konser di Jakarta. Tahun 1988, giliran Mick Jagger, vokalis The Rolling Stones, menggebrak Stadion Utama Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno). Konser yang lebih menghebohkan terjadi tahun 1993 ketika band cadas Metallica mengguncang Jakarta. Dua tahun berikutnya, Jon Bon Jovi membuat histeris ribuan remaja Jakarta.
Selain rock, konser jazz pun mulai serius dijual. Diawali dengan festival Jak Jazz tahun 1988, lalu muncul festival-festival jazz lainnya sejak pertengahan tahun 2000 mulai Java Jazz (2005). Kemudian, beberapa daerah menggelar festival Jazz sendiri, seperti Batam, Makassar, Ambon, Bandung, Yogyakarta, dan Solo.
Pardi, salah seorang yang juga mengurus artis-artis papan menengah, mengatakan, beberapa kali ia diminta untuk mengirim artis ke beberapa daerah.
”Bukan hanya di provinsi, tetapi sampai desa-desa yang jauh di pedalaman Kalimantan,” katanya. Ia pernah mengantar beberapa artis yang mendarat di bandara pukul 13.00 dan baru sampai di lokasi pada pukul 04.00 keesokan harinya.
Cerita lainnya, ia pernah membawa artis di sebuah tempat di tepi rawa-rawa yang sepi. Ia sempat menduga tak ada penontonnya, tetapi ternyata pada malam pertunjukan penontonnya membeludak.
Ledakan permintaan artis juga terjadi karena maraknya pilkada di sejumlah daerah. Artis-artis Ibu Kota didatangkan hingga kabupaten untuk mendongkrak perolehan suara.
”Pemilihan lurah pun ada calon yang meminta artis-artis Ibu Kota datang ke lokasi,” katanya.
Mengomentari fenomena ini, ekonom asal UGM, A Tony Prasetiantono, mengatakan, boleh dibilang, produk apa saja bisa dijual di Indonesia. Daya beli ada, minat beli ada.
”Konser musik semahal apa pun laris manis. Ingat konser David Foster yang lalu? Ini bisa dipakai untuk membujuk investor. Tapi, lagi-lagi, kalau kita tidak siapkan peranti pendukungnya, seperti infrastruktur jalan, pelabuhan, dan listrik, semua itu akan lewat begitu saja,” katanya.
Ia menambahkan, tanpa kesiapan dan kesigapan, kelas menengah hanya bisa mengimpor kebutuhan-kebutuhan kaum menengah tersebut. Hal ini bahaya bagi neraca pembayaran kita. (BSW/mar/PPG)
Source : Kompas.com