Meskipun secara umum publik cukup mengapresiasi hasil kinerja pemerintah daerah mereka, banyak catatan yang membuat proses demokratisasi di daerah harus dikoreksi. Karut-marutnya penegakan hukum dan dinamika politik yang dimainkan elite telah membangun kegamangan publik.
Apresiasi itu terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang mencatat kecenderungan publik memberikan penilaian positif terhadap pembangunan dan pelaksanaan berbagai aspek di daerahnya. Tak terhindarkan bahwa bagian terbesar publik lebih banyak menengok kemampuan kepala daerah dalam membangun sarana infrastruktur ketimbang sarana yang bersifat soft competencies seperti aspek ketahanan budaya.
Dilihat dari latar belakang wilayah responden, cenderung kurang tampak perbedaan persepsi responden terhadap pembangunan di daerahnya. Paling tidak hal ini terlihat dari sikap 62,4 persen responden yang menyebutkan kinerja pemerintah daerah mereka secara umum dinilai baik di tengah berbagai kekurangan.
Pelayanan pendidikan dan kesehatan, misalnya, menjadi dua indikator yang paling disoroti publik. Hampir 60 persen responden menyebut pelaksanaan dua bidang ini di daerah cukup memuaskan, baik dalam penyediaan fasilitas maupun pelayanan, dibandingkan dengan bidang lainnya. Upaya sejumlah pemerintah daerah melalui program jaminan kesehatan bagi warga kurang mampu dan program sekolah dasar gratis boleh jadi memengaruhi penilaian responden pada dua bidang ini. Meskipun demikian, tidak dimungkiri sejumlah anomali pelayanan bidang kesehatan dan pendidikan, khususnya kepada warga miskin, masih terjadi di sejumlah daerah.
Kepuasan ini, mau tidak mau, juga berdampak pada penilaian responden kepada kinerja pemerintahan di daerah. Lebih dari separuh responden puas dengan kinerja pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi di mana mereka tinggal. Kepuasan terhadap kinerja gubernur tidak hanya diungkapkan responden pemilih gubernur itu di pilkada, tetapi juga disampaikan oleh responden yang tidak memilihnya. Dari kelompok responden yang puas, sebanyak 56,3 persen di antaranya adalah pemilih gubernur yang bersangkutan.
Terhadap peraturan daerah yang dikeluarkan juga terlihat responden di sejumlah besar daerah cenderung tidak merasa dirugikan dengan berbagai aturan daerah yang dikeluarkan. Meski demikian, bagi responden DKI Jakarta, justru lebih banyak bagian yang dirasa bahwa perda yang ada saat ini tidak banyak memberi manfaat.
Pecah kongsi
Potret bagaimana di tingkat lokal muncul sikap oposisi terhadap kepala daerah juga tecermin dari kinerja dan kiprah kepala daerah. Sikap oposan yang muncul ini bisa saja tidak lepas dari kerapnya kasus hukum ataupun politik menjerat kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hal kasus korupsi, misalnya, kepala daerah juga tidak lepas dari jerat kasus ini. Kompas mencatat, lebih dari separuh provinsi dipimpin kepala daerah bermasalah dengan hukum, terutama terkait dugaan korupsi (Kompas, 18 Januari 2011).
Belakangan, selain dugaan korupsi, hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah turut menimbulkan konflik politik, meskipun secara kasatmata tidak muncul di muka publik. Mundurnya Wakil Bupati Garut Dicky Chandra dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto adalah potret melemahnya tingkat konsolidasi pemimpin politik di pemerintahan daerah. Kasus ini diduga kuat akibat tidak harmonisnya hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Hasil riset Arif Afandi yang juga mantan Wakil Wali Kota Surabaya ini menyebutkan, tidak harmonisnya hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah akibat gaya kepemimpinan kepala daerah yang memusat kepada diri kepala daerah sehingga relasi dengan wakil kepala daerah cenderung hegemonik sekaligus subordinatif (Afandi, 2010).
Di mata publik, kasus ini tidak ubahnya persoalan kepentingan politik semata. Tak heran jika kemudian sikap publik cenderung tidak mempermasalahkan seorang kepala daerah mundur di tengah periode jabatannya.
Hal ini tidak lepas dari penilaian publik bahwa pimpinan pemerintahan daerah dari awal sudah tidak lepas dari ”kepentingan politik” alias tidak benar-benar solid. Hal ini juga tecermin dari hasil kebijakan publik yang ditelurkan. Lebih dari separuh responden menyebutkan, selama ini kebijakan kepala daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik mereka di tengah berbagai program pembangunan yang digalakkan.
Diakui atau tidak, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di daerah adalah sebuah apresiasi yang semestinya mampu menjadi investasi bagi pemerintah dalam membangun kepercayaan publik. Hal ini penting. Sebab, di tengah apresiasi ini, publik sebenarnya dihadapkan pada kegamangan, khususnya saat melihat kondisi umum penegakan hukum dan pertentangan elite di negeri ini.
Kondisi ini menghadapkan publik pada situasi yang dilematis. Di satu sisi relatif bisa merasakan upaya perbaikan dari pemerintah daerah, terutama untuk pelayanan yang langsung dirasakan masyarakat. Namun, di sisi yang lain, publik dihadapkan pada kegamangan situasi politik nasional yang belum menunjukkan arah positif. Padahal, kegamangan situasi nasional pasti berimbas pada situasi politik dan sosial di daerahnya. Apresiasi yang ada pun tertatih di tengah kegamangan.(LITBANG KOMPAS)
Source : Kompas.com