Home > Education > Political Marketing > Diskursus Ideologi: Potensi Konflik Artifisial

Diskursus Ideologi: Potensi Konflik Artifisial

Konflik dalam pilkada akan muncul apabila ada satu atau kombinasi dari polarisasi ideologis, pertaruhan jabatan yang bersifat hidup-mati, benturan kepentingan aktor politik nasional, ketaknetralan KPUD dan panitia pengawas, pelibatan kepentingan aparatur keamanan, mobilisasi kepentingan dunia abu-abu, dan rendahnya peradaban politik elite.

Dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, diskursus ideologi sungguh cair. Retorika parpol dan jejaring ormas pengusung para calon gubernur dalam relasi internalnya memang kerap bersifat ideologis, terutama untuk kepentingan mobilisasi kader.

Namun, dalam relasi eksternalnya, nyaris sempurna bersifat pragmatis, yaitu relasi kuasa dan uang. Sekalipun memang sempat muncul kebodohan lewat kampanye hitam yang dilakukan kekuatan tertentu dengan maksud menumbuhkan polarisasi ideologis, upaya itu gagal.

Sementara makna jabatan gubernur bagi setiap calon gubernur maupun organisasi penopangnya, sejauh yang dapat dicermati, bukan merupakan sesuatu yang dipertaruhkan hidup-mati.

Memang rentangan spektrumnya terbentang dari pasangan cagub yang sekadar tampil sebagai instrumen organisasi penopang demi optimalisasi raihan material sesaat hingga ke pasangan calon yang serius berkompetisi demi aktualisasi gagasan good public governance.

Khusus bagi parpol penopang, pilgub Jatim 2008 lebih merupakan sarana dan momentum konsolidasi internal partai menyiapkan diri memasuki Pemilu 2009 daripada berkeharusan memenangi pilgub. Terkecuali bagi PDI-P, karena proses konvensi partai yang bermasalah dan memajukan tokoh senior yang dituakan dalam partai, maka pilgub Jatim benar-benar menjadi pertaruhan wibawa dan prestasi elite struktural partainya.

Selanjutnya, geostrategis Jatim yang teramat penting dari sudut ekonomi-politik nasional niscaya mendorong aktor-aktor politik nasional menengok dan berkiprah dalam proses pilgub Jatim. Sejauh ini memang belum terlihat upaya pemaksaan kepentingan yang berlebih dari aktor politik nasional dalam proses pilgub Jatim. Mungkin mereka berkaca dari pengalaman Maluku Utara.

Kemudian, menyangkut kinerja KPUD dan panitia pengawas. Sekalipun mustahil untuk 100 persen netral karena subyektivitas afiliasi setiap anggotanya, setidaknya secara kelembagaan telah berupaya tak melakukan pemihakan kepada pasangan tertentu. Berikutnya, keamanan pilgub penting. Sekali aparatur keamanan terjebak dalam tarik-menarik kepentingan sesaat dan tak berani tegas menindak potensi keonaran terkait pilgub, maka akan runtuh kepercayaan dan wibawa aparatur di mata publik.

Akhirnya, rekam jejak beberapa tokoh elite (partai dan ormas) yang berada di belakang beberapa pasangan calon gubernur berpotensi sebagai pencetus konflik kekerasan. Sebab, mereka terbiasa dan piawai memobilisasi kekerasan segmented dan temporer, serta rendah peradaban politiknya. Untungnya, kultur pragmatisme kuat di masyarakat. Tak ada potensi konflik yang sifatnya masif dalam pilgub Jatim 2008, tetapi tetap perlu waspada.

HARYADI Departemen Politik FISIP-Unair

Source : Kompas.com

You may also like
Suara Rakyat, Suara Siapa?
SBY dan Anomali Presidensial
Musim ‘Kawin’ Politik
Politik Kaum di Aceh

Leave a Reply