Home > News > Opinion > Aceh Butuh Kebijakan, Bukan Partai atau Individu

Aceh Butuh Kebijakan, Bukan Partai atau Individu

Dalam beberapa bulan ke depan, rakyat Aceh kembali pergi ke lokasi pemungutan suara untuk memilih seorang gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakilnya. Pemilu sebagai simbol konsolidasi proses demokrasi di Aceh, sejak perjanjian damai di Helsinki tahun 2005, lalu.

Meskipun masa kampanye pemilu belum resmi dimulai, terlihat ada minat yang besar dari beberapa calon untuk bersaing, mereka berjuang menarik simpati masyarakat dan mencari peluang sukses sebisa mungkin.

Hal seperti ini sangat sehat, orang punya minat yang aktif dalam kehidupan berpolitik di komunitasnya dan sebagai proses politik untuk menentukan bagaimana orang-orang komunitas ini bisa bertahan hidup dalam batasan yang dipaksakan keadaan.

Lingkungan politik di Aceh tetap ada lebih kurang terasa angin damai sejak tahun 2005, kemenangan salah satu wakil pemerintahan sebagai bentuk gagasan demokrasi. Proses pemilihan itu sendiri merupakan kemenangan bagi akuntabilitas yang merupakan kebalikan dari aturan yang dipaksakan bahwa Aceh pernah mengalami hal sulit dalam demokrasi.

Masyarakat pasca-konflik Aceh juga sudah mengalami banyak pengalaman dan masalah lainnya. Namun, pada keseimbangan, Aceh terasa jauh lebih bahagia, stabil dan adil dari semua itu. Kehidupan sebagian besar rakyat Aceh cenderung terasa lebih baik.

Salah satu masalah pasca konflik adalah masyarakat punya harapan sangat tinggi terhadap sebuah perubahan. Banyak yang percaya dengan kedamaian, kemakmuran akan datang tanpa batas. Tentu saja, hal ini tidak benar dan tidak realistis.

Hadirnya perdamaian adalah perjuangan yang sangat keras untuk membangun kembali sosok masyarakat di Aceh seperti di daerah lain. Perdamaian hanya menciptakan kemungkinan itu. Jadi, wajar ada sebagian masyarakat merasa kecewa dan beberapa orang di Aceh diantaranya telah menyatakan kekecewaan tersebut secara terbuka.

Dua kekecewaan terbesar, pertama, MoU Helsinki bisa mengakhiri perang tapi belum sepenuhnya dihormati oleh pemerintah pusat dan kekecewaan kedua, masih ada anggapan kemerdekaan itu tidak tercapai dan perjuangan gagal.

Persoalan merdeka, ada sejumlah cara untuk mengatasi masalah ini, tapi yang paling utama adalah untuk bertanya pada diri sendiri apa tujuan kemerdekaan sebenarnya. Jika jawabannya untuk meningkatkan kehidupan orang Aceh dan pertanyaan berikutnya, apakah ada cara lain untuk melakukan untuk mencapai tujuan itu.

Dan cara alternatif itu, hampir pasti akan lebih banyak lagi kematian, kehancuran dan penderitaan tanpa prospek memperoleh harapan untuk meraih sebuah kemenangan.

Hal penting lain yang perlu diingat, penderitaan panjang rakyat Aceh makin diperparah oleh bencana tsunami tahun 2004, silam dan sudah waktunya untuk mengakhiri penderitaan itu.

Untungnya, orang-orang yang kecewa tersebut tidak mendapat kemandirian dan sekarang, suara mereka sedikit termarginalkan oleh peta politik. Namun, jika Nota Kesepahaman 2005 adalah jawabannya, mengapa tidak sepenuhnya dihormati?

Memang tidak ada jawaban yang mudah untuk menjawab hal seperti ini, kecuali dikatakan bahwa politik adalah layaknya sebuah pertunjukan seni. Terkadang kompromi sering menyenangkan namun tetap dibutuhkan dan dilakukan.

Ketika pertama sekali Undang-undang Pemerintahan Aceh diperkenalkan, ada berkembang sejumlah isu yang isinya tidak sesuai dengan MOU. Bagaimanapun, upaya tulus para pembuat hukum Jakarta untuk memasukkan istilah hukum apa dimaksud MoU itu tidaklah semuanya sempurna, tetapi tetap diupayakan jalan tengah dan kompromi.

Hal ini juga masih membuka kemungkinkan kesempatan untuk terus menekan agar semua ketentuan dalam MoU dijalankan meskipun terkadang tidak semua dapat dicapai secara sempurna. Pertanyaan seperti ini bukan untuk pemimpin politik di Aceh tapi apa yang mungkin bisa dilakukan kedepan.

Pencapaian yang dialami sejak lima tahun terakhir dan kita telah melihat transformasi yang luar biasa di Aceh. Aceh bukan lagi tempat yang menakutkan tapi salah satu lokasi pertumbuhan hidup yang luar biasa. Kekayaan budaya Aceh berkembang dan orang-orang terlihat mulai menikmatinya.

Dalam istilah politik yang konkrit, Aceh telah terlihat perkembangan yang signifikan dalam program pendidikan dengan difasilitasi oleh hak otonomi yang sekarang dinikmati.

Secara khusus, Aceh telah banyak berinvestasi untuk masa depannya sendiri dengan mengirimkan sarjana muda yang cemerlang ke luar negeri untuk

damien kingsbury

mendapatkan pendidikan terbaik. Ketika kembali, mereka akan membantu membangun Aceh menjadi tempat berpengetahuan yang kuat dan makmur. Ini adalah kebijakan sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara paling sukses di dunia.

