Home > Education > Political Marketing > Ideologi Versus Citra

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 2005-2010 Megawati Soekarnoputri dalam pidato politiknya, Selasa (6/4), menegaskan posisi partainya sebagai partai ideologis. Masih relevankah partai ideologis dalam dunia industri demokrasi yang semakin mengedepankan citra ini?

Megawati mengkritik keras fenomena pencitraan dalam dunia politik tersebut. ”Kita harus bekerja di dalam situasi ’citra’ menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi,” katanya.

Menurut Megawati, moralitas negara demokrasi yang dibangun melalui partai idealnya dimaksudkan agar pendidikan politik kewarganegaraan dapat diwujudkan. Partai adalah ”taman sari” untuk menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa dan negara guna mengisi sirkulasi kekuasaan secara damai. ”Tugas etis partai di atas dalam kenyataannya disubkontrakkan kepada segelintir konsultan politik yang menghasilkan deretan angka yang menghegemoni masyarakat,” ujarnya.

Prinsip, menurut Megawati, dikalahkan oleh citra dan pendidikan politik digantikan dengan indeks kepuasan publik. Survei dan indeks kepuasan menjadi instrumen baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ”Citra dikedepankan, tetapi saat sama, membiarkan tugas sejarah mencerdaskan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, serta melahirkan Indonesia yang bermartabat menjadi sekadar pekerjaan seolah-olah,” ujarnya.

Pada bagian tanpa teksnya, Megawati lebih lanjut menyatakan, ”Saya sering merenung dan menertawakan diri saya, bagaimana saya bisa belajar pada suatu partai yang dalam waktu begitu cepat bisa naik sampai 300 persen. Saudara-saudara, saya ingin belajar kiatnya karena PDI-P juga berkeinginan seperti itu, Saudara-saudara….”

Walaupun tidak menyebut nama, pernyataan di atas dapat ditafsirkan sebagai kritik atas kemenangan politik yang dialami Partai Demokrat yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden untuk kedua kalinya dalam Pemilihan Umum 2009. Dari partai yang hanya memperoleh 7,5 persen suara pada Pemilu 2004, tiba-tiba suaranya naik 300 persen menjadi 20,85 persen pada Pemilu 2009.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Achmad Mubarok, beberapa waktu lalu, kepada Kompas memang mengakui bahwa kemenangan partainya karena citra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjulang ke langit. ”Kami tidak mau bohong, lah. Citra SBY mungkin menyumbang 60-70 persen. Sisanya kerja keras partai,” ujar Mubarok.

Pada Pemilu 2004, konflik Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjadi presiden dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi menteri koordinator politik dan keamanan, diakui Mubarok, sangat menguntungkan Partai Demokrat.

Sebelum pencoblosan, anggota Majelis Pertimbangan Partai 2000-2005, Taufiq Kiemas, di sela-sela pembekalan juru kampanye PDI-P di Hotel Santika Jakarta melontarkan pernyataan kontroversial ketika ditanya soal pencalonan Yudhoyono menjadi presiden. ”Dia harus lapor kepada presiden. Masak jenderal bintang empat kayak anak kecil begitu…?” kata Taufiq (Kompas, 3 Maret 2004).

Isu tersebut ternyata menguntungkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat. ”Sebulan sebelum Pemilu 2004, (SBY) mengundurkan diri karena konflik dengan Ibu Mega. Itulah pemicu yang sangat tepat. Sebulan kampanye, hitungan saya Partai Demokrat dapat 3,5 persen karena partai baru. Persyaratan dalam Pemilu 2004 adalah 2,5 persen. Tahunya dapat 7,5 persen,” tutur Mubarok.

Fenomena politik gelembung itu memang tidak terhindarkan dalam dunia politik modern. Berbagai lembaga survei dan konsultan politik bermunculan untuk membantu partai politik dan calon presiden memenangi pemilihan umum.

Namun, Direktur Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi meminta agar dibedakan antara konsultan politik dan lembaga survei. ”Tidak semua konsultan politik mendasarkan kinerjanya pada survei dan tidak semua lembaga survei menjadi konsultan politik,” kata Burhanuddin yang sempat hadir di arena kongres.

Burhanuddin menangkap kesan bahwa Megawati mendikotomikan ideologi dengan citra. Padahal, antara ideologi dan citra dapat disinergikan. Ideologi dapat diresapi oleh rakyat jika mendapat pencitraan yang cukup dari partai. ”Kalau mesin pencitraan macet, ideologi tidak sampai ke publik,” ujarnya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, AA GN Ari Dwipayana, dalam seminar ”Partai Ideologis, Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat” di arena kongres di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, mengingatkan adanya tabrakan antara logika ideologi dan logika memenangi kompetisi dalam pemilu. Untuk memenangi pemilu, partai membutuhkan cara yang cenderung pragmatis sehingga garis partai bisa bergeser dari ideologinya. ”Untuk memenangi pemilu, dua logika itu harus dikombinasikan,” kata Ari.

Sekarang, tugas PDI-P untuk menerjemahkan ideologi itu menjadi program konkret yang dirasakan langsung calon pemilih melalui jalan ideologis yang telah dipilihnya. Dengan demikian, ideologi sampai ke calon pemilih sekaligus citra partai terangkat. (Dewi Indriastuti/Subur Tjahjono)

Source : Kompas.com, 8 April 2010

You may also like
Pemilu Turki, Pengamat: Partai atau Caleg yang Bagi-bagi Sembako dan Politik Uang Tak Dipilih Rakyat
Muhaimin Iskandar dan Jejak Lihai Sang Penantang Politik
Elemen Kejutan dari Pencalonan Anies
Siapa Sosok Ketua DPR dan Golkar yang Baru?

Leave a Reply