Home > Education > Political Marketing > Antara Thaksin dan Irwandi

Thailand baru saja melaksanakan pemilihan legislative pada tanggal 3 Juli 2011. Negara yang mewajibkan setiap warganya untuk memilih telah menghasilkan anggota parlemen yang mayoritas dari partai Pheu-Thai. Terlebih setelah berkoalisi dengan 6 partai kecil, maka Yingluck Shinawatra yang adalah adik kandungnya Thaksin Shinawatra dapat melenggang mulus menjadi Perdana Mentri (PM) Thailand berikutnya.

Thailand tidak menyediakan calon independen dalam sistem pemilu. Maka sepak terjang politik di Thailand berkonsentrasi mengutak-atik karder dari partai. Partai Pheu-Thai yang merupakan partai proxy dari Thaksin adalah partai baru yang menjelma dari partai Thai-Rhak-Thai yang dibubarkan setelah Coup’ d’état dan berganti dengan PPP (People Power Party) yang kemudian juga dibubarkan oleh pengadilan karena terbukti melakukan pelanggaran pemilu yang cukup serius.

Thaksin sendiri menjadi “the most wanted person in Thailand”. Sempat melarikan diri ke London dan membeli club sepak-bola Manchester City yang kemudian juga diusir maka kini ia tinggal nyaman di Dubai dengan travel rutin ke Montenegro, Hongkong dan negara lain yang tidak memiliki perjanjian extradisi dengan Thailand. Bahkan dengan kelihaian politik dan kekayaannya, Thaksin sempat dipercaya sebagai salah satu penasehat ekonomi dari pemerintah Hunseen di Cambodia.

Tetapi yang menjadi cacatan penting untuk pemilu kali ini adalah; setelah dikudeta oleh militer  pada tahun 2006, 2 kali partainya dibubarkan, dilarang berpolitik dan menjadi buronan, Thaksin tetap meraih kepercayaan dari grassroot dan memenangkan pemilu 2011 secara mutlak.

Catatan penting tersebut diatas bisa menjadi referensi untuk pilkada di Aceh yang seharusnya diselenggarakan pada November 2011. Simpang siur calon independen menjadi isu ditundanya pilkada. Persoalan ketidak jelasan hukum keputusan Mahkamah Kosntitusi (MK) bahkan propaganda interfensi “Jakarta” juga laku dijual.

Seperti yang disampaikan Chairul Fahmi pada sebuah artikel di Aceh Institute, bahwa faktor penolakan terhadap keputusan MK tersebut, lebih cenderung mempertahankan kepentingan politik, dari pada memahami keputusan hukum dalam sistem hukum NKRI.

Kembali ke Thailland. Thaksin boleh tidak dapat pulang ke Thailand, tetapi kiprahnya tetap dapat mengatur situasi politik negara gajah putih ini. Kemenangan mutlak partai Thaksin dalam 3 pemilu berturut-turut menjadi pil pahit partai oposisi. Apalagi pemilu ini dianggap “free and fair”, termasuk oleh ANFREL (Asian Network for Free Election) sebagai satu-satunya organisasi pemantau pemilu internasional pada pemilu 2011.

Gerakan anti-demokrasi  dan kekerasan seperti kudeta dan pembubaran paksa protes kelompok baju merah yang menimbulkan korban hampir seratus jiwa terbukti tidak berhasil bahkan hanya  meningkatkan simpati masyarakat kepada Thaksin. Simpati menjadi alat politik yang terbukti manjur.

Contoh lainnya misalnya kemenangan Megawati pada pemilu 1999 karena simpati setelah penindasan era presiden Soeharto dan kemenangan SBY di Pemilu 2004 karena dianggap  diperlakukan kurang adil oleh presiden Megawati.

Tetapi Thaksin bukan pemimpin tanpa dosa. Kasus korupsi juga program “war of drugs” yang menyebabkan pelanggaran HAM yang serius karena extra-judicial-killing di perbatasan, juga perlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di bagian selatan Thailand yang mengorbankan begitu banyak warga sipil menjadi cacatan kelam yang belum tuntas hingga kini.

