Antiklimaks! Begitu komentar spontan Ikrar Nusa Bhakti sambil berjalan-jalan di sekitar Pantai Kuta, Bali, Kamis (8/4) petang. Ia mengomentari nama-nama pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang baru diumumkan Megawati Soekarnoputri di Sanur.
Ikrar, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, hadir sejak awal mengikuti Kongres III PDI-P. Bersama Ikrar, hadir pula peneliti LIPI lainnya, Jaleswari Pramodhawardani, juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Andi Widjajanto dan Makmur Keliat.
Dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, selain Cornelis Lay yang memang banyak terlibat di PDI-P, ada AA GN Ari Dwipayana serta ekonom Sri Adiningsih. Yudi Latif, Direktur Eksekutif Reform Institute, hadir sebagai pembicara seminar. Selain menjadi pembicara seminar yang diadakan PDI-P, mereka juga mengamati langsung berjalannya demokrasi ala PDI-P itu.
Kehadiran sejumlah pengamat itu bisa menjadi petunjuk bahwa Kongres III PDI-P tersebut memang penting. Mereka umumnya memuji pidato politik Megawati Soekarnoputri yang disiarkan sejumlah televisi swasta. Berbagai rekomendasi kongres juga menjanjikan partai ideologis ini segera bangkit, seperti janji Megawati dalam pidatonya.
Kongres III ini memang menarik diteliti oleh pengamat karena kongres ini adalah kongres transisi. Kalau dihitung dari partai ini bernama PDI-P hasil Kongres PDI di Grand Bali Beach, Sanur, Bali, 8-10 Oktober 1998, Megawati sudah memimpin PDI-P selama 12 tahun. Namun, kalau ditarik ke belakang sejak ia memimpin PDI hasil Musyawarah Nasional 22 Desember 1993, Megawati sudah 17 tahun memimpin partai nasionalis sekuler ini.
Megawati bukannya tak menyadari usianya yang tidak muda lagi itu. Suasana haru biru yang dipenuhi isak tangis menggema di ruang kongres, Kamis sore, saat Megawati mengakhiri pidato penutupannya. ”Saya tidak tahu akan diberi hidup oleh Tuhan sampai umur berapa. Tetapi, permohonanku kepada-Nya ialah supaya hidupku itu hidup yang manfaat. Manfaat bagi Tanah Air dan bangsa, manfaat bagi sesama manusia,” ujar Megawati yang lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947, itu.
Oleh karena itu, 26 orang yang duduk di DPP PDI-P mendampingi Megawati menjadi potret bagaimana partai ini menjalani proses regenerasinya. DPP ini juga menjadi potret bagaimana PDI-P melaksanakan pidato politik Megawati dan keputusan-keputusan kongres.
Namun, sejumlah pengamat menyayangkan nama-nama pengurus DPP itu walaupun terdiri dari kader muda potensial. Beban langsung terasa berat menuju jalan perubahan dan kebangkitan, seperti disuarakan Megawati dalam pidato politiknya.
Dari trah Soekarno, nama Puan Maharani, yang menjadi Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga, sebetulnya menjadi sentral karena bidang yang ditanganinya adalah inti dari kegiatan partai. ”Posisi Puan terlalu penting,” ujar Yudi Latif.
Yudi Latif juga menilai, Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo menjadi simpul terlemah dari DPP PDI-P. Hal itu karena Tjahjo pernah diminta menjadi saksi dalam kasus cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom tahun 2004. Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Emir Moeis juga pernah menjadi saksi pada kasus yang sama. ”Bisa-bisa PDI-P jadi tawanan pemerintahan,” kata Yudi.
Rangkap jabatan
Mayoritas anggota DPP tersebut adalah anggota DPR. Hal itu dapat dipahami karena DPR adalah ajang aktualisasi kader partai sebagai partai oposisi. Namun, ada tiga kepala daerah yang merangkap pengurus menimbulkan pertanyaan di kalangan internal partai, apakah mereka bisa berkonsentrasi penuh mengurus partai saat mereka harus melayani rakyat di daerahnya.
Mereka adalah Bupati Blitar Djarot Saiful Hidayat yang menjadi Ketua Bidang Organisasi; Bupati Bantul Idham Samawi yang menjadi Ketua Bidang Keanggotaan, Kaderisasi, dan Perekrutan; serta Wakil Bupati Tangerang Rano Karno yang menjadi Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi. Namun, jabatan Djarot dan Idham berakhir tahun ini.
Megawati sudah mengantisipasi kemungkinan munculnya kritik. Karena itu, sebelum membacakan nama-nama, ia sudah wanti-wanti. ”Banyak kader yang bagus-bagus, tetapi tempat terbatas,” ujar Megawati.
Megawati menyusun DPP tersebut sebagai formatur tunggal sehingga tidak banyak yang tahu bagaimana ia menyusun dan siapa yang diajak berkonsultasi untuk menyusun. Bahkan, tiga pengurus yang disebutkan namanya tak hadir di kongres karena memang tidak dihubungi terlebih dahulu oleh Megawati, yaitu Rano Karno, Wiryanti Sukamdani, dan Djarot Saiful Hidayat.
”Hanya Tuhan dan Mbak Mega yang tahu,” kata Taufiq Kiemas, suami Megawati, ketika ditanya wartawan soal proses penyusunan anggota DPP tersebut. Kalangan internal PDI-P umumnya enggan mengkritik langsung ketua umumnya itu. Yang berani mengkritik Megawati adalah Guruh Soekarnoputra, adiknya sendiri, serta pengamat eksternal.
Namun, kalangan internal itu percaya Megawati telah menyusun ”kabinet”-nya dengan baik untuk mampu melewati jalan ideologis sebagai partai oposisi menjelang Pemilu 2014.
Megawati berpesan kepada kader-kadernya, ”Jadilah DPP partai yang bekerja dengan tuntunan ideologis yang jelas. Jangan pernah mengkhianati takdirmu sebagai kader Pancasilais.” Ia juga mengingatkan pesan Bung Karno, ”Jangan setengah-setengah! Siapa tidak mau hancur lebur, harus berjuang mati-matian!”
Jika pesan ini benar-benar dilaksanakan, beban berat yang dipikul DPP PDI-P periode 2010-2015 akan terasa ringan untuk mengantar partai ini menuju kebangkitan.
Oleh : dewi indriastuti dan Subur Tjahjono
Source : Kompas.com, 10 April 2010