Home > News > TKPRT: Aceh Green Hanya di Laptop

TKPRT: Aceh Green Hanya di Laptop

Peserta Aksi Penyelamatan Rawa Tripa berada di gedung DPR Aceh

Banda Aceh — Kerusakan hutan rawa gambut di Tripa, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya melewati angka 50 persen. Kebijakan Aceh Green dan Moratorium Logging dinilai hanya sebatas retorika belaka. Pemerintah dianggap lalai dalam penanganan kasus tersebut.

Menyikapi hal tersebut puluhan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dari berbagai LSM lingkungan berunjuk rasa. Unjuk rasa berlangsung di dua titik yaitu Simpang Lima Banda Aceh dan dilanjutkan dengan long march ke gedung DPR Aceh, Rabu (2/2). Aksi tersebut sekaligus memperingati Hari Lahan Basah Sedunia.

“Kondisi hutan Rawa Tripa yang memprihatinkan merupakan contoh betapa belum jelasnya program Aceh Green dan Moratorium Logging yang diterapkan pemerintah. Aceh Green masih dalam laptop. Belum ada tindakan nyata dari kebijakan tersebut,” tukas TM Zulfikar, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang ikut bergabung dalam aksi tersebut.

Zulfikar mengatakan, Rawa Tripa sudah rusak di atas 50 persen. Fungsi ekologi dari rawa tersebut sekarang telah terganggu akibat alih fungsi lahan menjadi lahan sawit. Pemerintah harus menjadikan kawasan hutan itu menjadi kawasan lindung.

“DPRA juga mesti memasukkan persoalan Rawa Tripa dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh. Hapuskan status area pengguna lain (APL) bagi rawa gambut. Sebab kerusakan hutan tersebut mulai terjadi sejak tahun 1990-an. Jadi, kebijakan Aceh Green harus sesuai dengan kondisi. Jangan hanya mengeluarkan program, tapi gak ada realisasi,” pungkas Zulfikar.

Apabila pemerintah tidak mendengar rekomendasi dari kami, lanjut Zulfikar, sebaiknya pemerintah harus diganti, karena kasus ini harus segera ditangani. “Mundur saja kalau gak mampu.”

Warga Tripa, Wirduna Tripa (22) mengungkapkan, masyarakat meminta kembali haknya atas pengelolaan hutan Tripa.

“Rawa Tripa bukan lahan basah untuk kekuasaan. Pengusaha telah merebut Rawa Tripa dengan izin dari pemerintah. Oleh karena itu, stop pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) di Rawa Tripa. HGU di Rawa Tripa harus dievaluasi. Sawit bukan solusi untuk pembangunan Aceh, khususnya daerah kami,” ketus Wirduna.

Aksi lanjutan di gedung DPRA disambut oleh Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah. “Kami sedang membahas RTRWA. Jadi, masih butuh info untuk regulasi yang akan digodok itu. Jangan sampai ada info yang timpang, maka DPRA masih butuh info soal kondisi Aceh sekarang. 69 orang anggota dewan tidak mampu awasi seluruh hutan Aceh yang begitu luas.”

Adnan menambahkan, tetapi DPRA tetap komit melestarikan hutan Aceh melalui Qanun yang akan digodok. “Namun , Anda-anda (demonstran-red) juga harus menghimbau hal ini kepada pemerintah jangan hanya dewan. Pelaksana di lapangan adalah eksekutif, sedangkan dewan hanya membuat aturannya,” ujar Adnan.

Dari laporan yang diperoleh The Globe Journal dari massa TKPRT, sebelumnya di kawasan hutan rawa Tripa terdapat berbagai populasi hewan seperti beruang madu, harimau sumatera, buaya muara, burung rangkok, dan berbagai jenis satwa lainnya. Pasca pembukaan lahan hutan di kawasan tersebut, banyak satwa yang terancam punah.

Rawa Tripa adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera dengan luas mencapai sekitar 61.803 hektar. Secara administratif 60 persen luas Rawa Tripa berada di kecamatan Darul Makmur Nagan Raya. Sisanya berada di wilayah Babahrot Aceh Barat Daya. Wilayah-wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), di dalamnya mengalir tiga sungai besar yang menjadi batas kawasan. (The Globe Journal)

Leave a Reply