Home > Education > Political Marketing > Bangsa Kehilangan Visi Maju

Jakarta, Kompas – Tiga belas tahun setelah Gerakan Reformasi 1998 bangsa ini sekarang justru kehilangan visi ke depan. Akibatnya, bangsa ini hanya berjalan di tempat, dirundung berbagai masalah, dan sulit mengembangkan diri pada masa mendatang.

Demikian diungkapkan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bahtiar Effendy dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris, secara terpisah di Jakarta, Senin (23/5). Keduanya mengakui, reformasi berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru, mendorong demokrasi lewat pemilu langsung untuk memilih eksekutif dan legislatif, mengamandemen UUD 1945, serta membuat undang-undang politik baru. Namun, panggung politik lalu dikuasai elite yang pragmatis dan bekerja untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Saat ini masyarakat tidak tahu pasti, mau dibawa ke arah mana bangsa ini ke depan. Bahkan, untuk jangka menengah, katakanlah 10 tahun lagi, juga tidak diketahui ke mana tujuan kita. Setiap Presiden dari empat presiden sejak Reformasi 1998 sampai sekarang seperti sibuk dengan agendanya sendiri.

Bahtiar menghargai pencapaian demokrasi prosedural yang didorong reformasi. Selain bisa langsung memilih pejabat eksekutif dan legislatif, rakyat kini bebas berpendapat dan berekspresi. Semua tak mungkin diperoleh pada rezim Orde Baru.

Namun, substansi demokrasi masih belum terpenuhi, terutama kemakmuran ekonomi masyarakat, stabilitas politik, dan keamanan. Akibatnya, masyarakat merasakan kesulitan hidup sehari-hari. Bangsa ini sulit tumbuh besar karena hanya berjalan di tempat dengan berbagai persoalan yang merundungnya.

”Lebih parah lagi, kedaulatan bangsa ini menjadi rentan. Diterpa isu Negara Islam Indonesia saja, kita langsung goyah,” ujar Bahtiar.

Dia pun mengajak semua elemen bangsa untuk memikirkan kembali proses demokrasi di negeri ini. Sistem pemerintahan perlu ditata ulang dengan penekanan pada pencapaian substansi demokrasi. Itu karena demokrasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.

Syamsuddin menilai bangsa ini kehilangan visi jangka panjang karena panggung politik dikuasai petualang atau ”bandit” politik. Disebut ”bandit” karena mereka mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya, tanpa sungguh-sungguh peduli nasib bangsa ke depan. Mereka hanya berpikir jangka pendek untuk memenangi pemilu lima tahunan demi merebut jabatan, kekuasaan, dan uang.

”Kita tak mendengar, bagaimana visi mereka tentang pengembangan bangsa ini 5 atau 10 tahun mendatang. Apa visinya soal ekonomi, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, hukum, atau budaya? Tidak ada desain besar tentang semua hal itu secara jelas,” tutur Syamsuddin.

Agar bangsa ini tak terus kehilangan arah, dia mengajak semua elemen civil society (masyarakat madani) untuk menawarkan visi yang mencerahkan. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa dan keagamaan, media, serta kalangan akademisi untuk mengonsolidasikan diri dan bersama-sama memikirkan yang sebaiknya dilakukan bersama. Mereka mendorong perubahan dari luar.

”Ketika lembaga formal pemerintahan mandek dan menjadi pragmatis, masyarakat sipil perlu menekan dari luar. Lebih nyata lagi, mari kita pilih pemimpin yang baik pada pemilu mendatang,” katanya. (IAM)

Source : Kompas.com

Posted with WordPress for BlackBerry.

You may also like
Politik Uang Kian Membudaya
Menimbang Partai Agama
Memotong ‘Goblokisasi’
Gubernur Sampaikan Visi-Misinya ke SKPA

Leave a Reply