Bagaimanapun, kemenangan Thaksin berkali-kali adalah karena kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin. Program-program yang pro-rakyat miskin telah melambungkan citra dan wibawanya, seperti;  program kesehatan dengan biaya hanya Bath 30 (kira-kira Rp. 10.000,-) setiap orang bisa menikmati segala pelayanan kesehatan, obat-obatan termasuk operasi.

Program suntikan dana stimulasi ekonomi sebesar Bath 1.000.000,- (kira-kira 283 juta) untuk setiap desa. Dan juga program beasiswa dan pinjaman kepada petani dengan bunga yang sangat rendah adalah bukti nyata yang tidak dapat dibantah oleh politisi pesaingnya. Banyaknya kritik bahwa program bantuan jangka pendek ini tidak menyehatkan jangka panjang Thailand tidak berpengaruh pada rakyat miskin yang menerima keuntungan langsung.

Program yang betul-betul dilaksanakan oleh Thaksin ini hampir sama dengan program yang dilaksanakan Irwandi, antara lain; seperti JKA (Jaminan Kesehatan Aceh), Beasiswa untuk anak yatim, serta beasiswa ke luar negeri, program BKPG (Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong), dll. Diluar apakah Aceh secara keseluruhan menjadi lebih baik masih perlu diperdebatkan, seperti kenyataan bahwa selama Thaksin memimpin, menurut beberapa analisis ekonomi,  toh ekonomi Thailand tidak terlalu baik.

Apakah popularitas Irwandi begitu bagusnya sehingga menakutkan partai-partai? Demokrasi adalah panggung popularitas. Dengan jubah demokrasi, Thailand adalah milik Thaksin. Sistem calon pemilu melalui partai atau independent tidak akan merubah fakta itu. Memenangkan pemilu adalah strategi memenangkan hati pemilih suara. Kudeta, membubarkan partai, melarang berpolitik, menjadikan status tahanan, atau bahkan melarang jalur calon independent tidak akan memenangkan pemilu.

Partai Demokrat adalah partai tertua dan terbesar di Thailand. Tetapi sistem pemilu tanpa jalur calon independent terbukti tidak dapat membuat Demokrat menang dan mengalahkan pamor Thaksin.  
Tapi apa betul masyarakat Aceh hanya ingin memilih calon melalui partai? Apalagi dengan bombardir kasus korupsi di Partai Demokrat Indonesia belakangan ini, juga pada partai-partai lain sebelumnya yang tak kunjung tuntas.

Tersedianya jalur calon independent adalah sebuah kesempatan bagi Aceh untuk semakin tersedianya banyak pilihan tanpa campur-tangan negosisasi partai terutama dengan kesan partai selama ini sebagai media politisi untuk korupsi. Tetapi pertanyaan utamanya adalah: apa betul kita ingin menutup kesempatan demokrasi yang lebih luas bagi masa depan Aceh untuk kepentingan politik segelintar kelompok? Bisa-bisa pihak yang menutup kemungkinan itu dianggap anti-demokrasi dan peristiwa kekerasan yang terjadi belakangan ini adalah bagian dari “pemaksaan politik”.

Juga karena balajar dari Thailand, drama politik mereka juga mengorbankan tidak hanya ketidakstabilan politik, ekonomi juga nyawa. Aceh harus bisa lebih cerdas bersikap dan segera menjawab***

* Pemantau Pemilu Internasional dari ANFREL (Asian Network for Free Election) dan anggota INDEPTH (Institute for Democracy, Politics and Human Rights) Indonesia. loly.98@gmail.com

**Koordianator Misi dari ANFREL (Asian Network for Free Election) dan anggota INDEPTH (Institute for Democracy, Politics and Human Rights) Indonesia. satoeichal@gmail.com

Source : The Globe Journal

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Sederet Opsi Penentu Kemenangan Pilpres
Jajak Pendapat Litbang “Kompas” : Pemilih Muda Lebih Kritis Memandang Kinerja Parlemen
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik

Leave a Reply