Home > Education > Political Marketing > Golkar Tetap Berorientasi Pasar

Golkar Tetap Berorientasi Pasar

INILAH.COM, Jakarta – Penetapan calon anggota legislatif dari Partai Golkar (PG) melalui suara terbanyak merupakan salah satu indikator yang meneguhkan bahwa partai berlambang beringin itu telah jadi partai yang berorientasi pasar (Market Oriented Party/MOP).

“Hal ini membuat rakyat atau pasarlah yang menentukan nasib caleg dan bukan lagi nomor urut,” ujar Wakil Sekjen DPP Golkar Rully Chairul Azwar dalam acara diskusi tesisnya tentang strategi politik komunikasi Partai Golkar di Jakarta, Sabtu (29/8).

Rully yang baru saja lulus program pascasarjana UI itu telah berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul Dari Hegemonic Party ke Market Oriented Party: Studi Kasus Politik Komunikasi Partai Golkar dengan predikat cum laude.

Isu aktual lainnya yang menunjukkan perubahan orientasi PG yang didasarkan keinginan pasar tersebut adalah penetapan capres yang akan diusung partai itu.

“Meski tidak lagi memakai mekanisme konvensi, namun Golkar akan mendasarkan penentuan capresnya berdasarkan survey yang kemudian diputuskan dalam rapim,” katanya.

Hal tersebut, ujarnya, artinya adalah kehendak pasar terhadap kandidat yang diajukan PG menjadi pertimbangan utama.

Pada bagian lain, Rully yang juga caleg PG dari daerah pemilihan Bengkulu itu mengungkapkan bahwa partainya pada masa tiga kepemimpinan terakhir (Harmoko, Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla) mempunyai pola politik komunikasi yang perlahan-lahan bergeser dari partai yang semula hegemonik menjadi partai yang berorientasi pada pasar (Market Oriented Party/MOP).

Dalam tesis yang dibimbing Prof Sasa Djuarsa Senjaja, Rully menyebutkan, Golkar pada era Harmoko (1993-1998) merupakan partai hegemonik yang menyatu dengan kekuasaan serta tidak otonom, terutama dari dewan pembina dan militer.

Selain itu, pada kurun waktu tersebut partai berlambang beringin ini eksis dalam situasi yang tidak kompetitif, tidak terjadi rotasi kekuasaan secara normal dan tidak memandang perlu pasar.

“Karenanya politik komunikasi yang dipakai adalah politik kontrol dan penguasaan media,” katanya.

Di era Akbar Tandjung (1998-2004), menurut Rully, posisi Golkar berada di luar kekuasaan sehingga Golkar lebih bebas memainkan peranan politiknya.

Dia menjelaskan, politik komunikasi Partai Golkar saat itu adalah tidak menentang pasar dan Golkar bergerak ke arah menjadi MOP.

“Sejumlah produk politik Golkar seperti kepemimpinan, simbol, konstituensi,pola rekrutmen keanggotaan, penampilan anggota DPR di parlemen serta event-event partai dirancang berdasarkan riset pasar untuk kemudian disesuaikan dengan kemauan pasar,” katanya.

Indikator MOP tersebut diukur berdasarkan empat aktivitas utama, yakni penyelidikan pasar, adaptasi prilaku, implementasi di organisasi serta penyampaian prilaku baru itu ke publik.

Selanjutnya, di era Jusuf Kalla (2004-2009), menurut Rully, posisi partai tersebut dengan kekuasaan kemudian berubah dengan naiknya Kalla sebagai wapres dan selanjutnya Golkar berada dalam kekuasaan.

Meski begitu, katanya, posisi politik Golkar di pemerintahan juga unik dan tidak dominan karena Kalla menjadi pimpinan Golkar setelah ia menjabat wapres. [*/P1]

Source : inilah.com, 30 Agustus 2008

You may also like
Ini Saran Ahli untuk Melawan Ahok di Pilkada DKI 2017
PROYEKSI POLITIK: Selera Rakyat yang Menentukan

Leave a Reply