akarta, Kompas – Bangsa Indonesia membutuhkan seorang yang berkarakter negarawan dan visioner untuk memimpin bangsa ke depan. Sosok itu siap mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok, berani ambil risiko, serta mau bekerja nyata untuk memajukan dan menyejahterakan kehidupan bangsa.
Harapan itu disampaikan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Direktur Reform Institute Yudi Latif, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lukman Hakim Saifuddin, dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra secara terpisah di Jakarta, Selasa (14/2). Meski tidak memenuhi semua syarat negarawan yang sempurna, sebenarnya Indonesia masih memiliki beberapa tokoh yang cukup mendekati karakter tersebut. Mereka patut terus diperkenalkan kepada publik agar dipertimbangkan untuk maju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014.
Ahmad Syafii Maarif menyampaikan optimismenya bahwa Indonesia masih memiliki tokoh dengan karakter negarawan semacam itu. ”Ada, dengan kriteria punya sifat kenegarawanan yang siap meleburkan seluruh kediriannya untuk kepentingan bangsa dan negara di atas landasan kemanusiaan yang adil dan beradab,” katanya.
Salah satu kepentingan utama bangsa Indonesia adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan bangsa kepada pemiliknya, yaitu rakyat Indonesia. ”Pihak asing boleh mencari hidup di sini, tetapi harus seizin pemiliknya dengan dasar saling menguntungkan. Bukan untuk mengeksploitasi kekayaan bangsa ini melalui agen-agen domestiknya yang tak hirau hari depan Indonesia,” katanya.
Menurut Azyumardi, Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang visioner sehingga tahu harus melangkah ke mana. Figur pemimpin itu juga harus mampu merealisasikan gagasan-gagasannya. Figur tersebut juga harus mampu mengakomodasi dan berkompromi serta pada saat sama memiliki ketegasan. ”Tentu saja, kalau terus berkompromi, tidak ada (kebijakan) yang jalan,” ujar Azyumardi.
Bagi Lukman Hakim Saifuddin, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sifat kenegarawanan sangat diperlukan bagi pemimpin Indonesia masa depan. ”Sifat itu hanya bisa muncul pada tokoh yang sudah selesai dengan diri sendiri sehingga tak mementingkan lagi dirinya. Seluruh energinya ditumpahkan untuk mengabdi pada bangsa dan negara,” katanya.
Pemimpin itu juga harus sungguh-sungguh memahami keindonesiaan, mencakup keunggulan, kelemahan, potensi, dan tantangan. Ia figur yang tak punya beban sejarah masa lalu. Dengan begitu, ia mampu mengarahkan bangsa ini dan penuh percaya diri menuju Indonesia sejahtera yang mandiri.
Yudi Latif menekankan, pemimpin masa depan Indonesia memiliki moral Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dan konstitusi bangsa ini. Ia harus menghayati tujuan negara ini, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Moralitas itu diturunkan dalam perilaku yang etis, dalam arti tak punya rekam jejak buruk. Sosok itu mesti seorang nasionalis yang mencintai negeri ini dan mengedepankan kepentingan nasional, bukan menghamba kepentingan golongan atau pribadi. Pemimpin juga harus mencintai rakyat, melayani, dan menyejahterakan rakyat yang diturunkan dalam visi konkret.
Pemimpin berkarakter
Memang agak sulit mencari pemimpin yang sempurna, tetapi minimal sosoknya harus mendekati syarat-syarat tersebut. ”Kita membutuhkan pemimpin berkarakter terpuji, punya integritas, mampu menentukan prioritas, dan mau bekerja nyata untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa. Ia juga harus sanggup ambil risiko,” katanya.
Pemimpin masa depan, ujar Kiki Syahnakri dan Agus Widjojo, keduanya purnawirawan TNI, juga seharusnya seorang yang pluralis mengingat beragamnya latar belakang bangsa Indonesia. Menurut Kiki, para pendiri bangsa sebenarnya telah menggariskan bentuk demokrasi yang sesuai dengan kemajemukan bangsa. Sayangnya, demokrasi Pancasila yang mengemukakan keterwakilan itu belum pernah terlaksana.
Karena itu, selain kriteria dari seorang pemimpin, seperti jujur, tegas, dan berani, juga harus punya kompetensi membasmi korupsi serta kriteria yang terkait dengan nilai-nilai dasar bangsa. Kiki mengatakan, demokrasi dan sistem bernegara saat ini sudah terlampau dipengaruhi liberalisme yang bukan merupakan identitas dan falsafah dasar bangsa Indonesia. Praktiknya, demokrasi yang terjadi adalah proses pemenangan. Hal itu bertentangan dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk dan memiliki keanekaragaman yang tinggi.
Calon pemimpin, menurut Agus Widjojo, dalam komunikasi politik harus bisa menunjukkan kepada konstituen akan kemampuannya mengaktualisasikan nilai-nilai bangsa yang ada di Pancasila dan UUD 1945. ”Kita juga harus lihat track record-nya bahwa ia jadi warga negara yang tahu hak dan melaksanakan kewajiban,” kata Agus.
Menurut dia, seharusnya partai politik tidak memulai proses politik ini dengan mengajukan calon. Demokrasi harus terjadi lewat pendidikan politik matang. Dalam pendidikan politik itu, konstituen melihat platform atau ideologi partai. ”Tidak seperti sekarang, partai-partai menyatakan dirinya nasionalis, tetapi tidak ada platformnya,” kata Agus. Baik Agus maupun Kiki menyatakan, dari calon presiden yang diajukan parpol saat ini belum terlihat figur yang cocok.
Senada dengan pernyataan itu, Azyumardi mengatakan, kemunculan sosok baru dalam bursa calon pemimpin sangat minim. ”Orang yang potensial (untuk menjadi calon pemimpin Indonesia) sebenarnya ada, tetapi sulit maju karena persoalan struktural politik,” tuturnya. Saat ini, belum ada aturan yang memungkinkan adanya calon perseorangan dalam pemilu presiden. Adapun parpol belum tentu mau mengusung sosok yang potensial.
(IAM/INA/EDN)
Source : Kompas.com
Posted with WordPress for BlackBerry.