Hingga akhir kampanye, hanya ada tiga partai lokal yang terlihat memanfaatkan kesempatan rapat umum dan mobilisasi massa: Partai Aceh (PA), Partai SIRA, dan Partai Rakyat Aceh (PRA).
Sayang, dua partai lokal terbesar (PA dan SIRA) terlibat perseteruan negatif. PA dituduh menghalang-halangi kampanye SIRA. Kejadian terakhir adalah penghadangan massa SIRA oleh aktivis PA yang akan menghadiri kampanye di Lhokseumawe. Wakil Gubernur sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai SIRA Muhammad Nazar menyatakan, ada kelompok yang sedang mengkhianati perdamaian Aceh; statement yang sebenarnya ditujukan kepada kelompok yang terus mengintimidasi SIRA (Kompas, 29/3).
Dialektika negatif
Fenomena kekuatan parlok yang lebih mampu memanfaatkan momentum kampanye dibandingkan dengan partai nasional (parnas) adalah sebuah kejutan politik tersendiri. Memang sejak awal kelahiran parlok dianggap menjadi kompetitor serius bagi parnas. Tetapi dominasi kuat momen pertama politiknya tidak diperkiraan, bahkan oleh pengamat politik. Ini membuktikan, parlok akan meraih hasil positif pada pemilu tahun ini.
Berkaca dari dua pemilu terakhir (1999 dan 2004), Aceh sebenarnya memiliki basis pemilih kuat untuk PAN, PPP, Golkar, dan PKS. Namun, pendulum politik bergeser sejak Pilkada 2006. Kemenangan Irwandi-Nazar sebesar 38,2 persen, jauh dari jumlah total suara dua pasangan di bawahnya yang ikut dimotori PPP dan Golkar. Ini mengisyaratkan, ”kelompok luar” (outsider) sedang mengambil alih politik.
Sejak saat itu wajah politik Aceh mengarah pada penguatan basis lokal. Konstituen yang paling berpengaruh berasal dari kekuatan dwitunggal GAM dan SIRA. Kedua kelompok ini lalu membentuk partai lokal PA dan Partai SIRA. Sisanya, tidak memiliki basis konstituen ideologis cukup kuat. PRA hanya akan menjadi fenomena politik anak muda perkotaan, simbol antikemapanan, dan mungkin menggantikan politik urban PKS. Dari enam parlok, secara nyata hanya akan ada dua atau maksimal tiga partai yang berperan dalam percaturan legislatif ke depan.
Namun, ketegangan sebenarnya berporos pada PA. Publikasi International Crisis Group (ICG) di Brussel 23 Maret lalu menyebutkan ada ketidakpercayaan serius, terutama dari kalangan militer, atas keberadaan PA.
Seperti diutarakan Sidney Jones, staf senior program Asia ICG, sebagian kalangan TNI meyakini PA masih komitmen pada wacana kemerdekaan. Kemenangan partai ini akan menjadi ancaman serius wacana NKRI. Sebaliknya, sebagian besar aktivis PA meyakini TNI sampai hari ini tidak rela dengan keberadaan partai ini. Beberapa teror dan pembunuhan yang menimpa aktivis partai ini diyakini berhubungan dengan militer (Indonesia: Deep Trust in Aceh as Election Approach, 23/3/2009).
Kematian empat aktivis PA dalam satu bulan terakhir membuat Gubernur Irwandi berang dan meminta dunia internasional memantau pemilu di Aceh.
Penyelesaian transisi
Kecurigaan pada kedua kelompok ini bisa jadi terlalu berlebihan. Instabilitas politik menjelang pemilu adalah buah jejaring transisi dari konflik ke demokrasi. Hal itu diakibatkan belum terpahaminya perubahan orde politik baru Aceh pasca-Kesepakatan Helsinki.
Sejak enam parlok disahkan mengikuti Pemilu 2009 di Aceh, wacana politik lama berhenti dan etika demokrasi baru berjalan. Keberadaan parlok adalah dialektika positif demokrasi Aceh yang harus diterima sebagai salah satu solusi penguatan rekonstruksi dan perdamaian.
Begitu pula keberadaan TNI sebagai aset bangsa tidak terbantah. Yang perlu dilakukan adalah mengubah paradigma lama militer saat melihat dinamika politik baru bahwa ia bukan ancaman stabilitas nasional, tetapi tantangan demokrasi.
Perseteruan antarparlok lokal juga ironi demokrasi. Kesepakatan Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh harus menjadi berkah bagi semua elemen politik lokal. Tak ada partai yang boleh mengklaim paling sah menjadi jantung hati rakyat Aceh, kecuali pemilu yang adil, damai, jujur, dan merdeka. Kemenangan partai mana pun adalah kehendak rakyat yang patut dihormati.
Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Source : Kompas Online