BANDUNG, KOMPAS – Pemerintah sebaiknya mendahulukan pendekatan dialog dan kemanusiaan atau soft power ketimbang pengerahan kekuatan militer dan ancaman sanksi untuk memadamkan konflik yang berkecamuk di daerah. Negosiasi damai pun harus dihasilkan melalui kompromi pihak yang bertikai, bukan solusi yang ditawarkan satu arah dari pemerintah pusat ke daerah.
Salah satu contoh yang paling konkret adalah konflik di Aceh yang berlangsung sejak pemberontakan Daud Beureueh pada 1953. Konflik tersebut baru bisa diselesaikan pada 2005 melalui mediasi di Helsinki karena pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sepenuhnya menggunakan pendekatan dialog tanpa sekali pun melibatkan operasi militer.
Demikian intisari dari disertasi Darmansjah Djumala, Duta Besar RI untuk Polandia, dalam sidang promosi doktor di Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis (29/12). Dia berhasil mempertahankan disertasi berjudul ”Soft Power dalam Penyelesaian Konflik: Studi tentang Politik Desentralisasi di Aceh”. Dia menyarankan agar pendekatan itu bisa diaplikasikan untuk menangani konflik pusat-daerah lainnya.
”Keberhasilan dalam menyelesaikan konflik pusat-daerah hanya bisa terjadi apabila pemerintah pusat berani menempatkan dirinya sejajar dengan pihak seteru sehingga keduanya bisa berunding,” kata Darmansjah, Kamis.
Menurut dia, titik terang masalah Aceh baru didapatkan setelah Pemerintah Indonesia dan GAM duduk sederajat dan membahas kesepakatan untuk mengakhiri konflik tersebut.
”Pemerintah terlambat menggunakan soft power dalam meredakan konflik dan belum menyasar pada akar permasalahan,” ujar Darmansjah seusai sidang promosi. (eld)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.