Di depan para peserta Indonesia Young Leaders Forum, 9 Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ia, istri, dan anak-anaknya tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilihan Umum 2014.
Di Landraad Bandung, 29 Desember 1929, Soekarno melakukan pembelaan menentang penjajah Belanda. ”Indonesie Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat), begitu judul pidatonya yang sangat terkenal di dunia. Namun, tetap saja Bung Karno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja, dan Soepriadinata diganjar empat tahun penjara ketika itu. Tidak ada penyesalan. Mengutip Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia, ”Pembelaan telah dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.”
Saya tidak sedang membandingkan dua pidato itu karena konteksnya memang berbeda. Namun, sulit untuk dibantah bahwa sejauh ini terlalu banyak pidato Presiden Yudhoyono yang berisi keluhan pribadi dan menyulut kontroversi. Sebaliknya, Soekarno meletakkan hal-hal mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti ideologi (Pancasila), geopolitik (Selatan-Selatan), dan nilai kemandirian (Trisakti). Siapa pun pasti bersepakat, Soekarno mempunyai cita-cita yang lebih besar daripada dirinya sendiri.
Kultur terselubung
Mencermati praksis politik saat ini, saya menarik kesimpulan bahwa Republik sedang berjalan dengan jiwa yang rapuh. Banyak aparat hukum yang seharusnya menegakkan pedang keadilan tunduk pada tawaran korupsi. Banyak perintah Presiden diabaikan begitu saja oleh bawahan, termasuk anggota partai politik yang dibinanya. Bahkan, untuk sekadar pernyataan politik, ada saja pimpinan partainya yang menegasikan. Di sisi lain Presiden sendiri terlalu sensitif dan sering mengeluarkan pernyataan yang tidak perlu.
Lebih buruk lagi, Pancasila pun kini dijadikan pelesetan sebagai respons dari keadaan patologis saat ini. Di layanan pesan singkat (SMS) yang berseliweran, misalnya, sila Ketuhanan yang Maha Esa diganti menjadi Keuangan yang Maha Kuasa dan Persatuan Indonesia diganti menjadi Persatuan Koruptor Indonesia. Saya miris membacanya. Selain itu, data tentang penguasaan asing terhadap kekayaan sumber daya alam, perkebunan, telekomunikasi, dan perbankan Indonesia, yang dilukiskan begitu mencengkeram juga beredar luas melalui SMS.
Semua itu menunjukkan bahwa jiwa bangsa ini sedang lunglai. Padahal, sebagai bangsa yang belum lepas dari lilitan kultur paternalistik, Presiden sejatinya adalah sumber di mana jiwa bangsa berada. Ia ibarat organ kecil di pusat otak yang oleh Rene Descartes disebut sebagai pineal gland, tempat jiwa bersemayam. Pendeknya, ia adalah benteng di mana rakyat bisa berlindung dan merengkuh keadilan.
Namun, fenomena yang terjadi menunjukkan bahwa Presiden Yudhoyono lebih sering membuat ranah politik yang sudah tenang tiba-tiba bergejolak lagi. Presiden kembali melontarkan pernyataan sensasional minggu lalu bahwa ia, istri, dan anak-anaknya tidak akan menjadi calon presiden tahun 2014.
Dalam perspektif budaya politik, sikap Presiden itu membenarkan pemahaman bahwa wong Jawa nggone semu (orang Jawa itu berpikir tidak terbuka). Mereka memang hidup dan tumbuh dalam kultur terselubung. Sedemokratis apa pun dia, tetap saja kekuatan simbol menjadi ekspresi terdalam dari sikap dan perilaku politiknya.
Berdasarkan perspektif itu, pernyataan Presiden Yudhoyono bahwa ia, istri, dan anak-anak tak akan maju sebagai calon presiden adalah pernyataan terselubung. Ini bukan upaya pengalihan perhatian dari kasus Muhammad Nazaruddin yang ibarat palu godam menghantam Partai Demokrat saat ini. Langkah itu juga bukan upaya untuk menutupi kerasnya kontestasi internal dalam tubuh Partai Demokrat antara kelompok anak loyang (Anas Urbaningrum) dan anak emas (Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie).
Akan tetapi, pernyataan Yudhoyono itu menyiratkan dua makna. Pertama, apabila dia jadi berbesanan dengan Hatta Rajasa, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu adalah calon presiden yang akan mereka usung nanti. Di sini koalisi Partai Demokrat dan PAN adalah simpul mati utama. Kedua, Pramono Edhie Wibowo, adik ipar, yang saat ini masih memupuk kematangan hidup adalah figur kuat lain yang dibayangkan. Semua harus ditaruh dalam ruang yang terselubung agar tetap aman.
Kuatnya praktik kultur terselubung di satu sisi dan ketidakpastian tatanan hidup di sisi lain membuat masyarakat apatis. Mereka merasa tidak memiliki Republik.
Tanpa tonggak
Semua itu menjadi tanda bahwa pemerintah, terutama Presiden, gagal menjadi benteng di mana rakyat dapat menyandarkan diri dan berlindung di dalamnya. Semua persoalan sepertinya diserahkan sepenuhnya kepada pasar sehingga Indonesia terkesan tak mempunyai tonggak yang dapat dijadikan sandaran rasa aman. Selain itu, juga tidak ada visi jangka panjang yang ditegakkan dengan segala risikonya.
Gambaran itu kontras dengan karakter para bapak bangsa. Mereka tidak gentar dipenjara, disiksa, digantung, dan didrel (ditembak). Mereka berpikir, bersikap, dan hidup sederhana. Tidak mengherankan jika di mata rakyat, para pemimpin itu adalah benteng kokoh di mana jiwa mereka aman berlindung. Kemiskinan dan siksaan fisik tidak ada artinya. Mimpi bersama mereka adalah menuju jembatan emas, yaitu kemerdekaan Indonesia.
SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Source : Kompas.com