Home > News > Opinion > Perempuan dan Peluang

SATU riwayat, Tjut Nja’ Dhien mengajukan syarat ketika ia ingin dilamar Teuku Umar menjadi istrinya. Tjut Nja’ meminta untuk diizinkan berperang melawan penjajah dan membalas kematian suami pertamanya yaitu Teuku Ibrahim. Teuku Umar menyanggupi syarat itu. Singkatnya, Cut Nyak Dhien ikut terjun di medan perang bersama para pejuang lainnya. Dalam perjalanan kehidupan rumah tangga mereka, akhirnya Teuku Umar pun pergi lebih awal menghadap sang Khalik. Dan Tjut Nja’ Dhien pun tetap berjuang.

Perjuan perempuan perkasa itu makin sengit dan makin lihat mengalahkan tentara Belanda. Bahkan saat matanya mulai rabun karena dimakan waktu. Semangatnya tak pernah surut. Satu citanya bagaimana mengubah nasib bangsanya, dan peluang terbuka untuk itu. Maka Tjut Nja’ tak menyia-nyiakan waktu. Hingga ia ditangkap dan dibuang ke Sumedang, dalam keadaan matanya yang buta, perempuan dari Lampadang itu masih sempat menikam seorang perwira Belanda yang ingin menyentuhnya. Dalam pembuangan, ternyata Tjut Nja’ tak berdiam diri. Ia berjuang lewat mengajarkan manusia, dengan mengajarkan mengaji pada beberapa orang di rumah pembuangan itu.

Lain Tjut Nja’, lain Cut Nyak Meutia. Cut Meutia menikah dengan Teuku Syamsarif. Dalam perjalanan pernikahannya, Ia melihat perubahan sikap suaminya yang berpihak kepada Belanda. Saban hari Ia membujuk suaminya untuk tidak lagi bekerjasama dengan Belanda. Namun itu tak memberikan hasil. Konflik batinnya makin mengangga, begitu ia tahu bahwa Teuku Syamsarif diangkat sebagai uleebalang Keureuto oleh Van Heuttsz tahun 1899 ( Zakaria Ahmd, 2007).

Luka batin tak kunjung redam, kendati kesenangan dunia dalam genggaman. Hingga suatu malam, Ia meminta kepada suaminya untuk dikembalikan kepada keluarganya. Cut Meutia rindu untuk berjuang dengan keluarga dan pasukan lainnya. Tak ada peluang untuk berjuang melawan Belanda jika Ia mendampingi suaminya itu. Ia meninggalkan peluang untuk menikmati mewah, tapi ada peluang untuk kebaikan abadi.

Tak kalah pula dengan Malahayati. Ia memohon kepada Sultan Al Mukammil untuk diperbolehkan membentuk sebuah armada Aceh dengan prajurit para Inong Balee (armada janda yang suaminya meninggal di medang perang). Teluk Kreung Raya menjadi pangkalan Malahayati dengan pasukannya. Dan Ia berhasil membunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya. Pasukan Inong Balee mampu menunjukan menjadi janda bukan berarti hari-hari yang berbungkus sedih. Mereka bangkit dan melawan para penjajah itu. Peluang untuk melakukan sesuatu tidak berhenti sebab status janda semata.

Banyak sejarah tentang kehebatan yang dihadiahkan para pejuang perempaun Aceh. Di lembaran kitab-kitab klasik, sejumlah perempuan dengan misi mereka berjuangan dengan segala daya. Yang jelas, para pejuang perempuan itu mampu melihat peluang dengan baik.

Pemilu
Kini musim pemilu 2009, data menunjukkan jumlah caleg perempuan dari seluruh partai (parnas dan parlok) berkisar sekitar 304 orang. Diperkirakan jumlah ini lebih banyak lagi pada saat pendaftaran untuk menjadi caleg. Namun gagal oleh persoalan administrasi termasuk juga tidak lulus tes baca Quran. Akan tetapi tidak diketahui dengan pasti berapa total jumlah perempuan di Aceh yang berkeinginan untuk menjadi caleg.

Saya mengajukan pertanyaan pada seorang teman perempuan, mengapa Ia berniat untuk menjadi calon legislatif. Pertanyaan ini saya ajukan juga pada beberapa orang lainnya. Unsur dominan apa yang membuat mereka ingin menjadi caleg dan memutuskan untuk bersaing dengan para caleg lainnya demi memenangkan kursi legislatif? Meskipun diutarakan dengan redaksional yang berbeda, secara umum jawaban mereka berorientasi sama. Ingin mengambil peluang demi melakukan perubahan.

Tak ada yang salah dengan jawaban mereka. Sah-sah saja karena setiap warga negara berhak berpartisipasi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Namun saya membayangkan, mengapa begitu banyak caleg perempuan yang ingin melakukan perubahan melalui pencalonan sebagai caleg pada ajang pemilu ini? Mengapa tidak banyak perempuan yang mau bergabung dan aktif ketika ada training untuk meningkatkan kapasitas diri? Tidak banyak perempuan yang menghabiskan waktu untuk melakukan perubahan di lingkungan tempat tinggal mereka?

