Jakarta, Kompas – Ketidakjelasan ideologi partai politik ditengarai menjadi penyebab banyaknya politisi yang pindah partai sebagai sarana wewujudkan kepentingannya. Fenomena itu biasanya terjadi di negara-negara demokrasi baru.
< !-more->
Demikian diungkapkan pakar psikologi politik, Hamdi Muluk, dalam diskusi di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/7). Fenomena politisi berpindah atau lompat partai jarang terjadi di negara yang demokrasinya stabil.
Dalam negara demokrasi baru, sistem kepartaian masih lemah, tetapi jumlah parpol relatif banyak. ”Kalau partai jelas ideologinya, pasti ada partisipan. Politisi tidak akan pindah partai,” ujar Hamdi Muluk.
Fenomena politisi pindah parpol sudah terjadi sejak pemilu pertama di era Reformasi. Menurut Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul, tawaran pindah parpol biasanya terjadi di parlemen. Di parlemen, politisi bisa bergaul dengan kader dari parpol lain.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Tantowi Yahya mengatakan, alasan politisi berpindah parpol bukan karena kepentingan pragmatis seperti iming-iming dana bantuan kampanye. Ada dua alasan politisi memilih pindah partai, yakni persoalan ideologi dan harapan.
”Pasti yang dilihat pertama kali adalah ideologi. Jika sudah merasa sama, pasti akan bergabung secara sukarela. Saya tak yakin politisi pindah, seperti ke Partai Nasdem, karena duit,” ujarnya.
Kemungkinan lain adalah merasa sudah tidak ada lagi yang diharapkan dalam parpol yang menaunginya. Tantowi mengibaratkan dengan pemain sepak bola yang merasa hebat, tetapi ditempatkan sebagai pemain cadangan dan memilih berganti klub.
Bahan koreksi parpol
Perpindahan politisi dari satu partai politik ke partai politik lainnya semestinya menjadi kritik bagi partai bersangkutan untuk mengoreksi diri. Peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, menilai, fenomena migrasi politisi memperlihatkan rapuhnya sistem kaderisasi dan ideologisasi. Partai kerap memilih cara pintas dengan kaderisasi instan. ”Pola seperti ini sangat cair, kader akan datang dan pergi sesuka hati,” ujar Hanta.
Pengajar komunikasi politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad, berpandangan, parpol hanya menjadi alat politik untuk kepentingan pragmatis meraih kekuasaan. Tidak ada komitmen membesarkan parpol.
”Undang-undang politik memberi ruang bagi kader mudah berpindah partai. Selain itu, parpol telah mengalami deideologisasi. Ideologi parpol cenderung mirip satu dengan yang lain,” ujarnya. (NTA/DIK)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.