Mampukah pemilu tahun depan melahirkan sosok kepemimpinan yang kuat, yang dapat membawa bangsa ini pada kedaulatan penuh dan kemasyhuran? Jika mampu, dapatkah Indonesia lepas dari krisis dan menjadi negara kuat dalam beberapa tahun ke depan? Dua pertanyaan ini bukan saja bernada skeptis, tetapi juga satire. Ketakberdayaan, seolah cerminan dari buruknya krisis ekonomi dunia, dan miskinnya sosok alternatif pemimpin Indonesia.
Saat ini, Indonesia bukan saja dihadapkan pada kenyataan desain konsep ekonomi baru internasional yang mungkin tumbuh dan berubah seiring dengan krisis dunia, tetapi juga problem internal yang pelik. Krisis finansial, energi dan pangan, bertaut dengan proses demokrasi yang rentan.
Dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan sudah lebih dari 228 juta jiwa pada tahun 2008, kebutuhan energi dan pangan, dalam kenyataannya tak mudah ditopang oleh kontribusi sektor pertambangan dan pertanian dalam negeri yang justru makin kecil dalam beberapa dekade belakangan.
Dalam desakan pasar bebas yang dicanangkan, kenyataannya potensi penduduk Indonesia lebih sebagai pasar konsumsi daripada produksi. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, bahkan tertinggal cukup jauh dari negara-negara kawasan di sekitarnya. Pertumbuhan PDB Indonesia berada di kisaran 4,7 persen (periode 2000-2005, data World Bank), berada di bawah rata-rata pertumbuhan negara-negara Asia Selatan yang 6,5 persen, dan tertinggal sangat jauh dari pertumbuhan rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik yang 8,4 persen. Sehingga, pertumbuhan penduduk Indonesia lebih tampak sebagai beban daripada modal kekuatan negara. Dan, krisis dunia menjadikan beban itu kian berat.
Dari semua perdebatan tentang kisis ekonomi saat ini, yang terpenting adalah wacana yang menggiring agar negara makin aktif berperan dalam mengatur kebijakan ekonomi, dan kalau perlu, kembali menjadi aparatus ekonomi. Sejak terpaan gelombang macetnya kredit perumahan dan runtuhnya harga saham di bursa Wall Street Amerika Serikat, imbasnya menenggelamkan harapan akan kemampuan pasar bebas untuk mengatur dengan tangannya sendiri. “Invisible hand” seolah dikesampingkan dari peredaran wacana. Sebaliknya, peran negara dituntut melebihi batas kemampuan riil yang dalam beberapa dekade belakangan justru ditanggalkannya dengan menyerahkan kepada swasta. Sistem yang ada, tak lagi dipercaya. Sebaliknya, dituntut kekuatan negara yang mampu menerabas kebuntuan dan stagnasi ekonomi. Kepada negara yang kuat, kepada aparatus governance yang cerdiklah harapan kini dibebankan .
Jika pasar bebas membutuhkan prasyarat demokrasi, maka pemusatan kekuatan negara membutuhkan prasyarat mutlak kepemimpinan ideal. Pemimpin ideal yang tahu arah arus pergerakan dunia, sadar akan aliran kekuatan yang sedang membentuk keseimbangan dunia baru. Pemimpin yang meletakkan dasar ideologi negaranya dalam fungsi yang tepat, mengagregasikan kedaulatan politik negaranya dalam tata ideal sebuah bangsa yang diperhitungkan, menjadi rujukan terpusatnya kekuatan-kekuatan sepaham. Amerika Latin, mungkin menjadi negara kawasan yang sudah lebih dulu sadar akan pentingnya kedaulatan politik dan ekonomi, meski dalam beberapa hal pemusatan kekuatan negaranya membawa implikasi pada melemahnya demokrasi.
Krisis ekonomi dunia saat ini bisa berarti musibah, tetapi sebaliknya, bisa menjadi berkah bagi sebuah negara seperti Indonesia. Menjadi musibah, ketika negara tergulung dalam arus krisis global, sekadar menjadi fondasi bagi terbentuknya kekuatan baru negara lain. Menjadi negara tersisihkan, di mana demokrasi sekadar menjadi anekdot. Rakyat makan dari pesta pemilu, tetapi makin jauh dari gegap gempita pertumbuhan ekonomi negara kawasan lain.
Sebaliknya, krisis bisa menjadi berkah manakala, aliran kekuatan yang sedang berjalan asimetris mampu ditangkap untuk menggerakkan turbin nasionalisme , ideologi negara bangsa yang menarik kumparan krisis ekonomi-politik dunia ke dalam susun bangun kekuatan baru sebuah negara. Apa yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Rosevelt menghadapi krisis dunia 1930-an, menjadi contoh yang baik dalam hal ini.
