Lintasan sejarah menguak, pendanaan partai politik sudah menjadi persoalan parpol sejak masa pendirian republik ini. Herbert Feith, yang mengamati politik Indonesia sejak pascakemerdekaan, mengungkapkan, menjelang Pemilu 1955 partai-partai mulai mengubah orientasi politik, dari yang semula memperjuangkan kelangsungan republik pada periode 1945-1949, menjadi pertarungan kekuasaan antarpartai pada periode 1950-1954. Bisa jadi, inilah awal dana partai menjadi faktor penentu. Pada era pertarungan antarparpol dengan me mobilisasi massa besar-besaran, jelas menuntut biaya politik tidak sedikit.
Saat itu, hanya sedikit parpol—Masyumi, PNI, dan PKI— yang mampu mengeluarkan dana untuk kampanye melalui media cetak dan pembuatan pamflet. Beruntung, PNI memiliki sumber dana tambahan dari pengusaha di daerah, baik pribumi maupun Tionghoa. PKI mengandalkan dukungan ideologis iuran anggota dan negara-negara komunis. Adapun Masyumi, selain iuran anggota, dukungan banyak berasal dari pengusaha batik, tuan tanah, dan pemilik kebun teh. Namun menariknya, selain kekuatan dana, persaingan ideologis juga menyebabkan partai-partai ini cukup mampu mengoptimalkan dukungan publik.
Saat ini, pendanaan parpol menjadi semakin krusial. Konsekuensi praktik demokratisasi politik yang cenderung kian pragmatik di negeri ini memang mahal. Sedemikian besar tuntutan dana menimbulkan pertanyaan, bagaimana parpol memenuhinya?
Dana politik partai sudah diatur dalam peraturan parpol. Setidaknya, semenjak UU No 3/1975 tentang Parpol dan Golkar, sudah diatur mengenai sumber dana, larangan, dan pengawasan keuangan parpol. Demikian juga dalam UU No 2/2008 tentang Parpol, sudah memberikan batasan jelas mengenai sumber pendanaan, yakni iuran anggota atau sumbangan sah yang dapat berupa uang, barang, dan jasa. Jumlah sumbangan publik dibatasi, tidak lebih Rp 1 miliar dari orang bukan anggota parpol dan Rp 4 miliar dari badan usaha selama satu tahun anggaran. Jumlah itu sudah dilonggarkan dari yang semula Rp 15 juta per orang dan Rp 150 juta per badan usaha berdasarkan UU No 2/1999.
Selain itu, parpol yang mendapatkan kursi parlemen juga berhak atas bantuan keuangan dari APBN/APBD. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 5/2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, besar bantuan ditentukan proporsional berdasarkan perolehan suara pemilu. Berdasarkan paket regulasi itu, parpol dilarang menerima dana dari BUMN/BUMD dan pihak asing. Parpol juga dilarang memanfaatkan fraksi sebagai sumber pendanaan dan tidak diperbolehkan mendirikan badan usaha. Bagi parpol yang melanggar, sanksi pun menghadang, mulai sanksi administratif hingga pembubaran. Pengurus dapat dikenai pidana maksimal dua tahun.
Peraturan perundangan memang secara eksplisit mengatur sumber-sumber pendanaan parpol. Namun, dalam praktik dinamika, parpol menuntut sumber pendanaan yang jauh lebih masif. Saat ini, nyaris tidak terharapkan iuran anggota parpol. Yang terjadi, pengurus maupun kader partai di mana pun berkiprah beralih fungsi menjadi mesin dana parpol. Tatkala uang sudah menjadi berhala, praktik korupsi kader parpol menjadi pemandangan umum.
(Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas)
Source : Kompas.com