Kekuatan politik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tampak memasuki masa-masa rawan yang tak pernah terprediksi sebelumnya. Selain beberapa aspek kebebasan dan keberhasilan makro, citra pemerintahan praktis kini lebih banyak menyandarkan pada ”benteng terakhir”, yakni figur SBY.
Persoalan ekonomi, politik, hukum, dan sosial yang bertumpuk-tumpuk dan terekspos tanpa batas di media sepertinya membuat publik gemas. Dalam 21 bulan usia pemerintahan SBY jilid II, langkah nyata pemerintahan tampak banyak terantuk berbagai kemelut politik. Pengusutan kasus korupsi yang mandek, pembenahan kinerja birokrasi, sampai soal melonjaknya subsidi BBM seakan menegaskan betapa tidak ada skenario besar atas berbagai persoalan negeri ini.
Tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah merosot drastis hingga menyentuh level terendah sepanjang pemerintahan SBY, setidaknya diukur dari indikator apresiasi publik terhadap citra pemerintahan SBY. Survei opini publik yang mengevaluasi kinerja pemerintahan menunjukkan penurunan citra pemerintahan SBY yang merosot dalam satu tahun terakhir, dari 63 persen pada Juli 2010 menjadi 36,5 persen pada Juli 2011. Inilah level terendah citra pemerintahan SBY sepanjang dua periode pemerintahan. Citra positif pemerintahan SBY pernah menyentuh posisi 80 persen pada akhir periode pemerintahan jilid I tahun 2009.
Merosotnya citra pemerintahan SBY tampak seiring dengan merosotnya kepuasan publik terhadap kepemimpinan SBY. Presiden dianggap kurang cakap mengelola dan mendorong kinerja kabinet yang memang tampak tidak banyak berkiprah sejak periode awal hingga saat ini. Selain minim prestasi, kabinet minim terobosan yang dapat mengurai persoalan pembangunan. Tiga dari setiap 10 responden mengaku tidak puas dengan langkah SBY memimpin kabinet. Secara umum, aspek kepemimpinan SBY hanya mendapatkan apresiasi positif 31 persen atau merosot dari sekitar 40 persen pada Januari 2011.
Masing-masing aspek pemerintahan sepertinya berjalan tanpa haluan perencanaan yang tegas dan jelas. Dari jajak pendapat ini, empat bidang yang dievaluasi—ekonomi, hukum, politik keamanan, kesejahteraan sosial—tidak satu pun mendapatkan penilaian optimal. Hanya sekitar 30 persen pada masing-masing bidang. Artinya, secara keseluruhan, penilaian ketidakpuasan terhadap kinerja kabinet secara umum disuarakan oleh 70 persen responden.
Ibarat mengalami arus balik, apresiasi publik terhadap pemerintahan SBY terus merosot memasuki tahun 2011. Berdasarkan laporan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), kurang dari 50 persen instruksi Presiden selama 2011 yang dijalankan. Sejumlah instruksi yang mandek antara lain terkait penegakan hukum, seperti pengusutan kasus Gayus HP Tambunan (5/1) dan 12 instruksi mengenai pemberantasan praktik mafia pajak (22/2). Padahal, instruksi itu bukan hanya sebatas lisan, melainkan sudah dituangkan ke dalam produk hukum instruksi presiden.
Namun, buruknya penilaian terhadap kabinet tidak serta-merta membuat publik menghendaki pergantian menteri. Publik bahkan tampak terbelah, masing-masing bagian sebanyak 42 persen dalam menyikapi perlunya dilakukan reshuffle kabinet. Hal itu boleh jadi terkait pesimisme publik terhadap jaminan perbaikan kondisi kalaupun perubahan kabinet benar-benar terjadi. Pengalaman dari periode I pemerintahan SBY menunjukkan, tak ada perubahan signifikan setelah reshuffle dilakukan. Yang jelas, lebih dari tiga perempat responden (86,4 persen) menilai bahwa pemerintahan SBY saat ini belum bebas KKN, program utama yang dijanjikan Presiden.
Hukum mandek
Goyahnya pilar hukum merupakan persoalan yang paling krusial dalam pemerintahan SBY saat ini. Hasil survei evaluasi pemerintahan menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan publik, terutama terhadap kinerja aparat dan lembaga bidang hukum. Hanya satu dari setiap empat responden yang menyatakan puas dengan kinerja penegakan hukum. Dari sejumlah aspek hukum yang dievaluasi, penanganan kasus KKN adalah yang paling keteter. Aspek ini hanya diapresiasi 15 persen responden.
