Tajuk Rencana Kompas edisi 7 Mei 2011 tampil sangat tajam: ”Pancasila di Ujung Tanduk”. Barangkali pernyataan ini tidak berlebihan, terutama bila kita pulang kepada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Pertama, realitas negara, dengan seluruh proses dan hasil penyelenggaraan kekuasaannya, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan ataupun keputusan-keputusan politik yang lebih luas. Publik kian merasakan berkurangnya muatan Pancasila dalam kebijakan, diperlihatkan: 1) adanya kecenderungan menurunnya pembelaan kebijakan publik kepada masyarakat lapisan bawah, yang berarti kebijakan publik makin kehilangan watak sosialnya; dan 2) kecenderungan menurunnya pembelaan kebijakan negara pada kepentingan nasional, yang berarti bahwa kebijakan negara kian kehilangan watak nasionalnya.
Kedua, realitas masyarakat, dengan seluruh kompleksitas yang ada di dalamnya, khususnya berkaitan bagaimana kebinekaan mewujud dalam interaksi sosial. Kita harus jujur mengakui bahwa di antara kabar baik mengenai semangat pluralisme yang terus bertumbuh terdapat pula benih-benih yang berpotensi membelah masyarakat dan merusak sendi-sendi kebersamaan.
Disadari atau tidak, kini telah berkembang semacam situasi di mana kecurigaan bisa menyebar ke segala arah. Kondisi ini tentu dapat mengganggu bangunan sikap saling percaya di kalangan masyarakat. Apa yang tidak kita inginkan adalah ketika masyarakat berusaha mencari penyelesaian sendiri dan berusaha mencari pegangan-pegangan baru yang tidak sejalan dengan ideologi bangsa, yakni Pancasila.
Politik tanpa Pancasila
Kita menyadari bahwa selama lebih dari tiga dasawarsa Pancasila tidak menjadi jiwa dari kebijakan atau keputusan-keputusan politik, sebaliknya jadi alat mempertahankan kekuasaan. Banyak yang tidak sadar, lambang Garuda Pancasila sesungguhnya dapat ditafsirkan sebagai petunjuk bagaimana seharusnya Pancasila ditempatkan dalam mengelola kekuasaan negara.
Jika burung garuda melambangkan negara atau kekuasaan negara, Pancasila ada di dadanya. Apa artinya? Di dada kekuasaan atau di dada pemimpin (penyelenggara kekuasaan negara)-lah seharusnya ”bersemayam” Pancasila. Hal ini bermakna bahwa seluruh keputusan politik yang diambil atau yang dihasilkan adalah keputusan yang mencerminkan atau merealisasikan Pancasila.
Bagi rakyat, kualitas dan watak dari keputusan politik tersebut sangat mudah dilihat, yakni setiap keputusan politik yang berdasarkan Pancasila pastilah akan jadi rahim bagi keadilan. Rakyat dan kualitas hidup rakyat adalah hakim terbaik untuk melihat garis ideologis antara kebijakan negara dan Pancasila.
Pada sisi lain amat jelas bahwa kaki Garuda Pancasila berpijak dan mencengkeram erat Bhinne- ka Tunggal Ika. Dengan demikian, kekuasaan negara harus berpijak pada kebinekaan. Hal ini bermakna bahwa kebinekaan merupakan realitas obyektif yang harus jadi dasar bagi setiap langkah negara.
Setiap upaya pengabaian atau mengurangi kadar kebinekaan tidak saja bertentangan dengan kenyataan obyektif yang ada, juga bertentangan dengan semangat kita bernegara. Oleh karena itu, ketika penyelenggara kekuasaan negara bermain-main dengan kebinekaan dan hanya berorientasi pada kekuasaan semata, dapat dikatakan pergerakan politik yang ada adalah pergerakan minus Pancasila.
Politik realitas
Kehendak kembali ke Pancasila seharusnya tidak diartikan sebagai langkah abstrak yang mengawang-awang. Kembali ke Pancasila bermakna sebagai kembali ke politik realitas, yakni kembali kepada rakyat.
Bagi rakyat, politik yang sehat bukan politik yang bersilang sengketa di tribune kekuasaan, tetapi tidak menghasilkan dampak nyata pada perbaikan kualitas hidup rakyat. Hidup rakyat yang membaik tidak dikonfirmasi melalui akrobat angka statistik, tetapi pada kenyataan riil: hidup dan kehidupan rakyat. Politik dengan demikian bukan siasat membangun citra, tetapi kehadiran nyata di tengah rakyat.
Politik yang hadir bermakna sebagai politik yang mampu memahami dengan rasa batin dan rasa kemanusiaan apa yang menjadi persoalan konkret rakyat. Masalah rakyat mulai dari anak balita kurang gizi, anak usia sekolah putus sekolah, hingga petani yang terjerat ijon adalah masalah riil yang dihadapi rakyat dan menjadi kewajiban negara untuk mengatasinya.
Politik yang hadir akan mampu memberikan kesaksian tentang banyaknya kewajiban negara yang belum dijalankan, atau kesaksian tentang tidak hadirnya negara ketika rakyat membutuhkan. Politik yang hadir tidak saja tahu, paham, dan menyelami masalah-masalah rakyat, tetapi juga berjuang untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Politik yang hadir di tengah rakyat adalah politik realitas. Ia bersentuhan langsung dan mengabdikan diri kepada rakyat, alat perjuangan melahirkan keadilan, kemakmuran, dan hidup yang lebih bermakna. Politik realitas adalah politik yang berjalan di atas lintasan ideologi Pancasila. Barangkali inilah yang dibutuhkan rakyat agar mereka tetap setia kepada Pancasila, NKRI, dan optimistis bahwa pada waktunya cita-cita proklamasi kemerdekaan akan tiba.
HM Idham Samawi Ketua DPP PDI Perjuangan
Source : Kompas.com