Sejak masa Negara Kota (Polis/Politea) di Yunani kuno, politik dan uang itu selalu bergandengan tangan. Sejak dipergunakan secara luas sebagai alat tukar dalam peradaban modern, uang adalah tiket politik yang efektif. Digunakan dengan cerdas, ia bisa menjadi ongkos bagi seseorang untuk memperoleh kekuasaan atau jabatan politik/publik tertentu, semisal gubernur atau wakil gubernur.
Hal itu juga berlaku untuk konteks politik lokal skala regional, seperti Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, yang pemungutan suaranya digelar pada 23 Juli 2008. Ketika uang yang bicara dan digunakan sebagai tiket politik dalam arena pilkada, publik yang kritis akan mempersoalkan bagaimana cara uang itu diperoleh, dari mana asal-usulnya, dan untuk keperluan apa saja dibelanjakan.
Sejauh transparansi riwayat uang itu dapat dikontrol, penggunaannya akuntabel, dan hasilnya dapat dibeberkan di depan publik, tentu tak ada persoalan. Tetapi, di negeri yang sistem birokrasi dan politiknya telanjur dikenal korup ini, di situlah letak masalahnya. Publik tak pernah well informed berapa persisnya isi pundi-pundi pasangan calon gubernur-wakil gubernur itu dan dari manakah asalnya.
Sudah menjadi rahasia umum, berapa pun uang pribadi yang dimiliki pasangan calon kepala daerah itu rasanya tidak mungkin cukup untuk mengongkosi semua kebutuhan konsumsi politiknya. Dari sumber manakah kekurangan dana itu mereka peroleh? Dalam logika normal, rasanya tidak mungkin dari simpanan/tabungan pribadi atau dari lembaga keuangan formal, semisal bank. Studi ekonomi politik merujuk kemungkinan keberadaan capital black market (pasar gelap modal).
Pasar gelap kapital ini adalah tempat bersarang makelar dan cukong bermodal kuat yang berjudi dalam pilkada. Mereka ini aktor di belakang layar. Asal cocok reward (imbalan) ekonomi-politiknya, setiap saat tak segan mengucurkan miliaran rupiah bagi jago yang tengah bertarung dalam pilkada, apa pun ideologinya.
Politik uang bermula di sini. Selain berperan sebagai political trade-off, juga sebagai semacam ijon terhadap kebijakan yang kelak dibuat sang calon. Mungkin itu rahasianya, di tengah balada krisis ekonomi yang melanda negeri ini, pasangan calon gubernur-wagub begitu enteng membelanjakan uang miliaran rupiah dalam sekejap untuk memenuhi segala macam keperluan konsumsi politik mereka, entah untuk biaya transportasi, atribut kampanye, atau memoles citra diri lewat iklan politik di televisi dan media cetak.
Kita semua tahu karakter sosio-ekonomi sebagian besar pemilih, terutama bagi yang tinggal di pelosok pedesaan. Selain miskin, mereka umumnya juga berpendidikan rendah. Karena itu, mereka amat rentan terhadap bujukan uang untuk ditukar suara. Jika hal itu dilakukan, cara semacam itu bukan hanya perbuatan tak elok, tetapi adalah tindakan tak terpuji yang mencederai moralitas dan nilai kejujuran politik demokrasi.
Solichin Abdul Wahab Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang
Source : kompas.com