Home > Education > Political Marketing > Eks-GAM Sakit Hati Harus Dirangkul

Eks-GAM Sakit Hati Harus Dirangkul

MANTAN anggota GAM yang sakit hati tentu saja tak ikhlas adanya perbedaaan ‘kesejahteraan’ yang kentara antara sejumlah mantan petinggi GAM dengan “bawahan.” Ada bahkan yang menduga eks-GAM yang kemudian menjadi tersangka teroris semata-mata tertarik dengan tawaran fulus. Mereka memang mengincar kesejahteraan. Berikut hasil wawancara Kontras dengan seorang mantan anggota GAM, Rusydi Ramli Tambue, Senin (5/4), menyangkut barisan eks-GAM sakit hati ini. Dia mengaku banyak temannya yang sakit hati dengan ulah eks-petinggi GAM, karena tak peduli lagi terhadap bawahannya.

Sebenarnya apa benar ada eks-GAM yang sakit hati dan berapa jumlahnya?
Ya, tentu itu sangat benar. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Sebenarnya mereka telah lama bersabar melihat para petinggi eks-GAM yang berkesan hanya memperkaya diri. Kegalauan hati mereka kembali memuncak dimulai saat adanya isu teroris di Aceh. Walau secara kasat mata tak ada mantan GAM yang terlibat teroris, namun dalam masa itu banyak bermunculan dugaan adanya eks-GAM sakit hati. Secara ideologi tak mungkin eks-GAM menjadi teroris, dan berdasarkan data-data teroris yang tertangkap dan terlibat dalam jaringan teroris, saya tak melihat ada mantan GAM yang menjadi teroris. Namun, akibat kejadian itu sempat muncul pernyataan sejumlah pihak tentang eks-GAM yang sakit hati. Ini ditepis oleh sejumlah petinggi. Inilah yang selanjutnya membuat para eks-GAM protes.

Pada kenyataannya yang sakit hati memang ada dan banyak jumlahnya. Ini dapat saya buktikan. Banyak yang datang kepada saya. Bahkan ratusan orang lebih yang menyatakan keluhan terhadap saya tentang kondisi mereka yang saat ini sangat terpuruk dalam segi ekonomi. Ini sangat berbeda dengan sejumlah petinggi yang kini telah hidup mewah.

Apa saja keluhan utama mereka saat ini?
Ya itu tadi, jangan dikatakan mereka itu tidak ada. Kemudian ada juga petinggi yang mengatakan mereka ini harus bersabar. Mereka telah lama bersabar, tapi kehidupan mereka tak pernah sejahtera. Malah ada yang mengatakan bahwa yang sejahtera itu karena pintar mencari peluang bisnis. Di sini perlu saya tekankan, peluang usaha yang dimaksud hanya bermuara kepada paket-paket pekerjaan proyek yang ditenderkan di hampir seluruh SKPA-SKPA atau dinas-dinas dan badan-badan, karena SKPA-SKPA tersebut seolah sudah memprioritaskan dan menjatahkan paket-paket pekerjaan proyek tersebut dimenangkan oleh petinggi-petinggi eks-GAM. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan atau kontraktor otomatis akan merangkul mereka untuk menjadi penasehat perusahaannya. Kemudian perusahan tersebut setelah menang pada paket-paket proyek tendernya, langsung memberikan fee yang sangat menggiurkan kepada mereka. Mudah sekali kan, cara mencari peluang usahanya? Maka dengan cara seperti itulah untuk mencari peluang usaha, dapat dikatakan anak kecil pun bisa dan pandai. Tapi, perlu diingat tak semua dapat jatah yang seperti ini, yang kenyang hanya para petinggi eks-GAM, sedangkan para bawahan baik mantan kombatan maupun sipil GAM tentu tak segampang itu memperoleh peluang. Artinya, kalau soal pandai, banyak orang yang pandai, tapi peluangnya kan belum tentu sama. Ini yang saya sebut tak lagi seperjuangan. Dulu satu telur dibagi sepuluh orang, sementara sekarang sepuluh telur dimakan sendiri.

Apakah eks-GAM yang sakit hati ini terorganisir?
Nah, mengenai hal ini ada sedikit kecerahan bagi kita di seluruh Aceh, hingga saat ini mereka belum terorganisir. Justru dalam kesempatan ini, yang ingin saya sampaikan adalah kekhawatiran jika suatu saat mereka ini terorganisir atau terakumulasi ke GAM anti-MOU. Situasi kegalauan hati dan ekonomi mereka yang terpuruk bisa saja dimanfaatkan oleh GAM anti-MOU karena GAM anti-MOU sudah jelas-jelas ada, baik di Aceh maupun di luar negeri. Jadi, para petinggi-petinggi eks-GAM baik yang sudah kaya, yang sudah menjadi anggota parlemen dan pejabat di seluruh Aceh harus tahu dan jangan berpura-pura tidak tahu bahwa ada ribuan eks-GAM yang sakit hati. Jika terus dikatakan tidak ada, mereka akan menjadi berbahaya. Saya menyatakan hal ini agar sejak dini mereka itu terdeteksi supaya mereka diperhatikan.

