Stagnasi yang kerap terjadi dalam penyelesaian berbagai persoalan bangsa bisa jadi terkait dengan sikap ambiguitas yang demikian menonjol dalam kultur parlemen. Mereka yang terjepit di antara dua kepentingan, kebijakan pragmatis partai politik yang menaunginya dan kepentingan rakyat yang memilihnya, pada akhirnya memilih bersikap aman.
Realitas politik di lapangan kerap menghadapkan anggota DPR dalam pilihan-pilihan yang bertentangan. Hasil survei terhadap anggota legislatif yang diselenggarakan Litbang Kompas menunjukkan sikap dilematis ini. Di satu sisi, mayoritas responden (69 persen) anggota DPR mengaku lebih mendahulukan kepentingan konstituen mereka. Namun, di sisi lain, lebih banyak anggota DPR yang tak berdaya dan terpaksa tunduk pada garis kebijakan parpol. Padahal, sikap politik dan kepentingan pragmatis parpol tak jarang berseberangan dengan harapan rakyat. Tak kurang dari 87 persen responden sepakat bahwa pandangan pribadi anggota DPR dalam setiap rapat harus sejalan dengan sikap fraksi/partai.
Tidak dapat dimungkiri, etika dan garis kebijakan yang mengikat suara mereka sebagai anggota partai/fraksi tetap berpengaruh pada sikap yang diambil anggota DPR pada umumnya. Perbedaan sikap individu dengan kebijakan partai kerap pula dimaknai sebagai pembangkangan. Sikap Lily Wahid dan Effendy Choirie, yang ”nekat” berseberangan dengan sikap Partai Kebangkitan Bangsa soal usul pembentukan panitia khusus angket DPR untuk mafia pajak, menjadi satu contoh. Aksi dua anggota Fraksi PKB itu berujung pada sanksi keras berupa penarikan (recall) dari DPR.
Sikap atau keputusan yang dipilih anggota DPR pada umumnya akhirnya lebih bersandar pada naluri politik paling mendasar, yaitu bagaimana memperoleh dan mengendalikan kekuasaan. Pilihan sikap selalu berujung pada kepentingan mana yang lebih menguntungkan dan aman pada saat itu. Ketidakpuasan dan ketidaksetujuan sekadar menjadi urusan di bawah permukaan.
Koalisi rapuh
Problem konsistensi pada akhirnya menjadi serius ketika dikaitkan dengan koalisi partai. Rapuhnya koalisi partai pendukung pemerintah terekam jelas saat setiap fraksi menyampaikan sikap terkait sejumlah isu yang melibatkan sejumlah elite di dalam pemerintahan.
Goyahnya koalisi enam partai pendukung pemerintah (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, PKB, dan Partai Amanat Nasional) mencuat ketika sejumlah politisi Golkar dan PKS terlibat dalam pengusungan hak angket mafia pajak. Rapuhnya koalisi partai di parlemen juga diakui sebagian responden anggota DPR dalam survei ini. Nyaris separuh (45 persen) dari respons yang disampaikan anggota DPR dalam survei ini menyebutkan bahwa sikap partai-partai dalam aliansi pendukung pemerintah tidak konsisten menjalankan perannya sebagai partai koalisi.
Pengakuan itu juga cukup banyak dilayangkan kelompok responden dari partai-partai koalisi. Tak kurang dari 40 persen respons anggota partai koalisi sepakat sikap sejumlah partai dalam koalisi memang dirasakan lentur atau tidak konsisten.
Kritik ini sebagian dilayangkan anggota partainya sendiri. Responden asal Partai Golkar, misalnya, tercatat 31 persen yang memberi penilaian bahwa partainya tidak cukup konsisten menempatkan sikapnya sebagai partai yang tergabung dalam koalisi. Begitu juga responden dari PPP, tak kurang dari 40 persen yang mengkritik sikap partainya tidak konsisten sebagai koalisi pendukung pemerintah. Sementara tercatat 12 persen responden asal PKS yang mengkritik serupa terhadap sikap partainya sejauh ini.
Penyikapan kritis responden terhadap sikap partai mereka tampak mencolok pada survei periode pertama yang dilakukan April 2010. Situasi politik parlemen ketika itu memang sedang panas. Penentuan sikap partai terkait kasus Bank Century menjadi kejutan sekaligus ilustrasi lenturnya model koalisi yang terjalin di parlemen.
Menilai pemerintah
Sejumlah hasil opini publik yang menunjukkan melorotnya popularitas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga tergambar dalam survei yang merangkum suara para elite yang duduk di legislatif.
Dari dua kali penyelenggaraan survei dalam rentang satu tahun, terjadi peningkatan akumulasi persepsi negatif anggota DPR terhadap kinerja pemerintah. Turunnya apresiasi dilontarkan responden yang terhimpun dalam kelompok partai koalisi pendukung ataupun non-pendukung pemerintah. Lebih jauh, penyikapan negatif atas kinerja pemerintahan SBY juga disuarakan sebagian responden dari Partai Demokrat.
Ketidakpuasan tertinggi tampak dalam penilaian terhadap kinerja pemerintah di bidang hukum. Pada aspek ini tak kurang dari 80 persen responden menyatakan ketidakpuasan mereka. Respons negatif terbesar dilayangkan kelompok responden dari partai non-pendukung. Mayoritas dari kelompok ini (94 persen) mengungkapkan penilaian negatif mereka.
Namun, kelompok responden yang berasal dari partai koalisi pendukung pemerintah pun tak kalah banyak yang kecewa. Tercatat 76 persen responden yang tergabung dalam partai koalisi tak puas atas kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum. Bahkan, nyaris separuh (45 persen) responden yang berasal dari Partai Demokrat juga menyuarakan penilaian negatif mereka.
Kinerja Presiden SBY dalam memimpin kabinet tak luput dari penilaian negatif. Mayoritas (65 persen) responden memberi respons negatif atas langkah SBY memimpin kabinet. Lebih dari separuh responden yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah juga menyampaikan pendapat yang serupa.
Tingginya penyikapan negatif pada kemampuan presiden memimpin kabinet juga dibarengi dengan besarnya harapan akan terjadinya perombakan kabinet. Melihat kondisi yang berkembang saat ini, tak kurang dari 65 persen responden menyatakan perlu dilakukan reshuffle atas komposisi menteri-menteri di kabinet yang ada saat ini.
Suwardiman (LITBANG KOMPAS)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.