Di jurnal itu, dia harus menjadi penulis utama yang berarti memainkan peran dominan selama riset dibuat. Ini tak mudah bagi sebagian akademisi. Apabila menempuh jalan yang benar, mereka akan menghabiskan waktu dan biaya. Bagi yang tak memiliki kemampuan menulis dengan standar jurnal internasional bereputasi atau terindeks Scopus, mereka bakal kelimpungan.
Mendengar kata Scopus, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Mardianto menghela napas panjang. Dia terbayang kejadian Desember 2022, saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi menolak artikel ilmiah yang diajukannya sebagai syarat menjadi guru besar. ”Scopus, wuah…,” ucapnya sambil geleng-geleng kepala di ruang kerjanya, Medan, Kamis (19/1/2023) siang.
Mardianto harus menunggu setengah tahun hasil penilaian berkas guru besarnya. Ketika mengetahui artikelnya tak memenuhi syarat, ia hanya bisa pasrah. Dia tak begitu paham tentang jurnal. “Artikel ilmiah saya dinilai tak terindeks lagi. Angka kredit saya sebenarnya sudah cukup,” jelas dosen dengan jabatan lektor kepala ini.
Artikel ilmiah saya dinilai tak terindeks lagi. Angka kredit saya sebenarnya sudah cukup,
Penelusuran di akun Google Scholar miliknya, Mardianto pernah menulis tiga kali di jurnal berbahasa Inggris selama 2022. Dia menjadi penulis pertama di dua artikel. Judulnya, Poster Comment Strategy In Increasing Students’ Learning Motivation During Covid-19 (Case Study In Madrash Tsanawiyah) terbitan Journal of Positive School Psychology dan An Analysis of the Moral Crisis of Children towards Parents, Teachers, and Community in the 21st Century terbitan Basicedu. Namun, nama jurnal ini tidak ditemukan dalam data Scopus.
Baca juga: Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah
Menghadapi kenyataan itu, ia tidak menyerah. Kini dia sedang belajar ke dosen yang lebih muda. Dosen tersebut dianggap memahami tentang perjurnalan. Mardianto berencana membuat penelitian bersama dosen tersebut.
“Dia ahli Bahasa Inggris, sementara saya ahli strategi pembelajaran. Nanti risetnya akan dibuat strategi pembelajaran Bahasa Inggris. Target pertama punya ID Scopus dulu. Baru di terbitan berikutnya diproses untuk artikel syarat khusus sebagai calon guru besar,” tambahnya.
Sejalan dengan pertambahan usia, kesempatannya kian sempit untuk menggapai guru besar. Desember tahun ini, usianya 56. Tersisa sekitar sembilan tahun lagi berjuang sebelum mencapai batas pensiun.
Proses panjang
Seperti kata orang bijak, proses tak akan mengkhianati hasil. Selama bersabar dan telaten menulis artikel, publikasi di jurnal Scopus akan tercapai. Erond Damanik, dosen Antropologi di Universitas Negeri Medan, berhasil menerbitkan tiga artikel ilmiah di jurnal Scopus sebagai penulis pertama tahun kemarin. Salah satu artikelnya berjudul Alignment: Conflict Resolution through Sulang-Silima among Pakpaknese, Indonesia di Asian Journal of Social Science.
Baca juga: Ada Peran Joki di Balik Karya Ilmiah Dosen
Sebelum artikel di jurnal Scopus Q2 itu tayang, dia harus menunggu 2 tahun 8 bulan! “Untuk menembus jurnal Scopus dengan baik, kita harus memiliki riwayat kepenulisan. Akan jadi tanda tanya kalau dosen tiba-tiba menulis di jurnal Scopus,” ujarnya.
Untuk menembus jurnal Scopus dengan baik, kita harus memiliki riwayat kepenulisan. Akan jadi tanda tanya kalau dosen tiba-tiba menulis di jurnal Scopus
Riwayat kepenulisan dimulai dengan menerbitkan artikel dari struktur terendah, yakni jurnal nasional yang belum terindeks di Sinta, portal indeks jurnal nasional. Setelah itu, naik ke tingkat selanjutnya: jurnal nasional terindeks Sinta yang punya rentang skala dari Sinta 6 sampai Sinta 1.
Ketika sudah rutin menulis di jurnal nasional, Erond tidak langsung melompat ke jurnal internasional Scopus Q1 atau yang paling bergengsi. Dia mulai dulu dengan jurnal Scopus Q4. Proses menembus kurasi jurnal bereputasi ini pun berdarah-darah. Terhitung sejak 2019, sebanyak 21 artikelnya ditolak editor jurnal! Kini, kesabarannya membuahkan hasil. Dia dipercaya menjadi reviewer di dua jurnal internasional, salah satunya di Jurnal Sage Open dengan peringkat Scopus Q1. Selain itu, dia juga dipercaya menjadi salah satu asesor di kampusnya.
Guru besar Universitas Syiah Kuala, Aceh, sekaligus tim penilai jabatan akademik dosen di Kemendikbudristek Syamsul Rizal, berpendapat, ada dua jalan menjadi guru besar: jalan lurus dan jalan bengkok. Jalan lurus ditempuh akademisi yang jujur dengan kemampuannya. Kalau tidak mampu meneliti sesuatu, diakui saja tidak mampu. “Tetapi ada juga orang yang tak mampu tetapi melakukan segala cara untuk menyelesaikan syarat menjadi guru besar,” ujarnya.
Soal kapasitas dosen yang naik menjadi guru besar pun sebenarnya sudah diketahui sejawatnya di kampus. Namun, tampaknya ada keengganan membicarakan kapasitas kawan sendiri. Menurut Kepala Pusat Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, Krismadinata, akademisi harus mengedepankan etika ilmiah saat mengerjakan riset, apalagi jika penelitian itu untuk naik jabatan ke guru besar. Seorang akademisi harus percaya diri dan bisa mempertanggungjawabkan kepakarannya.
Hal ini dibuktikan dengan tidak melanggar integritas akademik saat melakukan riset. Namun, kecenderungan saat ini, katanya, gairah akademik di pendidikan tinggi berkurang. Dialog-dialog akademik tak berkembang karena sivitas akademik sibuk mengejar angka, bukan nilai dari setiap kegiatan akademik. “Di aspek ini, pendidikan kita sebenarnya gagal,” katanya.
Di aspek ini, pendidikan kita sebenarnya gagal
Kegalauan ini dialami oleh PI, dosen kampus swasta di Yogyakarta. Sebagai dosen dengan pangkat lektor, dia dituntut memiliki publikasi setiap semester. Jika tidak, ia terancam tak mendapat tunjangan. Sementara bila menerbitkan artikel di jurnal yang publikasinya gratis, daftar antreannya bisa sangat lama.
Di sisi lain, dia juga tak ingin menerbitkan artikel ilmiah di jurnal berbayar. “Karena aku juga pengelola jurnal, menerbitkan jurnal dengan membayar itu rasanya seperti tidak sreg. Itu kan karya akademis, kok harus berbayar untuk menerbitkan,” katanya.
Editor : KHAERUDIN
Source : Kompas.id