Kesepakatan damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah mengubur makna merdeka yang selama ini diperjuangkan para kombatan. Mereka beralih ke jalur politik, meraih makna lain dari kata merdeka dalam arti lepas dari batas-batas teritorial. Kini, mereka menguasi semua perangkat layaknya sebuah ‘negara’. Peta Aceh sedang dibuka, ke mana sesungguhnya arah yang hendak dituju?
Tidak ada hujan yang tak reda, begitu pula tak ada perang yang tak selesai. Kalimat ini, sering menjadi piasan manis menakar suksesnya perdamaian yang terjadi di Aceh. Orang-orang di kampung bersuka ria, jalanan kembali ramai, malam hari di jalur-jalur perdagangan kembali semarak. Denyut nadi Aceh telah hidup kembali setelah 30 tahun berdegub lemah hingga ke titik kritis.
Jalan yang ditempuh untuk harga mahal perdamaian di Aceh, tentu harus dibayar dengan kerelaan melepas semua kepentingan. GAM wajib menyerahkan senjata dan melebur kembali dengan masyarakat, TNI kembali ke barak mengikuti garis komando. Keputusan memilih jalan damai yang disepakati GAM, adalah satu ide kreatif yang sebelumnya dirasa tidak mungkin, dalam rentang panjang sejarah Aceh yang penuh pergolakan. GAM, telah mengubur cita-cita merdeka dalam arti memisahkan diri dari Indonesia. Tetapi, satu wujud perjuangan era baru mulai mereka gulirkan dalam ikatan NKRI. Sekarang mereka mendadak menjadi anggota dewan, beberapa di antaranya mendadak jadi bupati, wakil bupati, dan posisi lingkaran atas, yaitu menjadi Gubernur Aceh.
Tetapi, apakah peta politik yang sedang dimainkan saat ini sukses menepi ke tujuan cita-cita? Sepertinya, wajib membaca kembali kilas balik apa yang sudah diucapkan mantan juru runding GAM, T Kamaruzzaman. Menurutnya, akan ada beragam kepentingan dalam sebuah pergerakan semisal GAM. Dalam sebuah pidato di Konferensi Internasionl Kawasan Aceh dan Hindia, tahun 2007 lalu, T Kamaruzzaman mengatakan, proses transformasi dari sebuah gerakan perang ke wilayah politik tidak selamanya mulus. Akan banyak hal baru yang terjadi, termasuk peran GAM dalam kancah politik. “Bisa saja mereka sukses di jalur ini, juga sangat terbuka peluang terjerembab karena ulahnya sendiri,” katanya. Meski begitu, ada harapan besar yang dinanti dari naiknya para eks- kombatan ke kursi legislatif di Provinsi Aceh maupun beberapa kabupaten kota lainnya. Harapan itu, salah satunya datang dari
mantan pangilma GAM wilayah Nisam Antara, Achmad Blang. Alumnus pelatihan Tripoli, Libya, tahun 1987 itu berharap setelah menguasai parlemen dan eksekutif di Aceh maupun di Kabupaten Aceh Utara, mereka yang duduk di dewan saat ini bisa berjuang untuk kesejahteraan rakyat. “Dulu, kita katakan bahwa pemerintah tidak betul. Salah ini, salah itu. Sekarang, dewan harus buktikan bahwa mereka berpihak pada rakyat. Mengalokasikan anggaran lebih besar pada sektor kepentingan rakyat, jangan lagi sektor aparatur yang lebih banyak. Ini tidak bagus. Jika ini pun dilakukan, maka rakyat tidak akan percaya lagi pada gerakan ini,” kata Achmad Blang.
Selain itu, dia meminta agar dewan sigap pada persoalan masyarakat. “Jangan bilang kalau saya baru duduk di dewan ini. Perlu belajar dulu. Jangan katakan itu. Jika mereka tidak mengerti, datang pada saya, biar saya ajari lagi. Terpenting niatnya ada tidak untuk membangun kesejahteraan rakyat,” kata Achmad Blang.
Dikatakannya, dulu kita maknai perjuangan untuk merdeka dari Republik Indonesia. Sekarang, harus memaknai merdeka dalam arti merdeka dari kemiskinan, merdeka dari keterisoliran seperti kampung ini, merdeka dari buta huruf. Di tataran bawah, sebagian masyarakat bahkan sudah kehilangan arah. Tidak tahu harus berbuat apa, khususnya untuk menghidupkan asap dapur. Perhatian dari orang-orang yang diharapkan ternyata tidak ada sama sekali. Cuma, kalaulah kemerdekaan berupa terlepasnya Aceh dari batas-batas teritorial dengan NKRI sudah dikubur dalam-dalam, haruskah kemerdekaan dalam aspek yang lain pun kini sudah dipasung? Waktu yang akan menjawabnya. (arif ramdan)
Source : Tabloid KONTRAS Nomor : 513 | Tahun XI 29 Oktober – 4 November 2009