Home > Education > Political Marketing > Berharap Babak Baru Demokrasi Aceh

Berharap Babak Baru Demokrasi Aceh

Pemilihan kepala daerah tahun 2007 dan legislatif tahun 2009 dinilai belum menjadi ukuran demokrasi di Aceh. Intimidasi dan kekerasan marak terjadi. Namun, semua pihak memaklumi, itu adalah potret wajar daerah yang mengalami masa transisi dari konflik ke damai. Potret lebih jernih diharapkan terlihat pada pemilihan kepala daerah tahun 2011 mendatang. Mungkinkah? Mahdi Muhammad dan Ahmad Arif

Puluhan partai politik nasional peserta pemilihan umum legislatif di Kabupaten Pidie menolak hasil pemilu tahun 2009. Mereka menuding ada kecurangan sistematis, intimidasi, bahkan kekerasan fisik oleh salah satu partai lokal. Akibatnya, calon pemilih takut untuk memberikan suara secara bebas. Begitu juga dengan para saksi, mengaku diancam jika berani bersaksi.

Tuntutan yang sama muncul di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Singkil, dan Aceh Barat Daya. Di lain pihak, beberapa simpatisan Partai Aceh, partai politik lokal tempat bernaung para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terbunuh. Kantor partai ini juga diteror. Suhu politik memanas.

Hingga Gubernur NAD Irwandi Yusuf mengeluarkan maklumat April 2009, meminta agar masyarakat menjaga, merawat, dan mempertahankan kedamaian di Aceh sehingga pemilu bisa berlangsung bebas, rahasia, dan bermartabat. Namun, pelanggaran tetap terjadi. Partai politik yang merasa dirugikan melaporkan kepada otoritas berwenang. Namun, tidak ada penyelesaian yang memuaskan.

”Saat itu masyarakat Aceh masih belajar berdemokrasi,” ujar Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Nazar hendak menjelaskan, kondisi itu wajar untuk sebuah masa transisi.

Benih kekecewaan

Walaupun prosesnya menuai banyak protes, optimisme warga membuncah seiring terpilihnya anggota legislatif baru, yang dinilai telah mewakili aspirasi lokal. Hasilnya, Partai Aceh mendominasi Dewan dengan menduduki 33 dari 69 kursi. Awal Oktober 2009 mereka mulai bertugas.

Pendidikan politik dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, lokal dan nasional, kepada calon terpilih membuat harapan kepada para wakil rakyat semakin tinggi. Mereka yang semula berperang kini duduk di kursi Dewan.

Segera saja mereka diberondong harapan warga yang berdatangan. Korban perang dan lembaga swadaya masyarakat yang mengusung hak asasi manusia datang meminta agar pelanggaran HAM masa lalu mendapat perhatian.

Warga yang tinggal di dekat kawasan pertambangan berharap anggota Dewan baru bisa mengawasi perizinan dan investasi pertambangan. Belasan kali di DPR Aceh menuntut ketegasan sikap, tetapi hasilnya nihil. Belasan korban jiwa atau luka akibat kesalahan penambangan terus berjatuhan.

Ratusan mahasiswa di Pidie dan Aceh Barat, yang terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan karena ketidakjelasan izin operasional kampus mereka, juga datang. Ijazah para lulusan ini tidak diakui dalam penerimaan pegawai negeri sipil. Bahkan, tiap hari puluhan orang datang ke kantor Dewan sekadar meminta recehan ataupun proposal bantuan.

Namun, anggota Dewan yang baru memilih sibuk mengurusi politik internal. Partai Amanat Nasional, partai dengan perolehan suara keempat terbanyak, sesuai dengan peraturan perundangan, sebenarnya berhak untuk duduk di kursi wakil ketua DPR Aceh. Namun, Partai Aceh sebagai penguasa mayoritas menolak. Mereka meminta tambahan jatah wakil pimpinan. ”Di mana logikanya partai pemenang pemilu hanya dapat satu kursi pimpinan Dewan,” kata Adnan Beuransyah, juru bicara Partai Aceh. Dia bersikukuh agar PAN menyerahkan kursi wakil pimpinan dewan kepada mereka.

Kaukus Partai Politik Aceh untuk Demokrasi, gabungan 16 partai politik lokal dan nasional, menentangnya. Juru bicara Kaukus Partai Politik Aceh, Rahmat Djailani, meminta Menteri Dalam Negeri memutuskan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Namun, keputusan tak kunjung datang.

Di tengah tantangan sosial kemasyarakatan yang menguat, Faksi Partai Aceh kemudian memunculkan isu kontroversial soal wali nanggroe. Unjuk rasa berisi ketidakpuasan terhadap fraksi pemenang pemilu mulai muncul, tetapi suara kritis tak cukup kuat menjadi gerakan. ”Masyarakat masih takut bersuara atas kondisi Aceh kekinian. Sampai saat ini,” kata Taufik Abda, mantan aktivis Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA). Namun, kata Taufik, bibit kekecewaan mulai tumbuh.

Calon independen

Apa pun, eksperimen demokrasi di Aceh terus berlanjut. Jika pada pemilihan kepala daerah pertama setelah damai gubernur terpilih berasal dari calon independen, hal itu sepertinya tidak mungkin lagi. Keberadaan calon independen kini diperdebatkan.

