Jakarta, Kompas – Perjalanan demokrasi kita, terutama setelah Reformasi 1998 sampai sekarang, perlu dievaluasi dan dikembalikan pada jalurnya yang benar. Langkah ini penting untuk mencegah demokrasi menyeleweng dari tujuannya, yaitu membangun keutuhan bangsa, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.
Demikian disampaikan pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (19/5). Hadir antara lain Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Siroj, Sekretaris Jenderal NU Marsudi Suhud, Wakil Sekretaris Jenderal NU Entjeng Sobirin, dan Wakil Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Masduki Baidlowi.
Said Aqil menilai, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diperjuangan sejak seratusan tahun silam kini mulai retak. Kesepakatan bangsa yang direkatkan dalam Pancasila kini dirongrong berbagai kelompok yang menawarkan ideologi di luar Pancasila dan UUD 1945. Itu terjadi terutama sejak reformasi bergulir dengan melahirkan kebebasan.
Ada gerakan fundamentalisme Islam yang menolak Pancasila karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mereka pahami. Saat bersamaan, muncul juga kelompok liberalis yang berpegang pada kebebasan internasional. ”Gerakan fundamentalisme itu menjadi berbahaya ketika diejawantahkan dalam bentuk teror dan intimidasi,” kata Said Aqil.
Gerakan tersebut semakin mengancam NKRI karena berhasrat mendirikan negara agama dan mendesak bangsa ini untuk menerapkan Islam model mereka. Ini termasuk pembangkangan atau bughat. Ada juga yang menyerukan perjuangan khilafah Islam. Padahal, Islam tidak mewajibkan umat untuk mendirikan bentuk negara Islam, tetapi menyerahkan urusan bentuk negara itu sepenuhnya kepada kebijakan masyarakat.
Said Aqil mengajak pemerintah dan masyarakat membendung gerakan bughat demi menyelamatkan NKRI dari ancaman kehancuran. Bangsa ini perlu mengevaluasi mendasar atas perjalanan demokrasi di negeri ini. ”Demokrasi bukan kebebasan tanpa batas, tetapi dibatasi moral, hukum, dan kesepakatan pendiri bangsa. Demokrasi harus mampu menjaga keutuhan bangsa, menciptakan keadilan dan kesejahteraan, serta menjamin kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” katanya.
Menurut Entjeng Sobirin, perjuangan khilafah Islam yang didorong kelompok tertentu di Indonesia identik dengan gagasan mendirikan negara di atas negara. Hal tersebut mencerminkan penolakan terhadap keberadaan NKRI berdasarkan Pancasila. Di Timur Tengah, gagasan semacam ini dianggap sebagai gerakan radikal sehingga kemudian dilarang. ”Kami menolak gagasan di luar NKRI dan Pancasila,” katanya.
Marsudi Suhud menjelaskan, ada tiga model hubungan antara negara dan agama, yaitu negara dan agama menyatu, negara sama sekali terpisah dari agama, serta model hubungan saling menguntungkan antara agama dan negara. Model ketiga itulah yang diusung kelompok Ahlussunnah Waljamaah, yaitu nilai-nilai agama bisa masuk sebagai semangat moral bagi negara. (IAM)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.