Kritik dan cibiran rupanya sudah menjadi bagian dari perjalanan DPR semenjak dilantik pada Oktober 2009. Masyarakat seakan tak pernah kehabisan bahan kritik untuk para wakil rakyat. Dari rencana pembangunan gedung, kunjungan kerja ke luar negeri, hingga yang terakhir soal uang pulsa.
Ihwal uang pulsa itu mencuat setelah Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengirim rilis melalui surat elektronik ke sejumlah wartawan dari berbagai media massa pada Rabu pekan lalu. Dalam rilisnya, Fitra menyebutkan, setiap anggota DPR mendapatkan anggaran komunikasi atau isi pulsa telepon seluler sebesar Rp 270 juta per tahun.
Fitra menjelaskan bahwa data itu olahan dari Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010 dan tahun 2011. Anggaran sebesar Rp 270 juta tersebut terdiri dari anggaran komunikasi atau isi pulsa pribadi selama lima kali reses sebesar Rp 102 juta per tahun dan juga tunjangan uang isi pulsa bulanan sebesar Rp 14 juta atau Rp 168 juta per tahun.
Informasi mengenai tunjangan uang pulsa itu kemudian ramai menjadi bahan kritik serta cibiran di media-media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan blog. Di situs pertemanan www.kaskus.us, misalnya, berita soal tunjangan pulsa DPR sebesar Rp 14 juta per bulan juga menjadi bahan obrolan hangat. Para Kaskuser (pemilik akun Kaskus) pun ramai-ramai mencemooh DPR. Umumnya, Kaskuser mengeluhkan DPR yang menghabiskan uang negara, tetapi kinerjanya buruk.
Berita yang telanjur meluas itu membuat DPR gerah. Sekretaris Jenderal DPR Nining Indra Saleh pun merasa perlu membuat hak jawab dan somasi kepada sejumlah media massa dan Fitra. Sekjen DPR meminta Fitra mencabut pernyataan mengenai uang pulsa DPR dan menyampaikan permohonan maaf di semua media nasional. Menurut Nining, pernyataan Fitra tidak benar dan tidak beralasan sehingga dapat menyesatkan opini publik.
Pos anggaran tunjangan uang pulsa tidak ada dalam DIPA APBN. Alokasi dana Rp 102 juta tersebut merupakan pos anggaran komunikasi untuk lima kali reses selama setahun. Begitu pula anggaran Rp 168 juta per tahun merupakan pos anggaran komunikasi intensif. Kedua pos anggaran itu dialokasikan untuk membantu anggota DPR berkomunikasi dalam rangka penyerapan aspirasi dari konstituen.
Masalah uang pulsa juga membuat pimpinan DPR geram. Ketua DPR Marzuki Alie menilai kritik soal uang pulsa terlalu berlebihan. ”Itu mungkin pulsanya LSM. Yang ada itu untuk bayar listrik dan telepon anggota Rp 5,5 juta per bulan,” katanya. Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso juga menyesalkan informasi soal uang pulsa. ”Kalau uang pulsa itu, kesannya anggota Dewan ini setiap hari kerjanya menggosok-gosok voucher pulsa sampai Rp 14 juta per bulan,” tuturnya.
Selama ini, lanjut Priyo, DPR terbuka menerima kritik. Meski demikian, dasar kritik harus jelas. ”Kalau kritik soal gedung DPR atau kunjungan kerja, itu masih wajar. Kalau pulsa ini, anggarannya memang tidak ada,” katanya.
Rupanya, masalah uang pulsa membuat DPR berani ”melawan” kritik dengan mengajukan somasi. Lalu, apakah setelah ”perlawanan” itu kritik masyarakat akan mereda? (ANITA YOSSIHARA)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.