Jakarta, Kompas – Partai politik di Indonesia tidak lagi memiliki garis ideologi yang jelas. Ideologi sebagian besar partai politik saat ini adalah pragmatisme karena hanya memperjuangkan posisi atau jabatan politik dan memburu rente.
Penilaian itu disampaikan pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, saat dihubungi, Selasa (26/7). ”Ideologinya pragmatisme itu,” katanya.
Ideologi pragmatisme itu terlihat dari dua logika kerja yang dilakukan partai politik. Pertama, partai politik bekerja untuk mengejar posisi politik atau kekuasaan. Kedua, partai politik bekerja keras untuk memburu rente. ”Dua logika utama itu yang sekarang mendominasi partai,” ujarnya.
Partai politik hanya bekerja menjelang pemilihan umum karena mereka ingin memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Setelah memperoleh kekuasaan, partai politik akan dengan mudah mengupayakan sumber keuangan untuk menghidupi diri sendiri. Partai politik akan melakukan berbagai macam cara, termasuk menyelewengkan kekuasaan untuk menguasai sumber-sumber keuangan dari negara.
Kasus yang dialami dan diungkapkan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin merupakan contoh kuat adanya perburuan rente di kalangan partai politik. Kasus itu memperjelas adanya praktik penyelewengan kekuasaan untuk menguasai sumber-sumber keuangan negara yang digunakan untuk menghidupi partai.
Menurut Ari, penyelewengan kekuasaan tidak hanya dilakukan Partai Demokrat, tetapi juga partai politik lain. Kondisi itu terjadi lantaran lemahnya pengawasan masyarakat, termasuk konstituen masing-masing partai politik.
Mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu DPR Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, kemarin, mengakui, salah satu sebab anggota DPR melakukan penyimpangan anggaran proyek APBN adalah mereka berusaha menyeimbangkan pemasukan resmi yang dipangkas untuk sumbangan wajib ke partai. Ferry mengatakan, pada prinsipnya partai politik memang sulit mencari sumber dana sehingga pada akhirnya kader yang duduk di DPR dibebani sumbangan wajib.
Besar sumbangan ini, ujar Ferry, tidak pernah terstandardisasi. Beberapa bahkan bisa mencapai 50 persen dari total take home pay anggota DPR. Kondisi inilah yang menurut Ferry kemudian dianggap menjadi salah satu akar korupsi politik. Partai politik melalui kader yang duduk di DPR mengambil dana APBN melalui berbagai proyek yang dibiayai uang rakyat tersebut. ”Makanya, ada kasus uang negara diambil bendahara partai politik,” katanya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arif Wibowo, mengatakan, sesungguhnya kalau hanya iuran wajib ke parpol, hal itu tidak memberatkan anggota DPR. Pengeluaran terbesar anggota DPR yang bisa memicu perburuan rente di proyek-proyek yang dibiayai APBN adalah biaya politik dari hari ke hari.
”Kalau hanya iuran wajib, paling Rp 15 juta sebulan. Tetapi, biaya politik tiap hari menghadapi konstituen bisa sampai Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per bulan. Padahal, take home pay anggota DPR itu hanya Rp 58 juta. Kalau enggak punya penghasilan lain, pasti tekor,” katanya.
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan mengungkapkan, kader partai di DPR memang dijadikan mesin uang bagi partai. Menurut Abdullah, praktik pengutipan sebagian pendapatan anggota DPR oleh partai bukan cara yang tepat mendanai partai politik.(BIL/NTA)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.