PEMIRA (pemilihan raya) kepemimpinan mahasiswa atau Presiden Mahasiswa Universitas Syiah Kuala, untuk periode 2009-2010 sudah dimulai sejak Senin (11/5) ini Sekarang tinggal menunggu hasil, siapa kandidar yang akan memenangkannya. Berbagai trik politik praktis, ternyata juga berlaku di dunia kampus, misal adanya pengrusakan atau penghilangan beberapa atribut kampanye dari beberapa calon, black campaign sampai adu fisik. Ironis!
Saya nilai ironis, karena politik praktis yang masuk kampus telah menistakan sisi intelektual kaum mahasiswa yang seharusnya lebih mengedapatkan nilai-nilai akademis dan etisnya dalam bertindak. Namun yang disaksikan bagaimana masing-masing kelompok saling menjatuhkan, dan lebih ironis lagi karena prilaku itu ditengarai menjadi boneka dari satu gerbong partai politik. Dan isu ini telah berkembang selama beberapa periode kepemimpinan mahasiswa di Unsyiah.
Memang harus diakui bahwa kampus Darussalam, khususnya Unsyiah dan IAIN merupakan lahan empuk dan menjadi rebutan bagi partai politik untuk mencoba mendulang suara dari kalangan intelektual muda itu. Karena kampus, dinilai sangat potensial untuk menjadi basis massa partai-partai politik. Namun kemudian praktik-praktik politik praktis justru menyisahkan efek yang menggiring mahasiswa menjadi kehilangan intelektual dan pola berpikir mereka cenderung praktis bahkan anarkis.
Saya teringat ketika acara debat kandidat Calon Presiden Mahasiswa, tahun 2008, ketika Yanwar Fakhri (Capresma 2008) menjawab pertanyaan dari mahasiswa tentang bagaimana tanggapannya terhadap partai politik yang masuk ke kampus. Yanwar menjawab “ Fungsi mahasiswa ada dua. Yang pertama sebagai akademisi/intelektual yang menuntut ilmu di kampus, dan yang kedua sebagai masyarakat. Karena Fungsinya sebagai masyarakat, mahasiswa memiliki hak untuk berpolitik sebagaimana diatur dalam UUD 1945, bahwa setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan berorganisasi. Dan kita tidak boleh melarang seseorang untuk berpolitik, karena itu adalah Hak nya sebagai warga negara. Mungkin yang perlu kawan-kawan cermati, bahwa ketika dia di kampus, dia tidak boleh menyebarkan ideologi politiknya pada orang lain, karena Undang-undang Pemilu juga melarang orang untuk berkampanye di lingkungan kampus”.
Terlepas dari semua perdebatan itu, agaknya mahasiswa penting memahami dulu mengenai pendefinisian politik. Tampaknya perlu juga membaca buku The Art of War karangan Sun Tzu, Zarathustra karangan Nietzche. Buku itu sendiri telah menginnspirasi seorang Hasan Tiro untuk memproklamirkan GAM di Gunung Halimun. Juga membaca Das Capital dan Reason ini Revolt yang menjadi landasan berpikir kaum Marxian, Bayang Tak Berwajah karangan Subcomandante Marcos, In The Origin of Species karya Charles Darwin, Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie, Di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno, Aksi Massa dan Madilog karya Tan Malaka, dan tentu saja buku tentang varian gerakan atau strategi politik yang pernah ada di dunia ini. Dan tak lupa juga, Alquran.\
Saya termasuk orang yang percaya bahwa Hidup, bagaimanapun itu, adalah proses kita berpolitik. Proses bagaimana kita dapat mencapai tujuan kita, proses dimana kita menunjukkan eksistensi diri kita, dan proses kita untuk dapat bertahan. Bahkan, Alquran, juga menegaskan bahwa tujuan manusia diturunkan ke bumi adalah untuk menjadi khalifah. Leader atau pemimpin adalah jabatan politik tertinggi yang sering kita rebutkan dan kita rebutkan. Karenanya, kita menjadi geli ketika ada yang apatis dan benci dengan apa yang namanya politik. Sebagaiamana diurai dalam satu buku “Perbedaan antara Pemimpin dan Aktivis dalam Gerakan Protes Mahasiswa”, disebutkan, “Tidak semua sarjana atau orang yang pernah duduk di perguruan tinggi dapat disebut sebagai intelektual. Karena syarat menjadi seorang intelektual yaitu sebagaimana yang dikemukakan olen Knopfelmacher, di antaranya mereka berminat pada masalah-masalah yang menyangkut nasib (destiny) manusia, yaitu masalah-masalah moral dan moral politik.
Para intelektual adalah mampu menyatakan prinsi-prinsip moral dan prinsip-prinsip politik mereka secara lisan maupun tulisan. Ini dicirikan pada sifat yang kritis. Karena ia hidup dalam dunia idea, maka kaum intelektual selalu melihat kekurangan dalam kenyataan dan selalu mau mengkritik dunia nyata, selalu menghendaki perubahan-perubahan dalam dunia nyata ke arah yang menghendaki harapan-harapan idealnya.
Fremerey mengemukakan bahwa sebagai salah satu kelompok masyarakat mahasiswa mempunyai peranan yang penting sebagai kekuatan politik (political pressure group) karena pekerjaannya yang luas, kebebasan atas keuangan dan keluarga, penyelesaiannya melalui sebuah jaringan komunikasi informal yang relatif dekat, sebaik control yang terbatas dari aktivitas yang dilakukan jajaran eksekutif (Framerey, M. 1976). Oleh Lipset menyebut sebagai kelompok yang punya kekuatan politik karena mahasiswa merupakan “lapisan sosial lebih responsif pada trend politik, untuk merubah suasana hatinya, kesempatan untuk melakukan aksi, daripada kelompok lain di dalam populasi” (Lipset & Altbach: 1969).
Dalam kontek itulah, maka peranan mahasiswa tidak dipandang hanya terbatas pada kritik atau kontrol sosial, lebih jauh merupakan kekuatan politik yang mampu merangsang terjadinya perubahan-perubahan sosial-politik di negara itu. Saya berharap kita tak perlu seragaman, tapi bagaimana perbedaan menjadi suatu dinamika yang harmoni, terjaga dengan indah sebagaimana Pelangi. Semoga kita tidak termasuk dalam jamaah yang hanya berdoa ketika musibah datang tanpa adanya keinginan untuk merubah keadaan! Seperti sajak Peringatan, karya Wiji Thukul:\ //Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversi dan menggangu keamanan/Maka hanya satu kata : lawan!//
Rizki Alfi Syahril
* Penulis adalah mahasiswa Unsyiah, siswa menulis Episentrum Banda Aceh.
Source : Serambi Online