Tidak terbantahkan, hampir sewindu terakhir, wajah penegakan hukum Indonesia sedikit tertolong dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi.
Ditambah dengan sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi, dunia hukum kita sedikit terselamatkan untuk tidak terjun bebas menuju titik nol. Bahkan, dalam berbagai forum internasional, MK adalah success story perjalanan reformasi negeri ini. Meski demikian, menjelang berusia sewindu ini, MK memasuki fase krusial. Tahapan itu ditandai dengan sejumlah isu miring yang melanda salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini.
Dalam rentang tiga bulan terakhir, misalnya, MK diterpa dua isu yang cukup serius, yaitu percobaan penyuapan oleh Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal MK Janedjri M Gaffar dan pemalsuan surat dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilu Legislatif 2009. Pertanyaan mendasar sejumlah kalangan yang prihatin terhadap agenda penegakan hukum: apakah isu miring ini akan memudarkan pamor MK? Pertanyaan ini begitu penting karena MK bukan hanya penjaga konstitusi, melainkan juga mampu hadir sebagai penjaga asa dalam penegakan hukum.
Perdebatan miring
Upaya menjadikan MK sebagai sebuah peradilan yang modern telah didesain oleh UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 12-14 UU ini secara eksplisit mengatur tanggung jawab dan akuntabilitas MK. Selain keharusan menyelenggarakan organisasi berdasarkan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih, MK wajib mengumumkan laporan kepada masyarakat mengenai permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus.
Keharusan menyelenggarakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan bersih tak terlepas dari posisi MK sebagai lembaga yang kewenangannya bersentuhan langsung dengan masalah praktik ketatanegaraan. Apalagi, Pasal 24C Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Apabila kewenangan begitu kuat tak diikuti dengan pelaksanaan peradilan yang terbuka, kepercayaan publik akan sulit dibangun.
Sekalipun dikelola dengan proses lebih terbuka, perdebatan miring acap kali menerpa MK. Di antara perdebatan yang sering menyudutkan adalah MK terlalu ”liar” melakukan terobosan hukum. Sejumlah kalangan di DPR menuduh MK bertindak layaknya pembentuk UU karena MK keluar dari posisi alamiahnya sebagai negative legislator. Bisa jadi, cara pandang itu pula yang mendorong pembentuk UU melarang MK melakukan ultra-petita dalam revisi UU No 23/2003.
Bagi mereka yang paham mengenai ide dasar pembentukan MK, pro-kontra atas terobosan itu merupakan perdebatan klasik dalam khazanah perkembangan sejarah judicial review dan sejauh ini perdebatan itu tetap hidup. Namun, yang paling ditakutkan bukan perbedaan pandangan atas pro-kontra ini, melainkan isu judicial corruption seperti isu makelar kasus. Terkait isu ini, dalam buku On The Record: Mahfud MD di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi (2010), Ketua MK Mahfud MD secara terbuka membantahnya.
Lebih terbuka
Meski telah dibantah, sepertinya, isu miring itu sulit dihentikan. Penambahan kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu kepala daerah dapat dikatakan memberikan kontribusi signifikan berkembangnya isu ini. Namun, berbeda dengan banyak institusi lain di negeri ini, MK dapat dikatakan satu-satunya lembaga yang begitu terbuka menjawab segala macam tudingan miring. Dapat dipastikan, langkah demikian dilakukan guna menjaga posisi MK dalam praktik ketatanegaraan.
Misalnya, ketika Refly Harun mengemukakan indikasi suap dalam penyelesaian sengketa pilkada, MK membentuk Tim Independen. Sebagaimana diketahui, meski indikasi suap tak dapat dibuktikan, hasil kerja Tim Independen berhasil mengungkap dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan seorang hakim konstitusi. Ujung dari pelanggaran kode etik tersebut, Arsyad Sanusi mengundurkan diri sebagai hakim.
Bahkan, dalam kasus surat palsu yang memicu heboh ”kursi haram” pada proses pengisian anggota DPR periode 2009-2014, MK telah sejak awal melaporkan kasus ini kepada polisi. Upaya MK melaporkan kejadian itu dapat dibaca sebagai langkah menjaga sekaligus menyelamatkan lembaga ini dari segala kemungkinan yang berpotensi merusak kiprahnya dalam penegakan hukum. Selain itu, laporan ini harus dibaca pula sebagai langkah konkret penolakan MK atas segala bentuk makelar kasus yang kian merusak wajah penegakan hukum di negeri ini.
Dalam konteks ini, menarik menyimak pendapat mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie bahwa masalah surat palsu adalah masalah kecil yang akan selesai apabila proses hukum bekerja normal mengungkap pihak-pihak yang berada di balik kasus ini. Apabila masalah ini membesar, tak bisa dilepaskan dari keterlambatan polisi dalam menindaklanjuti laporan MK. Selain itu, peran yang mungkin dilakukan bekas anggota KPU (yang melompat ke Partai Demokrat), Andi Nurpati, membuat kasus ini kian ”seksi”. Lalu, semuanya jadi riuh rendah saat Komisi II DPR telah membentuk Panitia Kerja Mafia Pemilu untuk menelisik misteri di balik surat palsu ini.
Namun, di atas semua itu, sebagai lembaga dengan kewenangan yang amat strategis, segala macam godaan dan kepentingan selalu mengintai MK. Karena itu, semua pihak harus menjaga MK agar tetap mampu bertahan sebagai salah satu penjaga asa penegakan hukum. Untuk itu, apabila ada ”kutu” yang hendak merusak MK, semua pihak harus membantu menyingkirkan. Terpenting, sembari berbenah, MK harus tetap mampu menunjukkan sebagai lembaga peradilan yang bersih. Kemampuan menjaga diri adalah ujian pertahanan MK sesungguhnya.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara, Ketua Program S-3 Ilmu Hukum, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.