Dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Itulah yang terjadi dalam konstelasi politik di Provinsi Riau. Saat maju menjadi pasangan calon gubernur Riau pada Pilkada 2008, Rusli Zainal dan Raja Mambang Mit berada di dalam satu ”perahu”, Partai Golkar. Namun, kini mereka pecah kongsi.
Raja Mambang Mit kini menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Riau. Dahulu, pasangan yang diusung Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Bintang Reformasi itu memenangi Pilkada Provinsi Riau 2008 dengan perolehan suara 57,59 persen, mengungguli pasangan Chaidir-Suryadi Husaini (21,02 persen) dan pasangan Thamsir Rahman-Taufan Andoso (21,49 persen). Rusli Zainal akhirnya menjadi Gubernur Riau untuk kedua kalinya dan Raja Mambang Mit menjadi Wakil Gubernur (Wagub) Riau. Sebelumnya Raja Mambang Mit adalah mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau.
Yang menarik, saat menjabat sebagai Gubernur Riau untuk pertama kali (2003-2008), Rusli Zainal (mantan Bupati Indragiri Hilir) yang berpasangan dengan Wan Abubakar (Wakil Ketua DPRD Riau) diusung oleh PPP. Pasangan Rusli Zainal-Wan Abubakar terpilih sebagai Gubernur dan Wagub Riau dalam rapat paripurna DPRD Riau, 22 Oktober 2003, dengan perolehan 34 suara dari total 55 suara di DPRD Riau. Pesaingnya, pasangan Saleh Djasit (mantan Gubernur Riau)-Chaidir (Ketua DPRD Riau), hanya mendapat 19 suara.
Namun saat menjabat sebagai Gubernur Riau, Rusli Zainal yang semula diusung PPP beralih ke ”perahu” Partai Golkar. Kini Wagub Raja Mambang Mit, yang semula diusung Partai Golkar, beralih ke Partai Demokrat.
Soal elite politik di Riau yang pindah ”perahu” tak hanya Rusli Zainal dan Raja Mambang Mit, tetapi juga ada beberapa elite melakukan hal sama. Satu contoh adalah Chaidir, mantan Ketua DPRD Riau dua periode (1999-2004 dan 2004-2009). Pada pemilihan Gubernur Riau periode 2003-2008, Chaidir diusung Partai Golkar. Namun pada Pilkada Riau 2008, Chaidir pindah ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kini Chaidir ”pindah perahu” lagi ke Partai Demokrat. ”Saya merasa lebih cocok dengan Partai Demokrat,” kata Chaidir.
Alasan utama mengapa Raja Mambang Mit bersedia jadi Ketua DPD Partai Demokrat Riau (2010-2015) adalah stabilitas pemerintahan di Riau. ”Saya saat itu tidak ada jabatan di Partai Golkar Riau. Dan sebagai Wagub, itu hanya jabatan politik. Maka, saat mau ke Partai Demokrat, saya menelepon Gubernur Riau dan mengabarkan bahwa saya mau masuk Partai Demokrat dengan pertimbangan stabilitas pemerintahan karena Pemerintah Provinsi Riau bermitra dengan DPRD Riau,” kata Raja Mambang Mit.
”Dahulu saat Orde Baru, Golkar punya kekuatan politik karena Golkar mayoritas tunggal. Namun, sekarang tak mungkin Golkar mayoritas tunggal, jadi perlu berkolaborasi dengan partai-partai lain untuk mendukung pembangunan di daerah. Dengan landasan itu, bagaimana pemerintahan bisa stabil? Maka, kita harus bisa bekerja sama dengan legislatif dan harus mempunyai pengaruh di sana,” kata Raja Mambang Mit.
Namun, Chaidir punya pendapat berbeda. ”Pak Mambang Mit mau ke Partai Demokrat karena pola kepemimpinan yang dikembangkan Gubernur Rusli Zainal tak memberi ruang kepada Pak Mambang. Mantan Wagub Wan Abubakar juga merasa tak diberi ruang oleh Rusli Zainal. Orang, kan, perlu diberi penghargaan,” kata Chaidir, yang kini bersama Raja Mambang Mit di Partai Demokrat.
Menanggapi bergabungnya Raja Mambang Mit ke Partai Demokrat, Ketua DPD I Partai Golkar Riau Indra Muchlis Adnan, yang juga Bupati Indragiri Hilir, menyatakan sah-sah saja jika ada yang pindah partai. ”Adalah hak pribadi Pak Mambang bergabung di Demokrat asalkan jangan terlihat sikap berseberangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan karena Pak Rusli Zainal dan Pak Mambang Mit masih menjabat Gubernur dan Wagub Riau. Jadi, mereka harus bisa bekerja sama,” kata Yuherman, Ketua Harian DPD I Partai Golkar Riau.
Syarifudin, Sekretaris DPD I Partai Golkar Riau, juga mengatakan hal sama. ”Itu hak pribadi setiap orang. Kita tak boleh melarang walau faktanya dahulu Pak Rusli berjuang bersama Pak Mambang saat Pilkada 2008. Secara keseluruhan, Partai Golkar tak bisa menghalangi orang bergabung dengan partai lain. Saya tidak tahu apakah ada etika politik,” katanya.
Pragmatis
Etika politik kini memang terabaikan. Itu pendapat yang dilontarkan pengamat politik Hasanuddin M Saleh, yang juga Asisten Direktur Bidang Akademik Pascasarjana Universitas Riau. Karena tak ada kontrak politik dengan partai yang mengusung, para elite politik dengan mudah berpindah ”perahu”. Masyarakat Riau pun tak terlalu peduli akan fenomena ”pindah perahu” atau ”loncat pagar” ini karena terfragmentasi ke dalam kelompok yang kuat, seperti kesukuan atau kedaerahan asal calon.
”Masyarakat Riau cenderung elitis, mengamini apa yang diucapkan elite politik. Elite bisa berkoalisi dengan siapa saja meskipun tak punya basis kepentingan yang sama. Itu tak jadi masalah,” kata Hasanuddin. Formasi sosial pun cenderung pragmatis. Ini dalam arti, ketika keuntungan sudah dekat, elite politik memilih ”jalan sendiri-sendiri” karena punya hitungan sendiri.
Pengamat politik Riau lainnya, Andi Yusran, yang juga Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau, berpendapat, apa yang dilakukan Raja Mambang Mit bukanlah perpindahan karena Mambang hanya digandeng Partai Golkar dalam pencalonan Pilkada Riau 2008. ”Pak Mambang Mit itu birokrat. Dia kemudian nonaktif sebagai Sekda Provinsi Riau karena digandeng Partai Golkar. Beliau mempunyai visi ke depan: jika memang ada peluang menjadi Gubernur Riau pada periode berikutnya dengan perahu Demokrat, mengapa tidak? Beliau butuh perahu,” kata Andi Yusran.
Jika konstelasi politik di Riau sedemikian hangat, kita tunggu saja Pilkada Riau 2013 ketika pertarungan Partai Golkar dan Partai Demokrat diperkirakan akan makin memanas.
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.