Bulan Mei ini kita mengenang jatuhnya rezim Soeharto yang terjadi pada 13 tahun lalu.
Adakah spirit yang dapat kita tangkap dari momen tersebut bagi revitalisasi politik di Indonesia saat ini? Atau, apakah kita memperingatinya karena memang momen itu sudah usai dan mati sehingga kita harus menyadari untuk menerima kenyataan politik terkini dan melupakan harapan emansipasi politik ataupun impian politik progresif untuk menguap ke udara seiring dengan jatuhnya Soeharto dan bergulirnya demokrasi elektoral di Indonesia?
Bagi sebagian orang, peristiwa penjatuhan Soeharto pada Mei 1998 dimaknai secara pesimistis. Kita memperingati momen tersebut karena peristiwa itu sudah berlalu, lenyap ditelan sejarah. Dari puing-puing keruntuhan rezim Orde Baru, kita harus menerima kenyataan lahirnya fondasi demokrasi elektoral yang bernuansa elitisme.
Demokrasi yang hanya bermakna sebagai proses memilih pemimpin melalui pemilu yang fair dan kerap kita sebagai warga menjadi penonton dari proses-proses elitisme politik selama ini. Proses yang membuat beberapa aktivis 1998 saat ini duduk nyaman menjadi elite politik dan menjadikan lebih banyak penumpang gelap reformasi sebagai elite politik.
Makna yang lebih pragmatis sekaligus ironis dari peristiwa Mei 1998 akan kita temukan dalam berbagai pembicaraan publik. Bagi mereka yang punya pandangan pragmatis, segenap gagasan yang ingin mendampingkan sistem demokratik dengan tatanan ekonomi yang berkeadilan dan partisipasi politik yang fundamental dari kelompok masyarakat terpinggir adalah sesuatu yang absurd dan tak berpijak sama sekali dari aspirasi politik 1998.
Bukankah tuntutan ekonomi-politik yang terlahir dari proses Mei 1998 adalah desakan membuka keran pasar bebas dan demokrasi berbasis kebebasan individu. Bukankah kita mendesak Soeharto turun agar kita kian terintegrasi dengan sistem pasar bebas sehingga seruan yang saat itu berkumandang adalah ”reformasi”. Sebuah seruan yang terlahir dari desakan paket reformasi IMF terhadap Soeharto.
Sistem pasar yang membiarkan eksploitasi sumber daya alam kita oleh modal asing, mekanisme pasar yang mengabaikan kalangan pekerja kita terkomodifikasikan dalam sistem kerja kontrak, serta perdagangan bebas yang menghantam nasib dan hajat hidup kaum petani dan pedagang kecil di hadapan serbuan barang-barang impor.
Saya ingin membenturkan makna pesimistis dan pragmatis-ironis ini dengan pemaknaan lain yang lebih optimistis-progresif tentang peristiwa Mei 1998. Bahwa spirit yang dapat kita tangkap tentang perubahan politik yang mendasar di Indonesia ini memperlihatkan bahwa sebuah dunia lain, suasana politik baru, dan perubahan politik yang lebih mengartikulasikan kedaulatan rakyat adalah mungkin kita ciptakan. Membaca momen Mei 1998 tidaklah bisa kita lepaskan dari apa yang terjadi pada suasana tahun 1990-an.
Anders Uhlin (1997) dalam karyanya, Indonesia and the ”Third Wave of Democratization”: The Indonesian Pro-Democracy Movement in a Changing World, menjelaskan bahwa sejak era 1990-an, seiring dengan desakan keterbukaan politik global, tumbuh dengan subur gagasan-gagasan tentang demokrasi yang beragam. Bukan saja demokrasi liberal yang menekankan pada kebebasan individu, melainkan juga demokrasi bernuansa radikal—yang diusung mahasiswa dan aktivis prodem—yang mengemban kepentingan kekuatan-kekuatan sosial terpinggir, yaitu kelas pekerja, petani, perempuan, masyarakat adat, dan kaum miskin lain dalam arus politik utama di Indonesia.
Ketika kita saksikan bagaimana dentuman momen Mei 1998 itu meledak, kita akan melihat lapisan-lapisan mosaik suatu gerakan politik yang kompleks dan plural. Ada berbagai fragmen tersebar dalam realitas politik Mei 1998 yang tak bisa direduksi dalam sapuan kanvas besar dan homogen tentangnya.
Di tengah lapisan permukaan kalangan aktivis mahasiswa yang pada waktu itu cukup dengan tuntutan untuk menjatuhkan Soeharto dan cenderung membatasi pengorganisasian kekuatan politik kerakyatan yang lebih luas, juga terdapat artikulasi-artikulasi politik lain dari kalangan aktivis prodemokrasi dan mahasiswa lain.
Impian optimistis
Beberapa kalangan aktivis politik dan gerakan mahasiswa yang sejak tahun 1990-an mengusung gagasan-gagasan politik yang lebih maju dan progresif di seputar Mei 1998 menyerukan artikulasi ekonomi-politik yang lebih mendasar. Bentuk-bentuk pilihan politik alternatif yang saat itu diusung, seperti alternatif ”komite rakyat” atau ”alternatif presidium transisional”, adalah respons-respons awal dari mereka untuk mengawal proses demokrasi agar tetap terkoneksi dan mengartikulasikan kekuatan politik rakyat.