Saya mencemaskan seperti apa makna perubahan yang ingin mereka lakukan. Atau hanya untuk memenuhi quota 33 persen dengan tidak mengkhawatirkan kapasitas diri yang memang sangat jauh dari harapan. Saya mencemaskan tentang peluang perubahan yang mereka maksudkan. Perubahan yang perlahan tereduksi maknanya. Seolah peluang dan perubahan hanya bisa terjadi jika terpilih menjadi angggota legislatif kelak.

Peluang yang terabaikan
Tema perubahan yang dipilih untuk ikut dalam bursa pemilihan legislatif terasa kehilangan arah. Sebab telah tereformulasi antara unsur budaya materialisme dan individualisme. Dilihat dari prototipe perkembangannya, masyarakat kritis tentu bisa menilai siapa yang sebenarnya telah melakukan perubahan. Caleg mana yang benar telah melakukan perubahan dan akan terus melakukan perubahan.

Menjadi anggota legislatif bukanlah sebuah konsep tunggal untuk melakukan perubahan. Naif rasanya dengan konsep perubahan yang diusungkan para caleg perempuan itu, ketika tak ada yang mampu mereka lakukan tentang perubahan–jauh sebelum mencalonkan diri untuk dipilih menjadi anggota legislatif nantinya.

Jadi, tema pemilu untuk melakukan perubahan dipilih lebih kepada nafsu politis. Nafsu yang dikemas ide suci dan diaplikasikan lewat kata-kata hipnotis. Kebohongan ini bisa dilihat dari latar belakang kehidupan para caleg. Kita mengenali wajah mereka, melalui iklan yang terpasang di sudut-sudut kota atau media kampanye lainnya. Fatalnya jika ada dalam hati sang caleg bahwa menjadi anggota legislatif adalah sebuah wahana untuk mencari pekerjaan. Ditambah lagi jika ia terpilih adalah bagaimana melakukan usaha Break event point (BEP). Artinya, uang yang dikeluarkan selama masa kampanye harus kembali pada saat mereka duduk di kursi empuk. Maka dipastikan perubahan berubah menjadi makna sebatas individualisme.

Perubahan sosial tak akrab dengan keputusannya sehari-hari. Aktivitas sosial tak menjadi pilihannya. Segala hal dilakukan dengan hitungan materi. Boro-boro mengubah jika selama ini menjadi “golput” dalam melakukan perubahan sosial. Padahal perubahan suatu proses yang dilakukan dari waktu ke waktu. Dan Ia tidak bisa berupa tema yang dijadikan momentum dan kemudian terlupakan untuk jangka waktu panjang.

Pola relasi antara materialisme dan nafsu politik sebenarnya lebih terbaca dari sekedar melakukan perubahan. Keinginan mengubah terasa lebih kepada “jika ada peluang” untuk menikmati kursi empuk. Mirisnya, bila tak terpilih tentu tak ada perubahan.

Secara garis besar, konsep perubahan yang ditawarkan oleh para caleg perempuan tentu membawa ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu akan semakin terasa pada saat rakyat tidak merasakan bahwa para caleg bukanlah pelaku perubahan sosial. Mana mungkin mampu melakukan perubahan besar jika perubahan kecil yang merupakan akumulasi perubahan besar, diabaikan dalam kehidupan sehari-hari para calon legislatif perempuan. Sejatinya konsep perubahan, jika mampu mengubah diri sendiri. Ini adalah peluang yang tak tersekat oleh pemilihan umum yang hanya dilakukan setiap lima tahun sekali.

Kembali ke persoalan perempuan dan pemilu, Berpijak pada semangat yang dilakukan pejuang perempuan Aceh. Mengabaikan kepentingan materialisme dan individualisme tentunya. Saya membayangkan jika ada setiap harinya sekitar 304 perempuan menjadi volunteer pada lembaga-lembaga pendidikan. Berapa banyak murid yang terselamatkan masa depan mereka. Saya membayangkan, jika ada setiap harinya para perempuan Aceh menghujani sms kepada Komite Penyiaran Indonesia (KPI) yang memuatkan kekhawatiran mereka akan tayangan yang menghancurkan moral bangsa. Berapa banyak tayangan itu harus hilang dari peredaran. Sebab satu kali sms saja sangat menjadi pertimbangan KPI untuk membrandel tayangan tersebut.

Saya membayangkan, jika ada ibu rumah tangga setiap harinya berkisar 304 orang, sepakat untuk memisahkan sampah organik dan non organik. Betapa banyak sumberdaya alam negeri ini akan terselamatkan. Pemerintah tak harus pusing dengan sampah rumah tangga yang mendominasi tempat pembuangan sampah. Masyarakatpun bisa segera mengelola sampah mereka secara mandiri. Semua itu dapat kita lakukan tanpa menjadi aleg. Haruskah menunggu pemilu untuk melakukan hal yang diutarakan tadi. Jika memang para perempuan Aceh berpikir seperti itu, sungguh kita sudah tergagap melihat peluang dan perubahan untuk menyelamatkan di negeri ini.

* Penulis aktif di Forum Lingkar Pena Aceh dan guru.

Source : Serambi Online, 24 Maret 2009

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

Leave a Reply