JAKARTA–MI: Undang-undang Nomor 23/2008 dianggap penghalang bagi warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden ataupun capres ataupun sebagai pemilih calon pemimpinnya yang berasal dari golongan independen. Atas dasar itu, Fadjroel Rachman, Maryana Amirudin dan Bob Febriana bermaksud mengajukan uji materil (judicial review) terhadap keberadaan UU tersebut.
“Kami menganggap UU 23/2008 tentang Pemilihan Presiden, khususnya pasal 1 ayat (6), pasal 5 ayat (1), dan pasal 5 ayat (4), telah menutup kemungkinan pasangan capres dan cawapres independen telah melanggar hak-hak pemohon yang dijamin dalam UUD 1945 khususnya pasal 6A ayat (2). Untuk itu, kami berniat mengajukan uji materil pada Mahkamah Konstitusi (MK) pada 27 Agustus 2008,” ujar pengacara para pemohon Taufik Basari, di Jakarta, Senin (18/7).
Menurut Taufik, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak pernah menyatakan bahwa partai politik menjadi satu-satunya saluran untuk menyampaikan aspirasi politik. Yang termaktub disana adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Sedangkan, pada pasal 1 ayat (6), pasangan capres dan cawapres ini didefinisikan sebagai pasangan yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol.
Akibatnya, lanjut Taufik, parpol seperti memiliki hak istimewa daripada warga negara yang berperan sebagai subjek dalam suatu negara. Dengan kata lain, menurutnya, kedudukan warga negara seolah-olah berada di bawah kedudukan parpol.
“Isu yang berkembang, capres ini harus diusulkan oleh parpol. Ini tentu saja menegasikan hak-hak warga negara yang tidak bergabung dalam parpol. Hal ini bisa diartikan kedaulatan rakyat sebagian diambil oleh kedaulatan rakyat,” ujar Taufik.
Hal senada juga diungkapkan oleh pakar filsafat UI Rocky Gerung. Ia melihat negara tanpa parpol masih bisa berjalan sebagaimana mestinya, sedangkan negara tanpa warga negara, negara tersebut tidak ada artinya. Oleh karena itu, secara logika, kedudukan warga negara lebih tinggi daripada parpol. Selain itu, UU Pilpres yang ada sekarang mendiskriminasi warga negara yang tidak berparpol.
“Dengan UU Pilpres ini terjadi diskriminasi pada warga negara. Bisa jadi ada pengkategorian warga negara, dimana warga negara kelas 1 adalah warga negara yang berparpol sedangkan yang tidak berparpol adalah warga negara kelas 2. Inilah yang menjadi masalah fundamental,” kata Rocky.
Sementara itu, pakar politik dari Paramadina Bima Arya mengungkapkan ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi pengajuan uji materil ini, yaitu alasan pelembagaan politik, realitas politik, dan darurat politik. “Padahal, dengan pengajuan calon independen ini akan mengokohkan sistem presidensial selain itu untuk mereduksi adanya oligarki atau kartelisasi parpol,” kata Bima.
Menanggapi pertanyaan mengapa pengajuannya tidak menunggu hingga pembahasan UU pilpres yang baru selesai dibahas di DPR, Taufik berargumen agar hal ini bisa menjadi wacana di DPR dan bila ternyata masih tidak dimasukkan, mereka bisa dengan mudah mengubah materi yang diujikan. (*/OL-03)
Source : Media Indonesia