Karut-marut hukum semakin ruwet dengan terabaikannya sejumlah kasus besar, mulai kejahatan perbankan Bank Century, mafia pajak dan peradilan, hingga korupsi yang menjerat sejumlah kepala daerah. Minimnya prestasi bidang penegakan hukum patut dicermati mengingat bidang ini memiliki perangkat kelembagaan yang berlebih. Selain struktural, ranah hukum juga ditangani sembilan lembaga nonstruktural. Sejumlah lembaga di antaranya memiliki peran yang terkesan tumpang tindih, seperti Komisi Kepolisian Nasional dengan Polri, Komisi Hukum Nasional dengan Kementerian Hukum dan HAM, serta Komisi Kejaksaan dengan lembaga kejaksaan. Untunglah, wajah hukum terselamatkan dengan kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lumayan bergigi. Meskipun demikian, lembaga ini kini tengah ditantang kasus hukum berselimutkan nuansa politik, yakni kasus Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti.
Kinerja bidang ekonomi juga banyak disorot. Di satu sisi pemerintah dinilai berhasil mendongkrak indikator perekonomian makro, antara lain terlihat dari kebijakan BI mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada posisi 6,75 persen pada Juli 2011. Pasar menanggapi positif keputusan BI karena diyakini memberikan sentimen positif bagi perbankan dan sektor riil. Inflasi tahunan (year on year) juga stabil di bawah 6 persen.
Namun, di sisi lain, keberhasilan kebijakan ekonomi makro belum tecermin dalam kondisi riil perekonomian masyarakat. Ketahanan pangan masih lemah, bahkan menjurus rawan untuk sejumlah komoditas pokok. Pemerintah dianggap belum mampu menjamin pengendalian harga kebutuhan pokok. Gangguan produksi dan keterlambatan pasokan pangan melambungkan harga sejumlah bahan makanan. Menjelang puasa Ramadhan pada Agustus mendatang, harga bahan pokok dikhawatirkan makin melambung.
Ironisnya, kebijakan sektor riil pun terkesan banyak yang salah urus. Bahkan, industri lokal yang mendasar tak beroleh dukungan kebijakan memadai, seperti halnya industri gula dan garam. Secara umum, kesejahteraan sosial relatif tidak bergerak, yakni rata-rata hanya diapresiasi sekitar sepertiga bagian responden.
Figur harapan
Dari sisi positif, pemerintahan SBY diakui membawa perubahan positif dalam budaya politik yang bebas dan terbuka. Seperti catatan triwulanan sebelumnya, mayoritas responden mengapresiasi sikap pemerintah yang mendorong kebebasan pers dan berpendapat, termasuk dalam hal unjuk rasa. Pemerintah juga relatif diapresiasi dalam menjamin kebebasan beribadah. Pemerintah juga dinilai serius dalam upaya memutus mata rantai radikalisme dengan menggulung jaringan terorisme. Sejumlah aspek kehidupan berbangsa ini mendapatkan apresiasi positif dari sekitar 70 persen responden.
Namun, sikap kelembutan pemerintahan SBY bukannya tidak mencemaskan sejumlah kalangan. Terkait independensi dan netralitas politik luar negeri, diplomasi pemerintahan SBY dinilai tidak tegas. Harga diri bangsa bahkan sempat terusik saat pemerintah kecolongan kasus Ruyati, TKI yang dihukum pancung di Arab Saudi pada Juni lalu. Kasus ini ibarat gunung es persoalan pengiriman TKI. Di belakang Ruyati, sedikitnya 27 TKI kini diancam hukuman mati di negara sama dengan berbagai dakwaan. Kasus ini tampak memengaruhi penilaian responden terhadap diplomasi pemerintah, yang hanya diapresiasi 38 persen responden pada Juli 2011 dari semula 58 persen pada tahun lalu.
Satu hal yang tampaknya masih mampu mengangkat spirit pemerintahan ini tampaknya adalah karakter figur SBY. Meskipun kekecewaan memuncak, publik tak pernah membabat habis harapan dan keyakinan terhadap SBY. Terlepas buruknya penilaian terhadap berjalannya pemerintahan, kepercayaan bahwa SBY merupakan sosok paling layak memimpin bangsa saat ini masih tampak kuat. Sebanyak 68,6 persen responden menilai tak perlu Presiden SBY diganti saat ini, bahkan 62,6 persen meyakini Presiden akan mampu bekerja lebih baik ke depan. Tinggallah kini kemampuan SBY mengaktualisasikan modal sosial menjadi gerakan mengangkat harkat sosial masyarakat negeri ini. (Litbang Kompas)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.