Home > News > Opinion > Selamat Jalan Wali

Inalillahi wa Ina ilaihi raji’un. Aceh berduka, Tanoh Endatu menangis. Kabar mengejutkan tercatat pada Kamis, 3 Juni 2010 sekitar pukul 12.12 WIB. Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Dr Tengku Hasan M di Tiro wafat dalam usia menjelang 85 tahun di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh. Pria kelahiran Jumat, 25 September 1925 di Gampong Tanjung Bungong Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie mangkat dalam situasi tidak sadar sepenuhnya setelah hampir dua pekan dirawat intensif di rumah sakit pemerintah.

Inilah akhir dari perjalanan hidup buah hasil kasih sayang Leubé Muhammad-Pocut Fatimah binti Teungku Mahyuddin bin Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Sebelumnya, pihak tertentu sejak tahun 1980-an menyatakan paling kurang delapan Wali-panggilan akrab Hasan Tiro-sudah meninggal dunia. Hal ini terjadi setelah ayah dari Karim Tiro ini keluar dari Aceh pada Kamis, 29 Maret 1979 dari Jeunieb Kabupaten Aceh Utara (kini Kabupaten Aceh Jeumpa) ke Singapore. Di sana menunggu Menteri Perdagangan Atjèh Meurdéhka Amir Mahmud dan Menteri Negara Atjèh Meurdéhka Malik Mahmud.

Jarum sejarah dirinya dan Aceh berubah total setelah murid kesayangan Teungku Daud Beureu-éh mendeklarasikan ulang kemerdekaan Aceh pada Sabtu, 4 Desember 1976 di Bukit Tjokkan Gunung Halimon Pidie. Alasannya sangat sederhana, karena Aceh masih merupakan sebuah negara sambungan (successor state) yang terputus sejak 4 Desember 1911 dan kini bersambung lagi. Dengan demikian, Hasan Tiro berkeyakinan, dirinya bukanlah seorang seperatis.

Terlepas dari berbagai polemik dalil Wali berjuang, namun ada beberapa kata kunci yang sampai sekarang mesti diamalkkan oleh siapa saja terutama yang mengaku pejuang. Misalnya, Wali meninggalkan kemewahan di New York pada tahun 1976. Lalu masuk rimba berteman nyamuk untuk mendidik rakyat Aceh akan hak-hak politik yang selama ini telah dirampas oleh rezim orde baru. Hanya manusia yang memiliki motivasi dan ideologi yang kuat mengalahkan segala kesenangan bersama istri dan anak semata wayang di negeri yang sudah maju dibandingkan bergelap-gelap dengan panyot. Pelajaran penting, komitmen memajukan masyarakat yang kala itu masih miskin hingga kini tetap dhuafa meruntuhkan gaya hidup yang mapan di negara adidaya.

Sisi lain, Wali bukan seorang perokok dan tidak melarang teman-temanya merokok. Hal ini disadari benar oleh anggota GAM yang takzim pantang menyalakan sebatang rokok di depannya. Wali memberi kebebasan pihak lain untuk mengekspresikan gaya hidup selama yang bersangkutan tidak mengganggu pihak lain. Kerapian tidak diragukan lagi. Maka para panglima GAM akan segera berjas di depan Wali.

Demikian juga, sosok Hasan Tiro sangat menghargai pihak lain dengan ucapan thank you, very good. Begitulah kesan penulis dan puluhan jurnalis ketika bertemu dengan dia di Selangor pada Oktober 2008. Apakah kita masih sering mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu atau melayani kita? Hanya orang yang berjiwa besar yang mampu menghargai karya dan prestasi orang lain.

Tokoh GAM Usman Lampoh Awe (alm) kepada saya menuturkan Wali sangat menghargai pemberian orang. Pada tahun 1977, Usman yang meninggal dunia dalam usia 73 tahun karena kanker darah (leukimia) pada 3 Oktober 2008 di Rumah Sakit Umum (RSU) Sigli menyebutkan hingga tahun 2008, Wali masih memakai mesin ketik Olivetti yang dibeli pada tahun 1977 untuk mengetik The Price of Freedom: The unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Padahal bisa saja Hasan Tiro membeli yang baru. Namun selama benda itu masih bisa dipakai, maka terus dipakai. Dana yang ada digunakan untuk perjuangan. Bukan untuk menambah istri, membangun rumah seperti gedung dan lain-lain sebagaimana yang dipertontonkan oleh pengikut dia selanjutnya. Dengan berpisahnya nyawa dengan badan, maka selesailah sudah catatan-catatan manusia. Hanya tiga hal yang menjadi pengawal amal Wali di alam barzah salah satunya ilmu kebajikan yang terus mengalir.

Akan banyak kisah human interest yang telah dilakukan oleh Hasan Tiro untuk mewarisi dan menanam kepada orang Aceh untuk mengenal dirinya. Jika ditelusuri dari pemikiran-pemikirannya sebelum dua kali mengalami stroke, Wali aktif melakukan kampanye tentang Aceh termasuk melapor pelanggaran HAM kepada berbagai NGO internasional.

Waktu dan usia juga yang menyebabkan Wali terkapar ke sudut-sudut rumah sakit setelah berada di tanah kelahirannya. Dalam kegelisahan yang tidak bisa dipaparkan, masih ada cita dan mimpinya yang belum terwujud yakni menyaksikan masyarakat Aceh menikmati kekayaan alam sambil mengecap lautan ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah dirasakan oleh dirinya.

Beristirahatlah di alam kubur dengan tenang tanpa ada lagi yang menyatakan bahwa ini Peuneutoh Wali. Dari lorong-lorong kegelapan menuju terang ini, Insya Allah ada generasi muda Aceh yang akan melanjutkan cita-citamu ini melalui ujung pena. Perjuanganmu belum selesai. Selamat jalan Wali.

* Penulis adalah penulis buku Biografi Dr Tengku Hasan M di Tiro: Jalan Panjang Menuju Damai Aceh

Source : Serambi Indonesia, 4 Juni 2010

You may also like
A Fork in the Road for Aceh
Fase-fase Transformasi MoU Helsinki
Pimpinan Politik GAM Bertemu Marti Ahtisaari
Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh

Leave a Reply