Robby Syahputra, anggota Komisi Independen Pemilihan Aceh, menuturkan, persiapan pelaksanaan pilkada tahun depan terkendala judicial review UUPA pendukung calon perseorangan. Segala sesuatu, termasuk peraturan perundangan dan anggaran, tetap harus mengacu pada hasil review itu.

Pasal 256 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, calon perseorangan dapat ikut serta dalam pemilihan pasangan pimpinan kepala daerah, tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Pasal itu menetapkan pencalonan pimpinan kepala daerah di Aceh hanya bisa sekali dilaksanakan.

Namun, sebagian kalangan di Aceh menilai, calon independen layak dipertahankan. Mereka pun mengajukan judicial review. Ferry Mursidan Baldan, mantan Ketua Panitia Khusus UUPA Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan, sejatinya pasal tersebut adalah pasal peralihan sistem politik Aceh, dari infrastruktur politik lama, yaitu partai politik nasional, ke infrastruktur politik baru, yaitu partai politik lokal sebagai peserta pemilu 2009 lalu.

Thamren Ananda, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Aceh, mengatakan, kemunculan calon independen harus dipersepsikan sebagai cara mengontrol partai politik, baik lokal maupun nasional, baik di legislatif maupun tidak. Kualitas kepemimpinan tidak hanya berasal dari partai politik saja.

TB Massa Djafar, pengajar Ilmu Politik Universitas Nasional-Jakarta, mengatakan, keinginan adanya calon independen mengindikasikan kelembagaan politik yang tersedia belum bisa mengakomodasi aspirasi masyarakat Aceh. Kemunculan calon independen, meski ada pimpinan baru pascapilkada dan pemilu legislatif, dianggap sebagai kegagalan proses politik di Aceh.

Kembali memanas

Di tengah masa penantian judicial review terhadap UUPA, partai politik, baik lokal maupun nasional, telah bersiap. Sabtu pekan lalu, secara terang-terangan 16 pimpinan partai politik mengumumkan kriteria calon pemimpin nanggroe serambi tahun 2012-2017.

Beberapa kriteria itu di antaranya bebas korupsi, komunikatif, memiliki kemampuan manajemen pemerintahan yang baik, dan tidak hanya mementingkan kepentingan satu kelompok saja menjadi kriteria penting calon pemimpin 4,6 juta rakyat Aceh. Dipercaya, kriteria ini untuk menjegal calon dari unsur GAM.

Pertemuan intensif yang dilakukan belum mengerucut pada keluarnya nama pasangan calon. Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Aceh Miryadi Amir mengatakan, partainya masih melirik kanan kiri untuk menjaring calon. Secara internal, mereka tengah mengadakan seleksi.

Demokrat duduk di peringkat kedua perolehan suara terbanyak. Akan tetapi, tidak otomatis bisa mencalonkan pasangan gubernur/wakil gubernur. Miryadi menyatakan, mereka kekurangan satu kursi untuk bisa mencalonkan. ”Paling memungkinkan adalah melakukan koalisi dengan partai yang satu platform,” ujarnya.

Pemilu legislatif lalu hanya menghasilkan satu partai yang bisa mengusung pasangan calon pimpinan daerah, yaitu Partai Aceh. Namun, partai pemenang pemilu ini sepertinya juga tak mudah menetapkan calon. Beberapa nama petinggi GAM, seperti Zaini Abdullah, disebut-sebut sebagai salah satu calonnya. Namun, perjuangan mereka sepertinya tak akan mudah.

Pascakemenangan telak dalam pemilihan legislatif, popularitas partai milik mantan GAM ini terus merosot. Kepiawaian mereka dalam menyejahterakan rakyat Aceh diragukan.

Bursa calon pemilihan kepala daerah memanas setelah Wakil Gubernur M Nazar secara terang-terangan menyatakan hendak mencalonkan diri. Sementara Gubernur Irwandi masih melihat situasi. ”Saya sudah menyampaikan ke Pak Gub akan maju lagi,” kata Nazar.

Walaupun partainya, SIRA, tak memperoleh satu kursi pun dalam pemilu legislatif lalu, dia yakin akan didukung partai-partai lain. ”Bisa dari partai nasional,” kata dia.

Pernyataan Nazar ini menguatkan tanda-tanda perpecahan GAM dengan SIRA. ”Sudah saatnya masyarakat dewasa berpolitik. Kita tidak mau menjadi pelayan kepentingan salah satu golongan saja,” kata dia.

Nazar mengatakan, pemilihan kepala daerah tahun 2006 dan pemilu legislatif 2009 adalah masa transisi. Belum jadi ukuran demokrasi di Aceh. ”Demokrasi di Aceh tidak boleh dibajak lagi. Aceh akan menuju pemilu yang demokratis dibandingkan dengan tahun 2009,” ujarnya.

Dan, hal itu, menurut Nazar, harus diwujudkan melalui pemilihan kepala daerah yang demokratis serta bebas dari intimidasi dan kekerasan.

Source : Kompas.com

You may also like
Survei: Banyak Masyarakat Belum Tahu Pemilu 2019 Serentak
Tak Ada Ideologi Politik di Jabar
PKS di Pilgub Jabar tanpa Konsultan Politik Eep Saefullah Fatah
Polmark Ungkap Faktor Signifikan Kemenangan Anies-Sandi

Leave a Reply