Aceh juga sudah memilik tempat perawatan kesehatan dengan investasi di klinik dan rumah sakit. Dan yang paling penting, mendapat perawatan kesehatan secara gratis. Ini adalah langkah luar biasa untuk pemerintah manapun dan merupakan dunia pertama untuk masyarakat yang masih berkembang ekonominya.

Program moratorium logging telah mendapat pengakuan bahwa kekayaan Aceh tidak hanya terletak pada orang-orangnya tetapi juga di habitat dan satwa liar.

 

Di beberapa daerah di Aceh sekarang para pemimpin partai politik lain seperti iri hati dan berdiri di antara orang yang berbeda visi dan itu pertama di dunia.

Isu-isu yang berkembang sekarang di Aceh bagaimana mengatasi masalah transit dari ekonomi yang sebagian besar bergantung pada penerimaan kompensasi dana migas sebagai lahan subur seperti dulu, ke ekonomi perdagangan.

Hal ini akan butuh perluasan basis ekonomi Aceh, yang pada gilirannya kembali ke pertanyaan bagaimana peningkatan pendidikan rakyatnya. Investasi sumber daya manusia adalah langkah cerdas di Aceh dan itu dapat diraih. Ramalan ini sangat baik untuk Aceh di masa depan.

Masa depan Aceh tentu saja sangat tergantung kepada siapa yang akan mengarahkannya, melalui lima tahun ke depan. Dan, untuk memastikan keberhasilan jangka waktu lima tahun terakhir terletak pada tanggung jawab para kandidat di berbagai posisi jabatannya.

Sebagian telah melakukan pekerjaan dengan baik dan harus didorong lagi untuk bisa dipertahankan dan beberapa orang kurang berhasil dan harus dimintai pertanggungjawaban oleh pemilihnya. Mungkin yang memilihnya dulu berharap dia tidak melanjutkan jabatannya karena alasan mereka sendiri.

Ada banyak kandidat yang berkeinginan untuk memimpin Aceh lima tahun ke depan, belum teruji atau telah dinyatakan tidak menunjukkan keterampilan kepemimpinan yang diharapkan.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa tim negosiasi yang terlibat MoU antara mereka yang baik ditempatkan untuk memimpin. Yang benar adalah, bagaimanapun tim negosiasi sudah terpecah-pecah sebelum MoU ditandatangani dan sejak terbagi menjadi beberapa perspektif politik yang berbeda. Ada hubungan khusus yang diperlukan diantara mereka yang terlibat dalam proses MoU dengan cara apapun dan kenyataannya, yang sekaranglah paling siap untuk memimpin Aceh.

Pada saatnya masa depan Aceh akan tergantung dari hasil kompetisi politik. Ini adalah proses yang sehat bagi masyarakat yang terbuka, secara damai mendiskusikan dan memperdebatkan ide-idenya. Tidak ada ruang kekerasan dalam demokrasi, dari siapa pun itu. Melepas diri dari kebiasaan kekerasan salah satu hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam masyarakat pasca-konflik.

Namun itu harus dilakukan, jika masyarakat berkeinginan untuk mewujudkan kesuksesan masa depannya. Demikian, belum ada klaim legitimasi kesetiaan politik berdasarkan masa lalu orang lain.

Organisasi tertentu yang membawa obor kebebasan selama bertahun-tahun tetapi mereka sekarang tidak ada lagi. Mereka sekarang merupakan bagian dari organisasi-organisasi yang majemuk dan tersebar luas di bidangnya. Sebagai akibatnya, tidak ada seorang pun dapat menuntut perlindungan yang bisa mewakili masyarakat Aceh lebih dari orang lain.

Tentu saja ada loyalitas kepada pihak tertentu dan secara pribadi, dan ini tetap penting. Tapi yang lebih penting adalah ide-ide yang mereka perjuangkan.

Pertimbangan pertama, kebijakan partai dan terakhir, kepribadian. Ini harapan untuk masa depan Aceh untuk meraih kemenangan dari individu yang memiliki ide-ide terbaik.

Rakyat Aceh akan memiliki kesempatan besar dalam beberapa bulan mendatang untuk mempertimbangkan calon pemimpin politiknya, bukan karena tawaran uang tunai, buah tangan atau t-shirt dan sebagainya. Namun harus melihat bagaimana rencana dan rancangan yang jelas untuk masa depan Aceh yang makmur dan aman, nantinya.

Semua kawan di Aceh berharap bisa menggunakan saat-saat sekarang untuk memeriksa posisi kebijakan kandidat secara hati-hati sebelum hari ‘H’ untuk memutuskan membuat rencana dan kepercayaan terbaiknya serta yang paling realistis untuk masa depan Aceh. [Alih bahasa: Chaideer Mahyuddin]

Tulisan Professor Damien Kingsbury:
Director of the Centre for Citizenship, Development and Human Rights at Deakin University and Advisor GAM saat penandatangan MoU Helsinki, 2005.

Catatan: tulisan ini diterjemahkan dari tulisan asli yang dikirim ke redaksi The Atjeh Post dengan judul: Policies, not parties or personalities, for Aceh’s future

Source : AtjehPost.com

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Sederet Opsi Penentu Kemenangan Pilpres
Jajak Pendapat Litbang “Kompas” : Pemilih Muda Lebih Kritis Memandang Kinerja Parlemen
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik

Leave a Reply