Keragaman wacana yang muncul pada waktu sebelum dan sesaat sesudah momen Mei 1998 menunjukkan bahwa selain plural, peristiwa bersejarah tersebut juga menorehkan proses kontestasi penting di awal proses keterbukaan politik di Indonesia.
Pada lapisan politik yang memiliki artikulasi politik progresif ini kita dapatkan impian tentang Indonesia pasca-Soeharto yang berbeda. Di dalamnya kita dapat melihat imajinasi mengakar bahwa Indonesia pasca-Soeharto adalah Indonesia yang nasib dari lapisan besar kaum Marhaen (meminjam istilah Soekarno untuk merujuk lapisan-lapisan sosial yang termiskinkan oleh sistem kapitalisme kolonial) tidak lagi dimelaratkan dan disengsarakan.
Aspirasi mereka menggemakan keresahan Soekarno (1930) dalam pleidoinya di depan pengadilan kolonial Belanda Indonesia Menggugat, yaitu ”dengan kedatangan imperialisme modern caranya mengeduk berubah… tetapi banjir harta yang keluar dari Indonesia malahan semakin besar, pengeringan Indonesia malahan semakin makan”.
Artikulasi politik progresif yang telah muncul sayup-sayup pada Mei 1998 ini memberikan gambaran agar rakyat Indonesia tidak lagi terpuruk pada era baru pasca-Soeharto, yaitu era neoliberalisme ekonomi dan demokrasi yang berkarakter elitis.
Nuansa pemaknaan akan Mei 1998 yang lebih optimistis dan progresif inilah yang bisa kita genggam untuk revitalisasi pergerakan kita sekarang. Saat menulis artikel ini saya menyaksikan tumbuhnya semangat baru perjuangan politik yang memerdekakan. Di kampus saya dan di tempat lain, saya menyaksikan sekelompok aktivis mahasiswa menyerukan penolakan terhadap komersialisasi pendidikan.
Gerakan kelas pekerja berhimpun untuk menolak komodifikasi mereka dalam pasar tenaga kerja, aktivis mempersoalkan keterpurukan nasib petani yang dilindas oleh perdagangan bebas. Kalangan intelektual semakin banyak menyadari pentingnya tatanan ekonomi-politik yang lebih berkeadilan. Momentum 1998 yang terinterupsi kembali hadir menyemangati perjuangan kita.
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Koordinator Serikat Dosen Progresif
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.
tragedi 20 mei yang kita peringati sekarang ini dan juga ditetapkan sebagai hari Reformasi Indonesia kalau kita tinjau dari konteks kekinian, sesungguhnya hanya melahirkan pejuan dan pahlawan saja, se sedangkan klimaks reformasi berarti tumbangnya tirani Suharto. sedangkan agenda/konsep bernegara/kebangsaan pesca terjungkalnya dedengkot ORBA sampai sekarang belumjelas, sehingga membuat kehidupan berbangsa dan bernegara kita menjadi semakin tidak jelas sebagai bangsa yang besar dan multi kultural ini. ternyata reformasi telah melemahkan segala sendi kehidupan kecuali demokrasi (tapi sudah kebablasan). kredibilitas pemerintah baik domestik atau secara internsional sudah sangat menurun, setiap hari ada hujatan dan caci maki terhadap pemerintah, baik nasional maupun pemerintah daerah. dikawasan regional saja, kita lihat bagaimana negeri jiran Malaisia mempermalukan Indonesia baik mengenai isu perbatasan dan pelanggaran perbatasan, bahkan lebih menusuk lagi yaitu pada wilayah tradisi dan budaya.ini tedlah membuktikan bahwa Pemerintah dan Negara Indonesia ini pasca Orba telah hilang kewibaanya. reformasi hanya melahirkan perubahan prilaku pada anak bangsa ini yakni dari prilaku santun kepada kebringasan tingkah laku. hampir tiap hari kita menyaksikan tawuran baik pelajar maupun tawuran antar kampung, hujat menghujat dan caci maki itulah yang kita liah di era reformasi ini. DEKADENSI MORAL dan KEMISKINAN KULTURAL itulah dua kalimat yang tepat untuk mewakili gambaran reformasi secara komprehensip. mengapa hal ini terjadi?. pertanyaaan ini marilah kita kembalikan pada masa reformasi itu dicetuskan, apakah selain menumbangkan ORBA adakah konsep berbangsa dan bernegara yang dirancang untuk hidup pada era reformasi ini, inilah yang belumjelas sampai sekarang. artinya Reformasi tidak ada buku rujukan yang bisa dipakai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, hal ini diperparahlagi bahwa semenjak lahir era reformasi negara ini tidak pernah dipimpinoleh seorang yang mempunyai hati reformis sejati. bahkan Amin Rais yang digelar sebagai Bapak reformasi tidak dikasih kesempatan untuk memimpin negara ini oleh antek-antek Orba dan Kapitalis.