KOMPAS.com – Dalam wawancara eksklusif dengan Reuters, 21 September 2009, berjudul lndonesian Tycoon Eyes Presidency in 2014, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengungkapkan tekad mengikuti Pemilu Presiden 2014. Saat itu Ical sudah optimistis mampu merebut kursi ketua umum Golkar mengalahkan rivalnya, Surya Paloh dan Tommy Soeharto. Namun, ia menegaskan pula tidak akan bergabung sebagai menteri kabinet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Ical melanjutkan tradisi yang diwarisi Jusuf Kalla, ketua umum pertama partai berlambang beringin itu yang mencalonkan diri sebagai presiden. Semoga lima tahun yang akan datang tak ada lagi kultur ”gergaji” di dalam Golkar. Entah mengapa ada saja faksi yang tak suka tokohnya sendiri seperti Jusuf Kalla—juga Wiranto tahun 2004—mencalonkan diri sebagai presiden.
Salah satu tugas Ical adalah membasmi faksionalisasi yang tidak sehat ini, antara lain dengan merekrut tokoh-tokoh muda.
Politik uang pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar akan menjadi tantangan terbesar Golkar dalam reposisi di tingkat akar rumput selama lima tahun ke depan. Apalagi ada kesan Ical sebagai ketua umum lebih menitikberatkan pembangunan infrastruktur, di antaranya dengan membangun kantor baru senilai Rp 1 triliun. Itu sebabnya sikap Tommy Soeharto yang menentang politik uang mendapat simpati dari berbagai kalangan.
Politik harus tetap menempatkan prinsip keutamaan/kebajikan (virtues). Uang bukanlah segala-galanya.
Lagi pula kekalahan Golkar dan Jusuf Kalla bukan gambaran sesungguhnya karena pelaksanaan Pemilu/Pilpres 2009 amburadul gara-gara daftar pemilih tetap. Pendeknya, Golkar di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla tak dapat dikatakan gagal.
Apakah Ical bertipe solidarity maker, sosok yang dibutuhkan Golkar saat ini? Jawabannya, ia memiliki waktu yang cukup panjang untuk membangun karisma sebagai solidarity maker. Ia setidaknya mirip dengan Jusuf Kalla: politisi pragmatis berlatar belakang saudagar yang tak perlu berlelah-lelah memahami nuansa politik yang canggih dan njelimet.
Jangan lupa, Ical adalah salah satu dari segelintir orang yang sempat ditawari jabatan calon wakil presiden oleh calon presiden SBY dalam Pilpres 2009. Bahkan, tawaran untuk Ical datang sebelum Boediono. Sekali lagi, kemenangan Ical di Munas Golkar pasti memuluskan ambisinya memimpin bangsa dan negara ini kelak.
Kemenangan Ical semakin memperkuat legitimasi pemerintahan SBY-Boediono karena sebagian tokoh Golkar akan tetap berada di kabinet baru. Di parlemen pun Golkar dipastikan akan memilih tak beroposisi terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Memang tak tertutup kemungkinan Golkar bersikap kritis, tetapi kans itu kecil sekali.
Seperti halnya Golkar, partai besar lainnya, PDI-P, pun telah memperkuat legitimasi SBY-Boediono ketika Taufik Kiemas dan Pramono Anung masing-masing menduduki jabatan Ketua MPR dan Wakil Ketua DPR. Tak mustahil pula sejumlah pengurus teras DPP PDI-P bakal menerima tawaran dari SBY-Boediono menjadi menteri.
Alhasil, koalisi yang pragmatis dengan mengatasnamakan nasionalisme oleh Partai Demokrat (PD)-Golkar-PDI-P mampu menjamin stabilitas politik dan keamanan lima tahun ke depan.
Sekali lagi, budaya politik kita tak mengenal oposisi konfrontatif—kecuali pada masa demokrasi parlementer. Yang ideal adalah kerja sama atau koalisi di parlementer. Koalisi ini hendaknya telah menjunjung prinsip agree to disagree jika memang PD tak menemukan kesesuaian dengan PDI-P atau Golkar pada, misalnya, isu pertahanan nasional atau luar negeri.
Koalisi di eksekutif kurang menarik karena sebesar apa pun prestasi yang dicatat menteri dari partai non-PD akan tetap dikukuhkan sebagai prestasi SBY-Boediono. Perlu dicamkan, menteri adalah pembantu presiden. Robert Gates dan William Cohen direkrut masing-masing oleh Presiden Barack Obama dan Bill Clinton bukan karena ”orang Republik”, tetapi karena keahlian mereka.
Akan menarik diamati apa kira-kira sikap dua partai baru yang saat Pemilu/Pilpres 2009 bersekutu dengan PDI-P dan Golkar, yakni Gerindra dan Hanura, menghadapi koalisi PD-Golkar-PDI-P? Jangan lupa, kedua partai nasionalis ini pendatang baru dan mencatat prestasi yang cukup fenomenal pada Pemilu 2009.
Terbentuknya koalisi PD-Golkar-PDI-P, plus partai-partai menengah/kecil pendukung SBY-Boediono, otomatis melemahkan kontrol terhadap kekuasaan. Ya sudahlah, masih ada berbagai kalangan masyarakat madani yang dapat diandalkan untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Konsolidasi demokrasi masih dihadang dua tantangan besar: pelemahan KPK oleh eksekutif dan solusi Bank Century. Jika koalisi kurang tuntas menjawab kedua tantangan besar yang telanjur kasatmata ini, muncul rasa tidak puas yang tak mustahil menggerakkan parlemen jalanan.
Demokrasi tak bisa dilawan, Presiden Soekarno dan Soeharto akhirnya menyerah. Demokrasi tak selamanya bundar, kadang kala ia lonjong. Dan, tak selamanya banteng betah berlindung di bawah beringin berdaun biru. Lho?
Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
Source : Kompas.com