Home > News > Tren Kicauan Pemilu 2014, Para Capres Belum Menjawab Masalah Bangsa

Tren Kicauan Pemilu 2014, Para Capres Belum Menjawab Masalah Bangsa

Jakarta – Tidak hanya para politisi dan pakar yang menilai proses pemilu 2014, para akademisi pun mencoba untuk melihat pesta demokrasi dari berbagai sudut. Salah satunya adalah media sosial, yakni Twitter.

Direktur Asosiasi Paramadina Graduate School Abdul Malik Gismar menggandeng lembaga pemantau sosial media Awesometrics untuk melihat tren kicauan pengguna Twitter terkait pemilu 2014. Banyak kicauan hanya membicarakan tokoh-tokoh potensial dalam pilpres, sementara permasalahan kesejahteraan, pendidikan, dan kemiskinan kurang diperhatikan.

“Celoteh di Twitter menunjukkan bahwa kandidat capres yang diusung parpol ataupun capres potensial lebih dilihat dalam kaitan dengan proses atau kans dalam perebutan kekuasaan RI 1. Mereka tidak banyak dikaitkan dengan permasalahan krusian republik ini, permasalahan itu hanya mendapatkan porsi 0,2 persen,” kata Abdul di Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Minggu (16/3/2014).

Pemantauan ini dilakukan sejak 1 Januari 2014 hingga 15 Februari 2014, dengan total 1,42 juta kicauan yang terpantau. Data ini diolah dari mesin monitoring Awesometrics dengan rincian seperti pencapresan 62,5 persen, kapabilitas capres 12,5 persen, berkaitan dengan lembaga negara 11,3 persen, dan isu khusus sekitar 6,8 persen.

“Permasalahan kebangsaan serta konstitusi hanya 0,4 persen. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemilu hanya dimaknai sebatas pencarian kekuasaan semata, dan bukan menjawab permasalahan yang dihadapi rakyat Indonesia,” kata Abdul.

Abdul menyimpulkan, ada keterputusan antara keluhan masyarakat tentang kinerja eksekutif dalam pelayanan publik dengan kicauan mengenai capres yang hanya berkutat pada RI 1. Sementara strategi capres-capres menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat kurang terjawab.

“Melihat pembicaraan masyarakat hanya dipermukaan dan di seputar perebutan kekuasaan semata, bisa jadi pemilu 2014 hadir dan dimaknai sebagai ritual demokrasi belaka. Bila demikian, pemilu hanya menjadi karnaval simbol yang bising dengan retorika dangkal saja,” imbuh Abdul mengkritik.

Penelitian ini dilakukan oleh lembaga Reading Indonesia Project (Ripro) bersama Universitas Paramadina dan Awesometrics.

Source : m.detik.com

Posted from WordPress for Android

Leave a Reply