Jakarta – PKS sungguh-sungguh lincah dalam bermanuver. Berbagai penjajakan dengan parpol papan atas terus dilakukan PKS. Setelah bermesraan dengan Partai Golkar, PKS mencoba manisnya berdekatan dengan Partai Demokrat (PD). Dalam politik langkah PKS itu sah-sah saja dilakukan. Tetapi dalam etika politik, langkah partai dakwah itu dipertanyakan.
“Saya kira langkah PKS yang demikian itu akibat krisis etika politik. Sebabnya, PKS yang awalnya partai kader sedang bertransformasi menjadi partai massa, tetapi terjebak oleh pragmatisme politik,” kata pengamat politik UGM Arie Sudjito kepada detikom, Rabu (11/3/2009).
Menurut Arie, sikap pragmatis PKS ini didorong oleh kenyamanan PKS yang berhasil merebut beberapa kursi bupati/walikota, wakil bupati/walikota ataupun kursi gubernur dan wakil gubernur. Hal inilah yang menuntut PKS ingin bermain-main lebih dari sekadar posisi menteri dalam Pilpres 2009 dengan menjajaki menjadi capres atau cawapres.
“Yang terjadi sekarang muncul pragmatisme baru. PKS bukan partai yang ideologis lagi, PKS terabsorsi pasar politik sehingga memilih untuk memperebutkan kepentingan politik pragmatis. Buktinya terlihat dalam pilkada-pilkada,” paparnya.
Kandidat doktor ilmu politik ini menilai, akibat perubahan arah politik PKS inilah, kelompok yang selama ini memang berbeda di tubuh PKS menjadi faksi-faksi yang kuat. Faksi-faksi ini muncul dari kelompok yang masih menginginkan PKS konsisten sebagai partai kader dan kelompok yang menginginkan PKS lebih inklusif dan memenuhi pasar politik.
“Memang harus diakui, dalam tubuh PKS ada faksi. Faksi itu akibat kegagalan dari transformasi PKS sebagai partai kader kepada partai massa. Jadi tidak masuk akal kalau dibilang elit PKS membantah perbedaan itu didesain. Aslinya ada faksi.” pungkas Arie.
Menurut Arie, faksi yang bertarung di PKS adalah kelompok yang masih mengunakan jalur syariah dan kelompok yang mulai moderat. “Keduanya punya agenda masing-masing dalam menghadapi pilpres 2009,” jawab penulis disertasi PKI, Golkar dan PKS ini. ( yid / iy )
Source : Detik.com, 10 Maret 2009
setiap partai politik seharusnya memegang etika tanggung jawab sebagaimana dijelaskan Max Weber, etika tersebut adalah kalkulasi biaya-biaya manusiawi( human costs) dalam hal fisik maupun makna
pertimbangan akan biaya-biaya manusiawi ini seharusnya tidak dikalahkan oleh pragmatisme…
kepentingan rakyat harus dikedepankan daripada kepentingan praktis!
saya kira yang lebih mengetahui rumah tangga PKS ya pengurus PKSnya sendiri, orang lain cuma mengamat-amati namanya juga pengamat. tapi yang jelas manufer PKS saya kira lebih baik dari pada partai2 lain. kita lihat keputusan2 nya adalah hasil produck syuro yang demokratis dengan argumen2 yang valid. bukan keputusan keinginan pimpinan partai.dan memang ketika kadernya ada yang duduk di kabinet seperti Anton Apriantono banyak menolong petani dg program PUAP(program usaha agronomi perdesaan)nya yang setiap gab kelompok tani dapat bantuan 100juta, mungkit pengamat untuk hal ini luput dari pengamatan. kemudian adyaksa dault juga bisa memajukan olahraga ditingkat internasional dengan peningkatan pula kesejahteraan atlit2 nasional, coba tanyakan kepada mereka kalo ga percaya…jadi yang penting pro rakyat, lebih cepat lebih baik dan lanjutkan!