Jakarta, Kompas – Penerapan ambang batas secara nasional dinilai mengabaikan aspirasi lokal yang mengancam prinsip representasi. Jika ketentuan itu dimuat dalam undang-undang, pemilu tidak lebih sekadar penyerahan kedaulatan rakyat kepada sekelompok partai politik besar.
Pemberlakuan ambang batas parlemen (parliament threshold/ PT) nasional disepakati oleh delapan dari sembilan fraksi Tim Perumus Rancangan Undang- Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Senin lalu.
Dengan penerapan itu, hanya parpol dengan perolehan suara melampaui ambang batas parlemen nasional yang dapat disertakan dalam penghitungan perolehan kursi lembaga legislatif di setiap tingkat daerah.
”Secara kasatmata, ambang batas nasional menegasikan konsep politik lokal. Preferensi politik nasional sering kali tidak mencerminkan politik lokal,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Selasa (13/3), di Jakarta.
Ia mencontohkan, Partai Bulan Bintang tidak mendapat kursi di parlemen pada tingkat nasional, tetapi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung partai ini mendapat perolehan suara cukup besar. Hal serupa dialami Partai Damai Sejahtera yang mendulang suara cukup besar di Papua, tetapi tidak dapat kursi di DPR.
”Ini sangat tidak demokratis. Bisa dibayangkan akan ada berapa suara yang harus hilang di daerah jika ambang batas diterapkan nasional,” kata Titi.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Sebastian Salang mengatakan, penerapan ambang batas nasional sangat tidak adil. ”PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) di Jawa Timur sangat kuat. Kalau ditetapkan ambang batas nasional adalah 4 persen dan PKB tidak lolos, sedangkan mereka meraih 40 persen suara di Jawa Timur, bisa dibayangkan seperti apa jadinya nanti,” ujarnya.
Karena itu, menurut Sebastian, lebih masuk akal jika ambang batas diterapkan secara berjenjang. Ambang batas nasional 4 persen, provinsi 3 persen, kabupaten/kota 2 persen. ”Dengan cara ini, penyederhanaan partai tetap bisa diwujudkan,” ujarnya.
Representasi hilang
Dengan demikian, ujar peneliti Perludem, Veri Junaidi, tidak tepat jika DPR dan pemerintah menyepakati ketentuan ambang batas secara nasional. Semestinya PT diberlakukan sesuai tingkatan, bukannya digeneralisasi secara nasional yang justru tidak adil dan menghilangkan prinsip representasi.
Aturan PT semacam itu, menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ahmad Fauzi Ray Rangkuti, tidak adil karena hanya akan membuang hak rakyat. ”Ada hak warga negara dan parpol yang secara legal dan politik telah didapatkan, tapi dibuang begitu saja. Jelas tidak adil,” kata Ray.
Karena itu, kata Titi, pemberlakuan ambang batas nasional membahayakan, selain melanggar demokrasi dan berpotensi menimbulkan gejolak politik.
Pendapat senada disampaikan Sekretaris Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan Didi Supriyanto serta Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Sutiyoso. Menurut mereka, pemberlakuan ambang batas nasional dapat menimbulkan gejolak yang luar biasa.
Kemarin, lima parpol yang tergabung dalam Forum Lima menemui Ketua DPR Marzuki Alie. Mereka memberikan sejumlah masukan terkait pembahasan RUU Pemilu. Salah satunya, gagasan agar Pemilu 2014 tetap menggunakan undang-undang lama, yakni UU No 10/2008.(ATO/DIK/NTA/NWO)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.