Saya kagum pada Maher Zain. Bukan saja karena tiket konsernya di Bandung, Surabaya, dan Jakarta terjual habis, tetapi juga kalau dipikir-pikir, tidak banyak orang yang bisa mengumpulkan orang seisi satu Istora Senayan untuk mendendangkan shalawat dengan harus membayar tiket seharga rata-rata lima ratus ribu rupiah. Bukankah itu hebat?
Tidak dipungkiri, tentu saja kunci kesuksesan Maher Zain terletak pada musiknya. “Musik yang menyentuh jiwa,” kata Fadly dari band Padi yang menjadi penyanyi pembuka konser Maher. Tetapi menurut pendapat saya, kesuksesan Maher Zain merupakan kombinasi antara talenta seorang musisi dengan kecerdasan seorang pemasar (marketer).
Yang utama dan paling penting, Maher amat memahami karakter dari target pasarnya. Target utama musik Maher yang masuk dalam genre pop dan R&B adalah generasi muda yang berusia belasan hingga tigapuluhan tahun. Generasi ini adalah generasi muslim modern yang amat fasih dalam menggunakan Internet, jejaring sosial, dan aneka perangkat teknologi (gadget) modern semisal BlackBerry. Generasi ini juga lebih kreatif dalam mengekspresikan diri, contohnya dalam menginterpretasikan busana muslim agar selaras dengan kaidah-kaidah Islam namun juga mengikuti tren fashion.
Namun, generasi ini juga menghadapi tantangan-tantangan unik yang berbeda dibandingkan dengan tantangan generasi-generasi pendahulunya. Maher memahami tantangan-tantangan tersebut dan meramu pemahaman tersebut ke dalam lirik-lirik lagu, sehingga yang tercipta bukan saja musik yang enak didengar, namun juga menginspirasi. Tengok saja lirik lagu “Insya Allah” yang penuh berisikan harapan (don’t despair and never lose hope//’cause Allah is always by your side).
Pilihan bahasa menunjukkan bahwa strategi pemasaran Maher Zain dilakukan dengan cermat. Meskipun bahasa Arab adalah bahasa ibu Maher, sebagian besar lagu yang dinyanyikannya adalah dalam bahasa Inggris, sehingga mempermudah upaya pemasaran dalam tataran global. Namun, menyadari betul akan keberagaman bahasa umat muslim dunia, Maher pun berkolaborasi dengan musisi dari berbagai negara untuk menyanyikan lagu-lagunya dalam bahasa-bahasa lokal: Arab, Perancis, Urdu, Turki, Melayu, dan Bahasa Indonesia. Kolaborasi ini membuat nama dan musiknya lebih cepat dikenal di negara-negara yang menggunakan bahasa-bahasa tersebut. Inilah contoh sukses dari slogan “Think globally, act locally”.
Prinsip “Think global, act local” juga menjadi resep Maher dalam urusan penampilan. Jeans, jaket, dan topi baret adalah ciri khas penampilan Maher. Berbeda dengan pemusik-pemusik religi lain semisal Sami Yusuf atau Yusuf Islam yang berpenampilan lebih konservatif, dan amat kontras dengan pemusik-pemusik Indonesia yang seolah mewajibkan diri untuk berbaju koko ketika menyanyikan lagu bernuansa Islami. Penampilan yang dipilih Maher ini senada dengan irama musik R&B yang diusungnya, dan membuat Maher dapat diterima lebih mudah di kalangan generasi muda di berbagai belahan dunia.
Dalam hal performa panggung pun, Maher menyesuaikan diri dengan target pasarnya. Contohnya, pada konsernya di Jakarta dua minggu yang lalu, sepanjang konser saya menanti-nanti Maher menyanyikan lagu “Awaken” . Lagu ini berisikan ajakan bagi umat Muslim agar berhenti menyalahkan orang lain dan lebih banyak berintrospeksi ke dalam (yes it’s easy to blame everything on the west, when in fact all focus should be on ourselves). Namun saya tidak heran ketika hingga akhir konser Maher tidak menyanyikan lagu tersebut. Karakter audiens Indonesia lebih menyukai lagu-lagu yang easy listening, sehingga Maher memilih untuk tidak menyanyikan lagu-lagu yang terkesan “berat”.
Terakhir namun tidak kalah pentingnya, dalam soal promosi dan distribusi, Maher dengan cerdas memanfaatkan jejaring sosial, YouTube dan platform berbasis Internet lainnya sebagai media untuk mempromosikan serta mendistribusikan musiknya agar lebih cepat dan mudah merambah pasar. Terbukti , meskipun tergolong penyanyi pendatang baru, Maher dapat dengan cepat mengalahkan penyanyi-penyanyi religi senior lainnya baik dalam hal prestasi penjualan maupun popularitas. Melalui YouTube, video klip “Insya Allah” saja telah diunduh lebih dari 11 juta kali dari tahun 2010 hingga kini.
Maher juga mencatat rekor sebagai artis Muslim pertama yang jumlah fansnya di Facebook mencapai satu juta orang.
Harmonisasi antara musikalitas Maher Zain dan strategi pemasarannya terbukti berhasil. Di manapun Maher menggelar konser, termasuk di Indonesia, tiketnya selalu terjual habis. Hanya tiga bulan sejak peluncuran album pertamanya yang berjudul “Thank You Allah”, Maher juga memenangkan penghargaan Lagu Religi Terbaik dari Nujoom FM, stasiun radio terbesar di Timur Tengah, mengalahkan penyanyi-penyanyi religi senior Sami Yusuf dan Hussein Al-Jismi.
Di Indonesia sendiri, tahun ini Maher Zain telah memperoleh 10 penghargaan platinum dari Sony Music Indonesia. Penghargaan ini mengukuhkan album “Thank You Allah”sebagai album internasional tersukses di Indonesia pada tahun 2011. Pemahaman yang baik akan pasar memang merupakan kunci dari strategi pemasaran yang sukses. Maher Zain adalah contohnya. Selain sebagai pemusik yang menginspirasi, Maher Zain ternyata juga seorang marketer yang handal!
Oleh: Afia R. Fitriati, Penulis adalah dosen Islamic Marketing di Paramadina Graduate School
Source : Republika.co.id
Posted with WordPress for BlackBerry.