Jika saja Clifford Geertz masih hidup dan berkesempatan menuliskan disertasinya berdasarkan apa yang tengah berlangsung dewasa ini di Jawa Timur, mungkin pandangan beliau mengenai kaitan antara Islam dan partai politik (parpol) bakal berbeda.
Dalam tulisannya berjudul “The Javanese Village” di mana Geertz untuk pertama kalinya mengungkapkan teori aliran, kemudian dipertegas dalam bukunya The Social History of an Indonesian Town, dia menemukan adanya pembilahan ideologis-politis antara kaum abangan, priyayi, dan santri di Jawa.
Temuan ini memudahkan para pengamat politik di dalam mengidentifikasikan kecenderungan ideologis politik masyarakat Jawa. Atas dasar temuan Geertz itu, mereka dengan cukup nyaman sampai pada kesimpulan bahwa kalangan santri cenderung memberikan dukungan politik mereka kepada parpol Islam seperti Masyumi, NU, PSII, Perti di dalam Pemilu 1955.
Sementara kalangan abangan, priyayi cenderung menyalurkan suara mereka kepada PNI dan PKI. Tentu, sebagaimana dikatakan Herbert Feith, pandangan seperti ini tidak 100 persen tepat, tetapi garis besarnya kira-kira seperti itu. Pada pemilu-pemilu yang diselenggarakan Orde Baru, banyak orang mengatakan bahwa teori di atas sudah tidak lagi berlaku.
Kenyataan politik Indonesia, bukan hanya di Jawa, telah berubah. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang digulirkan Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Syadzali pada kurun 1970-an dan 1980-an membuat ideologisasi atau politisasi Islam berkurang tajam.
Ditambah dengan politik otoritarianisme Orde Baru, lengkaplah pupusnya praktik politik aliran. Pada masa itu, orang hanya boleh berpolitik sebagaimana yang telah didiktekan dan digariskan pemerintah. PPP yang merupakan gabungan dari parpol Islam pun dilarang untuk menggunakan Islam sebagai ideologi politiknya. Proses de-aliranisasi politik ini ditandai dengan berbondong-bondongnya para aktivis muslim, baik secara sukarela atau terpaksa, bergabung dengan Golkar.
***
Ketika pemerintahan Soeharto tumbang, politik aliran mencuat kembali. Meski tetap banyak kalangan Islam yang mendukung parpol yang mempunyai warna ideologis abangan-priyayi, bermunculan pula partai santri dalam jumlah yang mencengangkan, melampaui apa yang ada pada tahun 1950-an dan 1960-an awal? periode saat politik aliran sedang tinggi-tingginya.
Akan tetapi, yang berkembang pasca-Orde Baru bukanlah politik aliran dalam pengertian lama, yang sangat sadar akan adanya? mungkin juga perlunya? “pembilahan ideologis dan politis”. Kondisi itu tecermin dalam perdebatan-perdebatan tajam dan absolutis di parlemen atau orasiorasi sengit ketika musim kampanye tiba. Bolehlah dikatakan sebenarnya yang muncul hanyalah keinginan untuk menjadikan Islam sebagai asas partai, tanpa artikulasi ideologis atau politis sebagaimana yang ditampakkan parpol Islam pada dawasarsa 1950-an.
Tidak bakal lagi kita temui teater politik Islam sebagaimana yang dipertontonkan secara sungguh-sungguh dalam pembahasan undang-undang dasar pada BPUPKI (1945) dan Dewan Konstituante (1956-1957). Ketika proses amendemen berlangsung pada masa Reformasi (2000-2001), memang PPP, PBB, dan parpol Islam yang tergabung dalam fraksi Persatuan Daulah Ummat memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta.
Akan tetapi, siapa pun tahu bahwa itu hanya merupakan perjuangan separuh hati tanpa disertai dengan panggilan dan intensitas ideologis-politis sebagaimana pernah berkembang pada parpol Islam tahun 1950-an. Sampai di sini dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya gerakan pembaharuan pemikiran Islamlah yang benar-benar telah “menjinakkan” pemikiran dan praktik politik Islam lama, yang barbau aliran itu.
Banyak orang mengatakan bahwa otoritarianisme Orde Baru-lah yang mematahkan kecenderungan ideologi-politik partai Islam. Meski demikian, kecenderungan itu tidak bisa dibangkitkan lagi ketika Orde Baru telah tumbang.
***
Apa yang berlangsung di Jawa Timur mengindikasikan perkembangan yang menarik, terutama yang berkaitan dengan politik aliran. Tersebarnya politikus NU dalam berbagai kekuatan politik merupakan pertanda bahwa pembilahan ideologis-politis dalam pengertian aliran benar-benar telah pupus.
Kenyataan bahwa para “santri” seperti Ali Maschan Moesa, Khofifah Indar Parawansa, Saifullah Yusuf, Ridwan Hisjam, dan Achmady bersedia dipasangkan dengan kalangan “abangan” semisal Soenarjo, Mudjiono, Soekarwo, Sutjipto, dan Suhartono menunjukkan betapa makin tipis dan kaburnya pembilahan ideologis-politis politik Indonesia.
Hal ini diperkuat pula dengan parpol yang mendukung mereka, yang tidak lagi mempersoalkan perbedaan ideologis-politis yang mungkin ada. Bukankah hal yang sedemikian pula yang dipertontonkan pada Pemilu Presiden 2004 (Megawati- Hasyim Muzadi; Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla; Amien Rais- Siswono; Wiranto-Sholahudin Wahid; dan Hamzah Haz-Agum Gumelar) dan banyak pilkada yang berlangsung hingga kini?
Kalau apa yang diungkapkan sejumlah kalangan benar, bahwa pada Pemilu Presiden 2009 nanti Megawati (lagi-lagi) akan mengambil tokoh Islam, bukankah ini merupakan kenyataan baru yang sejak 10 tahun lalu menjadi kecenderungan politik Indonesia? Jika memang ini yang sedang berkembang, dapat dikatakan bahwa politik aliran memang telah pupus.
Sebaliknya, yang muncul adalah semangat untuk bekerja sama bahwa Indonesia atau Jawa Timur tidak bisa dipimpin oleh hanya satu “golongan” politik. Jika menggunakan konsep lama, yang oleh banyak pihak dipandang tidak tepat, baik golongan politik santri maupun abangan merasa saling membutuhkan. (*)
Bahtiar Effendy
Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta (//mbs)
Source : okezone.com
Assalamua’alaikum
Salam kenal
Kami ingin mengajak /mengundang untuk ikut bergabung dikomunitas santri indonesia
dan kami tunggu masukan dari teman2 semua 😀
Kami tunggu di
http://santri.netgoo.org
KOMUNITAS SANTRI INDONESIA
meningkatkan ukhuwah islamiah