Depresi besar (Great Depression) yang mulai dari jatuhnya Wall Street Amerika Serikat, pada Oktober 1929 dan mencapai puncaknya pada 1932, meruntuhkan kepercayaan filosofi ortodoks tentang laissez faire (paham yang menolak campur tangan negara secara luas dalam bidang ekonomi dengan dalil bahwa ekonomi memiliki hukumnya sendiri). Setelah depresi ekonomi itu muncul berbagai pemikiran untuk perbaikan, di antaranya yang terkenal adalah New Deal yang dilakukan oleh Presiden Franklin D. Rosevelt pada tahun 1933. Di bawah kepemimpinannya, Amerika bukan saja bangkit dari krisis, tetapi menempatkan posisi negaranya sebagai kekuatan yang kelak makin dominan baik dalam percaturan politik maupun ekonomi dunia.
Kebijakan tenaga kerja penuh yang dibarengi dengan desain penguatan kelas petani, perencanaan komunitas dan peningkatan pendidikan, menjadikan kebangkitan Amerika memiliki fondasi yang kuat.
Pemilu dan Visi Kepemimpinan
Dalam realitas ekonomi dan beban populasi yang demikian besar, Indonesia dihadapkan pada mahalnya ongkos demokrasi yang harus ditanggung sebagai konsekuensi pilihan politik. Tak hanya itu, Indonesia juga dihadapkan pada sebuah tatanan dunia baru yang tampaknya sedang berubah, ditandai oleh munculnya kekuatan-kekuatan baru dan krisis dunia. Dalam situasi yang rentan, Indonesia menuju Pemilu 2009.
Kemampuan Komisi Pemilihan Umum melangsungkan pemlu masih harus diuji oleh variabel demokrasi lainnya. Karena, meskipun Indonesia tercatat sebagai negara yang paling berani melaksanakan pemilu langsung baik di level nasional maupun lokal, namun sejumlah kelemahan membuat demokrasi Indonesia tetap digolongkan ke dalam negara-negara demokrasi cacat (flawed democracies). Hasil kajian The Economist Intelligence Unit menunjukkan, meskipun pemilu demokratis sudah dilaksanakan sejak tahun 1999, namun pada tahun 2008 Indonesia masih berada dalam urutan 69 dari 167 negara yang disurvei.
Keraguan akan transparansi partai dalam penentuan kandidat anggota legislatif, politik uang, dan ketertutupan sumber keuangan partai menjadi sisi yang menyebabkan proses politik dinilai rendah. Rendahnya keterlibatan dan kemampuan lembaga legislatif dalam mengontrol kebijakan pemerintah, lemahnya kemampuan negara dalam menjaga kedaulatannya dari kekuatan negara asing dan dari kepentingan-kepentingan ekonomi, kelompok agama dan kekuatan-kekuatan domestik lainnya, jangkauan kewenangan pemerintah yang lemah di wilayah teritori, problem korupsi yang masif, dan lemahnya kepercayaan kepada pemerintah, menjadikan indeks fungsi pemerintah juga rendah.
Di luar itu, masih banyak problem demoktrasi yang menghambat Indonesia masuk ke dalam tataran demokrasi penuh. Di antaranya partisipasi politik yang rendah seperti tercermin dalam pilkada di sebagian besar wilayah Indonesia, rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen, dan belum berubahnya kultur politik antidemokrasi, menjadikan pesta demokrasi lebih bermakna seremonial dengan biaya besar.
Menempatkan konteks Pemilu 2009 dalam tatanan dunia yang berubah, adalah sisi krusial yang akan menentukan masa depan Indonesia dalam percaturan internasional. Problem utamanya adalah bagaimana mencari pemimpin yang bisa menempatkan posisi Indonesia secara strategis, di antara kekuatan-kekuatan ideologis dan ekonomi baru dunia. Menguatnya posisi negara-negara Afrika dalam percaturan ekonomi, konsolidasi sosialisme baru di Amerika Latin, kembalinya rezim pemusatan kekuatan negara Rusia, menguatnya ideologi kedaulatan negara bangsa seperti di Iran, dominasi Uni Eropa atas mata uang dunia dan tumbuhnya raksasa ekonomi baru di kawasan Asia yang diwakili oleh China dan India, menjadikan visi kepemimpinan Indonesia 2009 demikian penting. (BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)
Source : kompas.com