Anda sendiri apakah masih berkomunikasi dengan baik dengan eks-petinggi GAM?
Kalau saya sih masih bagus-bagus saja. Tapi masalahnya banyak rekan-rekan yang datang ke saya, baik secara sengaja, curhat atau ngobrol di warung kopi menyatakan keluhan hati mereka terutama mengenai ekonomi mereka yang terlunta-lunta, sangat kentara perbedaannya dengan petinggi-petinggi itu tadi. Ratusan orang telah menyatakan hal itu ke saya. Dasar sakit hati mereka lebih terfokus kepada kesenjangan ekonomi. Akibatnya, pola pikir mereka menjadi terganggu, seolah perdamaian ini tak mereka nikmati keindahannya.

Menurut mereka, mengapa tercipta kesenjangan ekonomi atau kecemburuan sosial?
Itulah karena para eks-petinggi GAM tertutup matanya melihat nasib para bawahannya. Jadi, yang sakit ini seolah merasa dibodohi dan merasa dianggap belum saatnya menikmati kematangan ekonomi. Padahal mereka sudah terlalu sabar. Jadi, mereka yang sudah matang dari segi ekonomi seharusnya tak hanya memperkaya diri, seharusnya semua eks-GAM harus diperhatikan sama-rata. Sekarang jauh sekali perbedaannya, besar sekali jurang pemisahnya.

Tapi, bukankah dulu sudah ada dana reintegrasi dan dana jadup?
Dana reintegrasi itu memang pernah dijatahkan Rp 25 juta per orang. Namun, karena dana yang diberi berdasarkan jumlah eks-GAM yang diakui hanyalah tiga ribu orang, namun di lapangan ternyata berjumlah 30 ribu orang, dana tersebut ada yang dibagi-bagi lagi sehingga sebagian hanya mendapat Rp 5 juta per orang.

Jadi, apa dampak yang paling dirasakan mereka saat in?
Ya, seperti yang saya katakan tadi, ekonomi mereka merosot, sulit mencari pekerjaan, ada yang bertani, berkebun, bahkan banyak yang hingga sekarang masih pengangguran. Sebenarnya sah-sah saja mereka bersawah dan sebagainya, tapi sangat tak elok jika perbedaannya terlalu jauh dengan yang lain. Jangan tampak kali lah memperkaya diri. Kekhawatiran saya tak lain hanyalah agar perdamaian ini terjaga dan dirasakan oleh seluruh mantan GAM dan masyarakat Aceh. Kita tahu mereka ini kaya karena main proyek. Itu juga sah-sah saja, tapi kan yang bisa berhasil untuk lolos atau menang tender kan hanya eks petinggi-petinggi GAM. Kalau yang kecil-kecil tak pernah menang.

Para petinggi eks-GAM menyuruh eks-GAM lainnya untuk bersabar, mungkin ada komitmen lain untuk menyejahterakan mereka?
Mengenai hal ini, saya juga mengatakan hal yang sama kepada rekan-rekan saya, namun yang kita dengar malah jawaban yang ekstrem. “Mereka enak saja bilang bersabar karena sudah kaya,” begitulah keluhan yang banyak saya dengar dari mereka. Saya bisa memahami ini karena tak semua orang bisa bersabar. Ada yang menilai, pernyataan seperti itu hanya untuk mendinginkan hati mereka, sementara para petinggi hanya mempertahankan jabatan baik di pemerintahan maupun di tempat-tempat lain.

Jadi, apa harapan dan pesan Anda terhadap mantan GAM ini?
Menurut saya, jangan terlalu kentara perbedaan antar eks-GAM, baik mantan kombatan atau eks-sipil GAM. Para petinggi yang sudah punya peluang usaha yang matang seharusnya melibatkan yang lain khususnya yang merosot ekonominya untuk diberdayakan dalam sejumlah pekerjaan. Mereka ini harus dilibatkan dan dirangkul. Ada yang mengatakan bahwa mereka ini tak lagi mau bersabar, namun saya menasihati mereka untuk tetap bersabar. Saya mengatakan, jangan bertindak untuk hal yang berdampak negatif. Pesan saya agar para petinggi mengetahui bahwa mereka ada. Saya khawatir mereka yang saat ini belum terorganisir nantinya dapat terkontaminasi dan selanjutnya terakumulasi ke dalam GAM anti-MOU. Ya, semoga para petinggi ini mengerti maksud dan itikad baik saya. (gunawan)

Tabloid KONTRAS Nomor : 536 | Tahun XI 8 – 14 April 2010, 13 April 2010

You may also like
A Fork in the Road for Aceh
Fase-fase Transformasi MoU Helsinki
Pimpinan Politik GAM Bertemu Marti Ahtisaari
Hasan Tiro, Nietzsche, dan Aceh

1 Response

  1. Muhammad Najib

    saya kira benar apa yang diutarakan diatas tadi, perberdaan status sosial-ekonomi antara petinggi GAM dan Prajurit GAM sangat menganga. Memang benar, tidak semua akan kaya-raya. Tapi, petinggi GAM dan Pemerintah seharusnya membuat program pemberdayaan yang kreatif agar terciptanya lapangan pekerjaan bagi eks-GAM dan masyarakat.Kalau perbedaan ini terus berlanjut, saya khawatir akan muncul konflik baru dengan metode baru.

Leave a Reply